Mohon tunggu...
Irfan Rosyidin
Irfan Rosyidin Mohon Tunggu... Guru - Mencoba menjadi Oemar Bakrie di Era Modern

Menjadi guru berarti kita menjadi petunjuk arah. Karena dari kitalah anak didik kita akan menentukan arah mana yg akan mereka pilih.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sakitnya Sistem Pendidikan Kita

10 Agustus 2020   11:07 Diperbarui: 10 Agustus 2020   12:31 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Mungkin semua setuju dengan pernyataan bahwa Covid-19 ini banyak memberikan dampak negatif dalam kehidupan kita. Mengesampingkan pernyataan bahwa Covid adalah konspirasi dalam pendangan segelintir orang, kita pun harus menyadari bahwa Covid ini memberikan banyak hikmah yang bisa kita ambil dan jadikan bahan evaluasi bagi peran kehidupan di masa yang akan datang.

Betapa tidak, bagi kita sebagai aktivis pendidikan atau bahkan pelaku pendidikan, Covid benar-benar telah membuka mata kita dan semakin meyakinkan diri kita bahwa "Pendidikan Kita Sebenarnya tidak sedang baik-baik saja!" Selama ini kita terlena dan merasa berada di zona nyaman dalam penyelenggaraan proses pendidikan, baik itu mengajar atau dalam mempersiapkan segala sesuatu sebagai upaya meningkatkan kualitas manusia. 

Kita mungkin tidak menyadari bahwa apa yang kita lakukan dalam proses pendidikan lebih pada rutinitas dan trasfer ilmu. Terkadang kita abai terhadap perkembangan psikologi peserta didik yang selama ini telah dihiasi teknologi gawai dalam kesehariannya. Tapi bukan sebagai pengantar pembelajaran, hanya sebatas aktivitas penghilang rasa jenuh. 

Akibatnya, ketika siswa berhadapan dengan kegiatan pembelajaran berbasis jaringan,mereka seolah menjadi bayi yang baru lahir. Mereka seakan gelap terhadap proses KBM berbasis daring. 

Mungkin di beberapa kota besar bukanlah menjadi kendala berarti, namun keadaan sebaliknya yang saya rasa ketika harus berhadapan dengan peserta didik yang secara geografis, ekonomi, dan sosial yang berbeda,mereka seolah memasuki ruang baru yang tak pernah mereka sentuh sebelumnya.

Sudah menjadi kewajiban bagi kita sebagai pendidik agar mampu membimbing peserta didik dalam berbagai kegiatan belajar mengajar. Tapi kita juga tak bisa menutup mata bahwa masih ada kesenjangan antara pendidikan kota dan daerah. Kota dengan berbagai fasilitas mumpuni, akses jaringan yang memadai,serta diikuti oleh pemanfaatan teknologi yang kontinyu, menjadikan mereka lebih siap dalam menghadapi force majeure seperti saat ini.

Jauh sebelum Polemik UN dihapuskan, sebenarnya pendidikan kita sudah berada dalam masalah besar. Paradigma "Guru Tua" vs "Guru Muda" di mana yang Tua diberikan semacam "permakluman" ketika beberapa kewajiban apalagi berhubungan dengan pemanfaatan teknologi kurang mereka kuasai, menjadi masalah klasik yang mungkin samapai saat ini masih ada. 

Guru muda dianggap memiliki kelebihan dalam menguasai teknologi dan menjadi garda terdepan dalammenghadapi permasalahan seperti sekarang. Hal tersebut merupakan pemikiran keliru yang harus benar-benar dihilangkan. Seorang guru adalah orang yang bertanggung jawab pada masa depan anak, lebih jauhnya masa depan bangsa. 

Pemerintah harus benar-benar menyiapkan berbagai langkah taktis untuk menyelamatkan pendidikan kita agar mampu keluar dari zona ketertinggalan.  Semua orang harus mampu berlari. Artinya, jangan mau ditinggalkan karena merasa faktor umur menghalangi. Kewajiban tetaplah kewajiban. Tidak terbatas dengan dia guru tua atau guru muda. Semua semata demi keseimbangan alur pendidikan yang paripurna. 

Apa yang mesti dilakukan? Pemerintah sebagai otak penggerak pendidikan dan segala kebijakan harus mampu membuat keputusan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan yang sempurna. Buat kebijakan yang adil. Artinya ideal bagi semua pihak. Pas bagi semua keadaan. Cocok untuk semua tingkatan masyarakat. 

Tidak bisa menyamaratakan satu kebijakan dengan satu keputusan mutlak. Beri ruang pada karakteristik wilayah untuk menyempurnakan hakikat pendidikan yang paripurna. Buat sebuah kurikulum yang mampu mempersiapkan peserta didik melangkah dan menatap masa depan menghadapi kerasnya dunia. Bukan memaksakan teknologi yang notabene belum semua pihak siap dalam menghadapi Gegar Teknologi ini. 

Semoga obat dari dokter terbaiklah yang mampu mengobati sakitnya sistem pendidikan kita agar segera sehat dan bangkit sehingga karya dan kreasinya mampu diakui dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun