Ancaman Covid-19 sampai sekarang masih menjadi suatu hal yang menakutkan bagi sebagian orang. Mengapa? Karena kita ketahui, di luar sana, masih banyak orang yang mengananggap bahwa Covid-19 adalah fiksi yang diciptakan untuk mengubah tatanan hidup masyarakat luas. Apapun konklusi yang bertebaran liar di luar sana, ada ancaman nyata yang sangat terasa yang sedang mengancam bukan hanya kehidupan masa kini, melainkan masa depan yang akan kita lalui.Â
Pendidikan menjadi salah satu bidang nyata yang terkena imbas dari penyebaran virus Covid-19 ini. Bagaimana tidak, sekolah sebagai salah satu organ pencipta peradaban begitu terpukul dengan serangan ini. Sangat terasa. Bukan hanya untuk siswa dan orang tua, bagi Guru pun pendidikan era Covid ini, membuat guru harus memutar otak dalam memberikan solusi pendidikan dan pengajaran berbasis "jaga jarak" untuk memutus rantai penyebaran Covid-19.
Pemerintah sebagai pucuk tatanan aturan kehidupan masyarakat, memberikan sebuah jalan keluar untuk tetap menjaga khazanah penyebaran ilmu pengetahuan di tatanan sekolah. Kebijakan Pembelajaran Daring. Bagi banyak orang, mendengar kata daring bukanlah hal yang asing dan menakutkan karena di era digital dan perkembangan industri 4.0 ini, seolah tiada kehidupan tanpa terhubung dengan akses dunia internet. Semua segi kehidupan seolah terarah untuk satu tujuan kecepatan informasi dan kemudahan akses.Â
Berbekal gawai dan jari tangan, seolah dunia menghampiri, tanpa perlu melangkahkan kaki. Namun kita juga tidak bisa mengabaikan sedikit orang yang justru merasa bahwa era digital ini, begitu menyiksa. Begitu merepotkan.Â
Bagi siswa contohnya. memang jika dibandingkan dengan jumlah siswa yang memiliki gawai, akan lebih sedikit siswa yang tidak memiliki gawai. Tapi perlu kita ketahui, masalah terbesar yang sesungguhnya dihadapi adalah, bukan akses gawai yang harus siswa miliki, melainkan pemanfaatan gawai yang biasa siswa lakukan. Jarang sekali siswa menggunakan gawai sebagai bahan untuk pembelajaran atau sarana memenuhi kebutuhan ilmu pengetahuan.Â
Mayoritas dari mereka baru mampu menggunakan gawai sebagai sarana hiburan. Bahkan kebanyakan mereka terinspirasi dari tayangan media sosial yang justru semakin menjauhkan mereka dari makna gawai sebagai perekat pengetahuan dunia. Ketika keadaan memaksa mereka untuk masuk pada dunia "asing", di mana mereka harus memaksakan waktu mereka habis dalam pembelajaran daring, membuat keadaan sekarang semakin menyiksa mereka seolah hanya menjadi beban bagi mereka. Mereka tidak pernah dibiasakan merasakan dunia digital sebagai kebutuhan, hanya sebagai hiburan atau sarana untuk menghilangkan penat.Â
Lalu apa yang sebenarnya terjadi selama ini? Siswa tak selamanya menjadi "tersangka", di mana seolah mereka lah yang salah dalam mempersiapkan pembelajaran bermutu. Namun sebuah teori mengatakan, "Tidak ada siswa yang salah, melainkan guru yang salah". Dalam hal ini, gurupun dalam kadaan yang terdesak dan tersudut. Karena disadari atau tidak, selama ini pendidikan kita terbangun dari warisan orang tua kita, termasuk "guru senior" lita.Â
Sebuah ungkapan menyatakan bahwa "Pengalaman adalah guru terbaik". Umur seolah menjadi ukuran bahwa seorang guru memiliki kompetensi lebih dibandingkan guru yang baru. Kita juga harus yakin dengan ungkapan lain yang menyatakan "Guru terbaik itu adalah guru berpengalaman".Â
Berpengalaman bukan berarti ia telah lama bergelut dibidan pendidikan, melainkan mengalami berbagai fase perubahan, atau setidaknya mengalami menggunakan atau membuat sesuatu berdasarkan perjalanan era kehidupan. Perlu kita sadari, masih banyak guru yang terfokus pada mengajar dikelas, dan lupa bahwa membutuhkan waktu lebh untuk menambah kompetensi sesuai kemajuan zaman. "Kita mah udah tua, giliran yang muda aja". Ungkapan-ungkapan seperti ini yang justru menjadi penghambat perkembangan dan kemajuan proses pendidikan kita saat ini.Â
Menghadapi era Covid-19 ini, banyak guru yang seolah klenger karena bukan hanya harus menghadapi murid, tapi harus berhadapan dengan teknologi yang seolah menakutkan bagi mereka. TEKNOLOGI. Mereka seakan bertemu dengan musuh yang selama ini mereka "hindari". Atas dalih "usia" mereka selalu menghindari teknologi sebagai metode pendidikan kekinian.Â
Walaupun tidak semua "guru senior" ini demam terhadap teknologi, namun bisa kita rasakan efek covid ini semakin menjadikan digitalisasi pendidikan Indonesia harus segera dicanangkan, agar setiap sendi pendidikan bisa mempersiapkan diri untuk berbagai keadaan.