Mohon tunggu...
Hidayanto Budi Prasetyo
Hidayanto Budi Prasetyo Mohon Tunggu... karyawan swasta -

... Jelajahi laut kemungkinan yang ada/ sebelum surut merenggut / kesempatan berlabuh tanpa rasa takut/ pada maut/ dan linangan air mata... (pekerja urban, kelahiran Ngawi-Lembah Pithecantropus Erectus, sekarang tinggal di Pesisir Grissee, --- Muara di mana air mengalir sampai jauh ---)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Seliku Solilokui : Dari Lembah Pithecantropus Erectus Hingga Pesisir Grissee, Mimpi itu Telah (tak) Merupa Labyrinth

6 Juli 2015   14:30 Diperbarui: 6 Juli 2015   14:43 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Ia yang mengular, beranak ranting, semenjak akar ruh ditandastancapkan di garba ibu, sungai di gigir gunung gamping – lembah Pythecanthropus Erectus  itu mungkinkah telah ditorehkan dalam labyrinth beribu lorong kemungkinan permisalan, mimpi-mimpi yang diingini, dan hidup yang diskenariokan? Wahai, mengalir-mengalirlah semua keinginan purba, menderas-menderaslah dalam keseluruhan laminer dan turbulen pancaran arus hidup. Ibu Bapamu tak berkendak apa-apa kecuali mewariskan semua mimpi-mimpi moyangmu, menjadi guru atau petani. Tapi adakah diingini dari wajah bocah berbaju putih biru, kecuali mendirikan tenda pramuka dan berlomba deklamasi. Namun sebentuk wajah lugu itu tergugu saat harus tinggalkan ibu.

 

Ia yang memancar, bergerak ramping, di Pakuning Tanah Djawa. Telah menyeretakkan-segra. Saat kaupancang dengan lantang, Ibu Pertiwi. Ada yang rimbun di pelupuk mata, sungguh tak berkesudahan waktu berguru: wajah tirus, tangan belum erat menggenggam,  kaki gemetar-mata nanar, tapi kau ajarkan mana dasar arah yang benar.  Duhai, suara itu menabikkan salam, "engkaukah yang dulu itu? "--- album-album kembali dibuka : para pria dengan botak kepala sama !!!”  Suarasuara dari lima gunung masa yang jauh itu, wahai, ibu sejarah yang memulakan, anakanakmu esok akan tumbuh, tak hanya seluas rumah Indonesia, tapi ia bisa mencatat sejarah, tumbuhmenumbuhi, mensyukuri riwayat pernah dialamatkan,  di antara graha-graha di atas lembah Pirikan, Apa diinginkan kecuali menjadi tentara memanggul senjata?

Ia yang berlayar, terserak tercerabut dalam denting. Selayaknya berdiam penjor merahasiakan denyut, mengapa tak lagi dalam barisan rapi memanggul senjata sikap sempurna. Sebab telah menjadi sesipil-sipilnya, sepanjang Sudirman-Bukit Jimbaran. Bergaung-gaung suara sendiri dalam hening microfon. Dalam sunyi ruri ditemukannya cinta. “Sentuhlah bulanku dengan sapu tangan, berenda legong dan pendet --- bercorak matahari dan kau kali yang tak pernah muara, bismillah, dijemputnya bayangan perawan, yang acap kali hinggap antara perseberangan, maut dan harga diri, sentuhlah agar dapat digambar rumah, saat kausebut janji pengantin --- resmi disambut Bali sebagai prasasti.”  Tak ada yang diingininya kecuali pulang kembali penuhi panggilan ibu.

 

Ia yang berdebar, menduga gairah, dalam keramba, sungai bisa apa? Di Rumah Pinggir Kali Keputih, Insinyur tak butuh sajak tapi ia luncur saat tanah dan hati dibelah,  siasat musim, nikmat dibaukan, melulur lumpur, merajakan sepi.  Lalu tersesat tak menemukanmu, musim yang liar memaksa berlari kampungkampung kotakota berhambur memedihkan mata. Kelam malam-permisalan kalam berapa lagi hendak dikisahkan sedang terlanjur poranda peta yang dibentangkan, yang tak berkalender berkelebatkelebat ditikam maut, yang tak berpenanggalan berjamanjaman dirajam rasa takut, deru-menderu. tak kuat lagi berseru. Mengapa tak juga kunjung dipahami suara-sunyi, mengapa tak juga kunjung pahami cahaya-gelap, mengeja dalam hembus nafas kelak berbatas, bila mengajak pergi menebus dosa, sebab telah jadi durjana yang sempurna?  Ampuni bila tak juga kunjung datangi Kau, tak dalam ramai, tak pula dalam benderangMu, sebab takkunjung pahami, betapa usia telah ditabuh bertalutalu, berguratmembilur memetakan usia terlanjur hambur, Ooo, telah tak ada diimpikan kecuali kembali pada-Mu, memohon ampun Bapa Ibu, biar rumah makin ngejawantah, biar tak lagi sebagai pertapa bakar tembikar dalam kamar.

 

Ia yang bergetar,  menceracau umur, sebab usia telah bergegas.  Di Pesisir Grissee ini, mimpi-mimpi itu telah tak bercabang ranting, berurat akar, apakah harus diekskavasi untuk mengetahui seperti apa yang sesungguhnya diingini? Mimpi-mimpi lampau mungkin telah merupa lanyrinth, tapi sekarang tak, sebab bukankah telah dijalani, bukankah telah menuju muara? Bukankah Ia yang mengular, beranak ranting, melewati lembah Pinthecantropus Erectus, mengalir sampai jauh, bermuara di Pesisir Grissee ini? Mungkin telah seliku alurmu, seliku solilokui. Tapi, hei, lihatlah aku kini yang menjaga betapa mimpi-mimpi itu dilarungkan dan kusaksikan ia telah tua dan segera cemplung ke segara?

 

Samar-samar. Mimpi-mimpi lampau mungkin telah menjilma sebagai anak-anak kunci yang diseret kesana kemari. Menikmati semua derita ketika mencari pintu-Mu ataukah berlagak menderita saat membuka pintu nikmat-Mu? Wahai. Ampuni aku, atas semua yang telah kuingini dalam mimpi-mimpi, sebab telah kujelajahi laut kemungkinan yang ada, sebelum surut merenggut kesempatan berlabuh tanpa rasa takut pada maut dan linangan air mata.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun