Mohon tunggu...
Hazza zufar Al ghozi
Hazza zufar Al ghozi Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

hobi saya membaca, kepribadian saya kadang ekstrovert kadang introvert

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bagaimana Kecantikan Merubah Persepsi dan Perlakuan Masyarakat

13 Mei 2024   23:17 Diperbarui: 13 Mei 2024   23:20 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini kita sering melihat berita tentang suster yang menyiksa anak kecil berumur 3 tahun. tetapi yang menjadi masalah disini adalah dikarenakan dia terlihat cantik, banyak orang di internet memberikan empati dan simpati padanya di kolom komentar. 

Perlakuan yang tidak sama kepada orang yang memiliki penampilan rata-rata. Kejadian yang sama juga terjadi sekitar 2 tahun yang lalu, Cameron herrin, remaja yang membunuh seorang ibu dan bayi nya dalam balap liar diberikan empati dan simpati oleh banyak orang karena dia tampan. Mereka berpendapat dia terlalu menarik untuk menghadapi konsekuensi dalam pembunuhan 2 orang yang tidak bersalah. 

Mereka terlihat terlalu cantik dan tampan untuk dipercayai melakukan hal yang salah, dan tidak akan pernah bisa dilihat atau dianggap sebagai penjahat. Dan ini membuat saya bertanya, apakah ketika seseorang memiliki tampang yang indah mereka akan lebih diterima di dalam Masyarakat? Dan bahkan sampai titik dimana mereka bisa mendapatkan simpati dari tindakan buruk yang sudah mereka lakukan. Apa yang terjadi dengan manusia? Mengapa mereka memiliki pandangan spesial pada orang yang memiliki paras indah? Apakah kompas moral manusia berada di tampang?

Estetika, moralitas, dan ketidakadilan

Manusia cenderung menyukai sesuatu yang indah dan keindahan mungkin menjadi sesuatu yang kita perlukan dalam kehidupan untuk membuatnya lebih bermakna. Namun bagaimana jika penilaian keindahan tersebut mempengaruhi perlakuan terhadap individu dalam masyarakat? 

Mengapa masyarakat mengimplikasikan bahwa nilai moral seseorang dapat dinilai berdasarkan karakteristik fisik, yang notabennya di luar kendali manusia itu sendiri? Muncul paradox moral pada masyarakat, dimana paradox ini muncul dari asumsi tidak berdasar, bahwa karakter fisik eksternal seseorang dapat menjadi indikator kualitas moral atau etis internal mereka. Dimana penampilan yang baik dijadikan sinonim atas moralitasnya yang baik.

 Kasus seperti ini membuktikan betapa dangkalnya penilaian masyarakat terhadap seseorang dan betapa nilai-nilai moral dan etika sering kali dikalahkan oleh obsesi terhadap penampilan fisik. Dalam deservingness theory yang dituliskan oleh N.T.Feather pada tahun 1999, dia menjelaskan bahwa terdapat penilaian apakah seseorang berhak menerima sesuatu seperti penghargaan, hukuman, atau perlakuan tertentu yang dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti keanggotaan kelompok, status, kesukaan atau ketidaksukaan inter personal, termasuk menarik atau tidaknya fisik seseorang atau karakter moral yang di persepsikan.

Konsep ini menekankan bahwa layak nya seseorang bukan hanya tentang tanggung jawab yang mereka miliki, tetapi juga tentang bagaimana faktor lain mempengaruhi bagaimana orang lain bereaksi terhadap tindakan mereka. Baik dalam hal memberikan hukuman terhadap pelanggaran, atau memberikan penghargaan untuk Tindakan positif, dengan mempertimbangkan layaknya kita bisa memiliki pemahaman yang lebih lengkap tentang bagaimana prinsip keadilan dan nilai nilai sosial mempengaruhi interaksi manusia, dan reaksi terhadap berbagai hasil atau kejadian. 

Jadi ketika kita melihat orang cantik atau tampan melihat orang itu tidak deserve, tidak pantas atas hukuman yang mereka jalani. Dalam konteks ini tidak pantas mendapat sanksi sosial yang seharusnya atau biasanya di dapat oleh orang yang berpenampilan rata-rata, tetapi mereka harus mendapatkan perilaku spesial dari Masyarakat, sesimpel karena mereka memiliki paras yang indah.

Ada sebutan yang cukup terkenal dalam filsafat moralitas: "jika anda membunuh kecoa anda adalah pahlawan, dan jika anda membunuh kupu-kupu anda adalah penjahat" kecoa dengan penampilannya yang kurang menarik dan dikaitkan dengan kotoran serta penyakit, sering di anggap hama yang harus dibasmi. Disisi lain kupu-kupu yang indah dengan warna dan corak sayapnya yang mempesona, dianggap sebagai makhluk yang lembut dan tidak berbahaya, bahkan dihargai karena keindahannya. 

Walaupun kita bisa memberikan argument bahwa kecoa mengeluarkan bau busuk yang mencemari segala sesuatu yang disentuhnya, kupu-kupu juga memakan bahan yang membusuk seperti buah, limbah padat, bahkan sampai bangkai busuk, pola makannya tidak lebih cantik dibandingkan kecoa. Moralitas seringkali dipengaruhi oleh preferensi dan persepsi kita tentang keindahan atau ketidakindahan. Namun, seharusnya moralitas lebih dari sekadar penilaian berdasarkan penampilan atau stereotip. Sebaliknya, moralitas seharusnya didasarkan pada prinsip-prinsip yang lebih dalam, seperti prinsip kesejahteraan makhluk, prinsip keadilan, dan prinsip penghargaan terhadap kehidupan.

Sekarang banyak orang berlomba-lomba menciptakan penampilan sempurna menurut kondisi sosial saat ini. Bagi mereka fitur fitur tubuh ini menjadi parameter utama dalam menilai seseorang, menggantikan aspek-aspek pribadi seperti kejujuran atau integritas. walau anda adalah orang yang jujur tetapi anda tidak tampan atau cantik anda akan di pandang sebagai orang jahat. Ini menunjukkan pergeseran nilai dimana penampilan fisik dianggap lebih penting dari pada karakter seseorang. Menjadi orang jahat bukan lagi karena anda melakukan Tindakan pencurian, atau pembunuhan. Tapi karena anda tidak terlihat bagus dimata kebanyakan orang. Menjadi pecundang bukan karena anda tidak memiliki kontribusi terhadap masyarakat, tapi karena anda tidak tahu caranya berpakaian yang bagus di mata orang kebanyakan.

Fenomena looks maxing menimbulkan berbagai implikasi sosial dimana individu terus menerus memperbaiki penampilan mereka, sering kali mengorbankan kesehatan mental dan fisik. Hal ini dapat memperdalam ketidaksetaraan sosial, dimana individu yang tidak memenuhi standar kecantikan (cantik/tampan) tertentu mungkin menghadapi diskriminasi. Dan yang paling parah hal ini dapat mengikis nilai-nilai masyarakat yang lebih mendalam, dimana penampilan fisik menjadi ukuran pertama keberhasilan dan penerimaan sosial. Kita semacam menderita delusi masal dimana semua orang berfikir bahwa kecantikan (cantik/tampan) berarti kebaikan dan begitu sebaliknya kebaikan berarti kecantikan.

Dalam psikologi, delusi sosial yang diderita masyarakat ini bisa kita lihat dengan mata bias kehalusan atau yang biasa disebut halo effect. Halo effect didefinisikan secara sederhana sebagai kecenderungan individu untuk mengekstrapolasi kesan mereka terhadap atribut suatu objek ke atribut-atribut lain ke objek yang sama atau bahkan terkesan secara keseluruhan. Misal nya hal ini dapat terjadi ketika orang berpikir seseorang adalah orang baik, hanya karena orang tersebut terlihat menarik. Atribut ketampanan atau kecantikan tidak harus menjadi penentu dari atribut atribut lain atau kebaikan orang tersebut, namun orang orang cenderung menggunakan jalan pintas mental untuk meringankan beban kognitif yang terlibat dalam penilaian.

 "menjadi menarik memungkinkan seseorang untuk melanggar norma sosial dengan konsekuensi yang lebih sedikit dibandingkan dengan pelanggaran norma sosial oleh individu yang kurang menarik" seseorang dapat menggunakan daya tariknya yang tinggi, sebagai pelindung terhadap konsekuensi dari pelanggaran norma. karena pelanggaran norma tersebut mungkin dipersepsikan sebagai pengecualian dari pada perilaku yang tipikal dari individu tersebut. "tidak mungkin seseorang secantik itu atau setampan itu bisa melakukan hal-hal seperti itu" demikian pula orang yang kurang menarik memilih melanggar norma karena hanya ada sedikit konsekuensi melakukannya. Terutama pengamat secara proaktif mengharapkan prilaku seperti itu dari individu yang tidak menarik.

Konsekuensi sosial ini, delusi sosial ini adalah munculnya diskriminasi dan perlakuan yang tidak adil, yang didasari dengan penampilan fisik yang lebih sering kita dengar istilahnya sebagai lookism.

Lookism

Istilah lookism sebenarnya sudah lama ada dan sudah menjadi topik bahasan dalam studi sosial dan psikologi selama beberapa dekade. namun akhir-akhir ini dipopulerkan oleh manhwa yang berasal dari Korea, dengan nama yang sama yaitu lookism. Park hyung Seok adalah seseorang yang kelebihan berat badan, tidak menarik, dan sering menjadi korban bullying di sekolahnya dikarenakan penampilannya. namun hidupnya berubah drastis ketika dia tiba-tiba bangun di dalam tubuh yang baru, tubuh yang ideal menurut standar kecantikan masyarakat, tinggi tampan dan atletis. manhwa ini mengeksplorasi bagaimana penampilan Hyung Seok memperngaruhi interaksi sosial nya. kesempatan-kesempatan yang didapatkan dan cara dia diperlakukan oleh orang lain, dia mengalami kehidupan yang sangat berbeda dengan kedua tubuhnya yang menyoroti dengan bagus bagaimana masalah lookism dalam masyarakat.

 Lookism dapat didefinisikan sebagai diskriminasi atau prasangka terhadap seseorang berdasarkan penampilan fisik mereka, Terutama ketika tidak memenuhi standar kecantikan yang berlaku. Contoh nyata dari lookism dapat ditemukan dalam berbagai situasi mulai dari tempat kerja, hingga media sosial. misalnya dalam konteks pekerjaan, kandidat yang dianggap lebih menarik secara fisik seringkali memiliki peluang yang lebih tinggi untuk mendapatkan pekerjaan atau promosi meskipun kualifikasi dan kinerja mereka sama dengan kandidat lain. "Syarat melamar pekerjaan : berpenampilan menarik" Anda pikir yang tidak berpenampilan menarik tidak butuh kerja, tidak butuh makan atau hal lain sebagiannya?

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Dion, Berscheid, dan Walster pada tahun 1972 tentang penampilan fisik, Bagaimana penampilan mempengaruhi kehidupan individu. mereka menemukan bahwa individu yang menarik dianggap memiliki sifat kepribadian yang lebih diinginkan, menjadi pasangan yang lebih baik, memiliki pernikahan yang lebih Bahagia, serta memiliki kehidupan sosial dan profesional yang lebih baik secara keseluruhan. para peneliti menemukan bahwa individu yang menarik dipandang memiliki kehidupan yang lebih bahagia dan lebih sukses secara umum daripada individu yang tidak menarik. hal ini bahkan merambat hasil karir, di mana individu yang menarik diprediksi memiliki kehidupan profesional yang lebih bahagia dan mendapatkan pekerjaan yang lebih bergengsi.

 Hosoda, Stone-Romero, dan Gwen Coats melakukan meta analisis tentang topik ini. dengan menganalisis 27 artikel dari literatur yang ada secara keseluruhan, individu yang menarik Mengalami berbagai hasil pekerjaan yang lebih menguntungkan. termasuk seleksi evaluasi kinerja, dan keputusan perekrutan, dibandingkan dengan individu yang tidak menarik. looksim juga dapat mempengaruhi lingkungan Pendidikan, di mana siswa yang dianggap lebih menarik secara fisik mungkin mendapatkan perlakuan yang lebih baik dari guru atau rekan sebayanya. Hal ini dapat mempengaruhi kepercayaan diri siswa, partisipasi di kelas, dan bahkan penilaian akademis. akibatnya jika siswa diperlakukan buruk di sekolah, mungkin mereka tidak memberikan usaha secara maksimal yang berpotensi mempengaruhi kemungkinan mereka terlibat dalam aktivitas criminal.

 dengan demikian, kriminalitas yang di asosiasikan dengan penampilan yang kurang menarik mungkin berakar pada diskriminasi yang dialami di masa sekolah, dimana siswa dipandang kurang baik oleh guru dan teman-temannya. "Saya banyak menemukan orang-orang yang terkena diskriminasi, banyak yang menilai bahwa orang itu buruk sampai saya mencoba untuk berbicara dengan mereka. dan ya, penilaian mereka salah, moralitas tidak dilihat dari penampilan, jadi sebelum kalian tahu tentang orang tersebut jangan coba menilai berdasarkan penampilannya" Karena tidak enak dipandang, orang itu ingin berbuat baik saja malah dicurigai padahal ingin membantu orang lain yang kesusahan "saya pernah mengalami suatu kejadian ketika saya ingin menolong 2 orang gadis yang kesusahan untuk menyalakan sepeda motornya, tetapi begitu saya dan teman saya menghampiri, kami malah dicurigai ingin berbuat jahat dan gadis itu keliatan sangat ketakutan. Apakah berbuat baik itu salah bagi orang yang tidak enak dipandang?" Mereka beranggapan bahwa orang yang tidak enak dipandang itu jika berbuat baik dianggap sebagai pencitraan, sedangkan jika orang yang tampan akan mendapatkan respon seperti orang yang tampan pasti kelakuan nya baik suka tolong orang, dermawan.

 Situasi ini dapat menjadi semacam self preening profesi di mana pandangan kita terhadap penampilan yang buruk sebagai indikator kriminalitas, menjadikan itu menjadi kenyataan. lookism juga mempengaruhi hubungan interpersonal seseorang, baik dalam cara Individu memilih pasangan, berteman, atau berinteraksi dengan orang lain. tendensi untuk memprioritaskan penampilan fisik dapat menyebabkan hubungan yang dangkal dan mengabaikan kualitas-kualitas penting lainnya, seperti kepribadian, kecerdasan, atau bahkan kebaikan hati. hal ini juga dapat memperkuat stereotip dan prasangka, membatasi kesempatan untuk berinteraksi dengan berbagai jenis orang. Banyak orang rela menderita dengan orang yang menurutnya enak dipandang, Walaupun dia tidak terlalu menyukai kepribadian pasangannya, atau bahkan dia rela bertahan walaupun pasangannya memperlakukan dengan buruk, asal pasangannya mencapai standar kecantikan (cantik/tampan) dan melupakan aspek aspek penting seperti mental, kecerdasan.

Apakah jika anda diperlakukan dengan buruk mental anda baik-baik saja? Saya rasa tidak ada yang baik-baik saja ketika diperlakukan dengan buruk apalagi dengan seseorang yang kita cintai. lalu kecerdasan, apakah anda lebih memilih seseorang yang cantik/tampan walaupun kepribadian nya keras, dan suka mabuk atau pergi ke club saat malam di banding seseorang yang berpenampilan rata-rata tetapi dia terlihat pintar, yang dimana jika anda memiliki pasangan yang pintar dia bisa membimbing anda kejalan yang lebih benar, atau membuat Anda jauh lebih baik. Kenapa lebih memilih berpasangan dengan yang enak dipandang walaupun merasa Tersakiti yang berujung membuat Anda trauma dan beranggapan bahwa semua orang sama hanya bisa menyakiti anda? Shakaspeare pernah berkata "yang terlihat indah adalah kotoran, dan yang terlihat kotor adalah keindahan,begitulah manusia sebenarnya" Kecantikan yang menentukan apa yang dianggap menarik atau enak dipandang ini seringkali dibentuk dan dipengaruhi oleh budaya, media, dan industri hiburan, yang dapat berubah dari waktu dan berbeda antar masyarakat.

 Lookism terlihat jelas dalam casting film atau acara TV di mana karakter utama sering digambarkan oleh actor yang memenuhi standar kecantikan yang sempit dan dangkal, sedangkan karakter yang kurang menarik secara fisik sering diberikan peran yang kurang signifikan atau bahkan dijadikan antagonis di dalam cerita. Hal ini dapat mempengaruhi persepsi penonton, tentang nilai berdasarkan penampilan fisik mereka dalam memperkuat ide bahwa keberhasilan dan kebahagiaan dikaitkan dengan kecantikan fisik. fakta bahwa cerita dalam pop culture mengikuti tokoh utama yang memiliki moralitas baik, seringkali dikaitkan dengan wajah aktor yang bagus ini mendorong delusi sosial. di mana kita menjadikan cantik dan baik sebagai sinonim dan juga dapat menyebabkan standar kecantikan yang tidak realistis, dan meningkatkan tekanan pada individu untuk menyesuaikan diri dengan citra ideal tersebut, yang seringkali tidak dapat dicapai prosedur kosmetik atau bahkan editing.

Media sosial juga telah memperkuat lookism dengan menyediakan platform bagi individu untuk membagikan gambar diri yang sudah diedit sedemikian rupa selama berjam-jam. filter atau editing apps memungkinkan orang-orang untuk memodifikasi penampilan mereka agar sesuai dengan standar kecantikan yang sempit tadi, menciptakan tekanan untuk mempertahankan citra yang sempurna secara online, dan hal ini dapat mengakibatkan perbandingan sosial dan konstan, dan bahkan dapat merugikan kesejahteraan mental orang-orang yang menggunakan platform tersebut. exposure konstan terhadap citra kecantikan ideal dalam media menimbulkan harapan yang tidak realistis terhadap penampilan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Representasi yang seragam dan sempit tentang kecantikan dan pop culture di media menetapkan norma sosial tentang penampilan yang sulit penuhi oleh Kebanyakan orang. Hal ini dapat meningkatkan insidenlogisme dalam kehidupan sehari-hari di mana individu dinilai atau diperlakukan berbeda berdasarkan seberapa dekat mereka memenuhi standar kecantikan yang sempit ini.

Dampak psikologi

Ada sebuah karya seseorang penulis "the ugly duckling" cerita ini bermula ketika seekor anak bebek yang baru menetas dianggap jelek oleh teman-temannya di pertanian. dia dihina-hina, ditolak, dan diasingkan karena penampilannya yang berbeda. yang menyebabkan dia merasa tidak berharga dan terisolasi. dalam perjalanannya anak bebek ini menghadapi berbagai tantangan dan pengalaman yang menyakitkan, dia berusaha mencari tempat di mana dia bisa diterima dan dihargai namun terus-menerus menghadapi penolakan. Ini menggambarkan dengan akurat Bagaimana standar sosial atas kecantikan berpengaruh terhadap kesehatan internal seseorang, mempengaruhi bagaimana dia memandang dirinya sendiri dan orang lain. individu yang tidak memenuhi standar kecantikan tidak dihargai dan tidak diterima, dan individu yang menarik mengalami tekanan untuk tetap mempertahankan penampilan mereka agar terus dihargai atau diterima dalam masyarakat.

 Lookism dapat menyebabkan individu menginternalisasi standar kecantikan yang tidak realistis, menyebabkan persepsi diri yang negatif. mereka mungkin terobsesi dengan penampilan fisik mereka dan merasa tidak cukup baik, yang dapat mengarah pada gangguan citra tubuh dan harga diri yang rendah, dapat menyebabkan masalah psikologis yang lebih parah termasuk depresi kecemasan, dan gangguan makan. individu yang tidak memenuhi standar kecantikan konvensional seperti mereka yang memiliki berat badan lebih, fitur wajah yang tidak simetris, atau warna kulit yang berbeda sering menghadapi diskriminasi terhadap penampilan mereka. diskriminasi inilah yang bertanggung jawab dalam memperburuk perasaan tidak aman dan memperdalam masalah kesehatan mental.

 dan yang lebih parah dari ini adalah ketika pandangan fisik dijadikan dasar untuk mencintai seseorang, individu yang merasa tidak mencapai standar kecantikan tertentu akan merasa dirinya susah atau bahkan tidak akan pernah dicintai, dikarenakan dia tidak bisa lagi melihat di luar standar sosial akan kecantikan. individu yang walaupun awalnya peduli terhadap kebaikan, akhirnya melihat kecantikan sebagai aspek yang lebih penting dan berfokus menekan diri untuk mencapai standar tersebut agar bisa dicintai. "I was never cut out for prom queen, if I get more pretty, do you think he will like me?" Sangat menyedihkan melihat bagaimana cinta dikaitkan dengan kecantikan fisik, dari tekanan sosial menciptakan tekanan tidak sehat pada individu untuk terus-menerus berusaha memenuhi standar kecantikan yang seringkali tidak realistis, dan berubah-ubah dikarenakan apa yang kita anggap sebagai cantik, seringkali dibentuk oleh lingkungan sosial dan budaya kita, dan bukan suatu esensi universal melainkan hanyalah sebuah konstruksi sosial.

Penutup

Kita sebagai masyarakat harus bisa berhenti menilai seseorang berdasarkan fisik dan keadaan eksternalnya. dengan perbandingan standar kecantikan yang berubah-ubah tergantung pada persepsi sosial pada saat itu. kita sebagai masyarakat harus bisa membedakan apa itu kecantikan, dan apa itu kebaikan. jangan pernah menjadikan keduanya menjadi sinonim. Kita sebagai masyarakat haruslah bisa memberikan nilai yang lebih tinggi terhadap seseorang yang memiliki nilai moral yang baik, dibandingkan dengan orang yang cuma sekedar berparas cantik. tetaplah ingat bahwa kecantikan yang sebenarnya berasal dari dalam diri bukan dari luar, dan ini bukan sekedar bentuk romantisme atau pandangan lain mengenai hal ini, tapi ini yang seharusnya kita capai, ini yang seharusnya menjadi tujuan kita sebagai masyarakat untuk memandang seseorang dengan nilai-nilai Internal yang mereka miliki.

 bukan hanya tampang eksternal yang kita bandingkan dengan standar sosial yang tidak bisa dicapai. Seperti yang dituliskan oleh Kahlil Gibran " beauty is not in the face, Beauty is Iight in the heart" Dan Epictetus juga berkata dalam bukunya discourses and selected writing bab 40 "pada usia 14 tahun, anak perempuan mulai disapa oleh laki-laki sebagai 'wanita', dari sini mereka menyimpulkan bahwa dunia tidak menghargai mereka selain potensi mereka sebagai pasangan seksual. Akibatnya, mereka menjadi sibuk dengan penampilan mereka dan mengesampingkan hal-hal lain. Mereka harus disadarkan bahwa mereka berhak disebut 'wanita' hanya sejauh mereka memupuk kesopanan dan harga diri"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun