"Keberagaman adalah kenyataan tak terbantahkan, dan harmoni adalah seni yang harus diperjuangkan." -- Kofi Annan
Indonesia, dengan segala keragaman etnis, budaya, dan agama yang dimilikinya, telah lama menjadi contoh hidup bagaimana perbedaan bukanlah suatu penghalang, melainkan justru menjadi kekuatan yang mempersatukan. Kisah inspiratif tentang kunjungan siswa Kolese Kanisius ke Pesantren Nur El-Falah di Serang, Banten, menjadi salah satu bukti nyata dari semangat keberagaman ini. Dalam kunjungan tersebut, kita melihat bagaimana dua kelompok pelajar dari latar belakang yang berbeda bisa bertemu, saling mengenal, dan belajar satu sama lain dalam suasana persaudaraan yang hangat.
Kegiatan seperti ini mengingatkan kita pada nilai-nilai Pancasila yang telah menjadi dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Pancasila mengajarkan kita untuk saling menghargai keberagaman agama. Siswa Kolese Kanisius, yang berlatar belakang pendidikan Katolik, bisa merasakan langsung bagaimana kehidupan para santri di pesantren, yang mungkin sebelumnya asing bagi mereka. Sebaliknya, para santri pun mendapat kesempatan untuk mengenal siswa dari sekolah Katolik bergengsi di Jakarta. Interaksi ini membuka ruang dialog lintas agama yang selama ini jarang terjadi di tingkat pendidikan, dan menjadi wujud nyata dari semangat Pancasila yang mengajarkan pentingnya persatuan dalam perbedaan.
Kunjungan Ekskursi Kolese Kanisius ke Pesantren Nur El-Falah (Sumber: Brandon John Handana)
Banyak orang yang mengira bahwa pesantren hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi kunjungan ini membuktikan sebaliknya. Pesantren Nur El-Falah tidak hanya mengajarkan santri-santrinya tentang Al-Qur'an dan hadits, tetapi juga memberikan keterampilan hidup yang berharga. Para santri belajar mengolah sampah menjadi produk daur ulang yang memiliki nilai jual, seperti tas dan hiasan. Selain itu, mereka juga mengembangkan keterampilan baking, membuat roti yang dijual untuk mendukung ekonomi pesantren. Hal ini menjadi inspirasi bagi kita semua bahwa pendidikan harus mencakup aspek keterampilan praktis agar dapat menghasilkan generasi yang mandiri dan kreatif.
Kebersamaan yang terjalin selama kegiatan ini menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya gotong royong dalam masyarakat. Siswa Kolese Kanisius dan santri Nur El-Falah bersama-sama membersihkan lingkungan sekitar pesantren, melakukan kegiatan sosial, dan berbagi cerita tentang kehidupan sehari-hari mereka. Melalui kegiatan ini, kita diingatkan akan pentingnya kerja sama antar sesama warga negara, terlepas dari perbedaan yang ada. Semangat gotong royong yang tertanam dalam budaya Indonesia menjadi kunci untuk menjaga kerukunan di tengah keberagaman.
Salah satu hal paling menginspirasi dari kegiatan ini adalah bagaimana kunjungan ini berhasil menghancurkan stereotip dan prasangka yang mungkin ada di benak masing-masing pihak. Siswa Katolik yang mungkin sebelumnya hanya mengetahui pesantren dari media, kini bisa melihat dan merasakan sendiri kehidupan para santri. Mereka menyaksikan kedisiplinan, ketekunan, serta semangat belajar yang tinggi di pesantren. Di sisi lain, para santri juga belajar tentang kehidupan siswa sekolah Katolik, yang mungkin sering mereka dengar tetapi jarang mereka temui. Ini menjadi langkah awal untuk menciptakan dialog yang lebih luas dan saling pengertian antar kelompok yang berbeda.
Kisah ini menginspirasi kita untuk melihat keberagaman sebagai kekayaan, bukan hambatan. Indonesia adalah rumah bagi ratusan suku, bahasa, dan keyakinan yang berbeda, dan justru inilah yang membuat bangsa kita unik. Ketika kita belajar menghargai perbedaan, kita akan menemukan bahwa setiap kelompok memiliki keunikan dan nilai-nilai yang bisa saling melengkapi. Kolaborasi antara siswa Kolese Kanisius dan santri Nur El-Falah ini menjadi contoh nyata bagaimana perbedaan agama dan budaya bisa menjadi kekuatan yang memperkaya pengalaman hidup kita.
Kegiatan lintas agama dan budaya seperti ini mengajarkan kita bahwa pendidikan bukan hanya tentang pelajaran di dalam kelas, tetapi juga tentang belajar untuk hidup berdampingan dalam masyarakat yang beragam. Pendidikan yang memupuk toleransi dan dialog terbuka adalah kunci untuk menciptakan generasi muda yang siap menghadapi tantangan global dan mampu membangun masyarakat yang inklusif. Kunjungan ini menjadi model bagi sekolah-sekolah lain untuk mengadakan kegiatan serupa yang mendukung pengembangan karakter dan memperkuat semangat kebangsaan.
Di tengah meningkatnya isu-isu intoleransi yang sering muncul di masyarakat, kisah kunjungan ini menjadi angin segar yang menginspirasi. Harmoni yang tercipta antara siswa Kolese Kanisius dan santri Nur El-Falah menunjukkan bahwa perbedaan tidak perlu dijadikan alasan untuk berkonflik. Justru, dialog dan kerjasama lintas agama adalah cara terbaik untuk membangun jembatan persaudaraan dan menjaga keharmonisan di tengah tantangan zaman. Kisah ini seharusnya menjadi inspirasi bagi generasi muda lainnya untuk berani menjelajahi perbedaan dan belajar dari satu sama lain. Ketika kita mau membuka diri dan berinteraksi dengan yang berbeda, kita tidak hanya memperluas wawasan tetapi juga memperkuat persatuan. Kegiatan seperti ini perlu terus didorong agar semangat kebersamaan dan toleransi terus tumbuh di kalangan generasi penerus bangsa.
Sebagaimana Ki Hajar Dewantara mengingatkan melalui moto "Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani," pendidikan tidak hanya tentang mengasah intelektualitas, tetapi juga membentuk jiwa yang terbuka dan toleran. Anak-anak muda dari Kolese Kanisius dan Pesantren Bismillah membawa pulang lebih dari sekadar cerita---mereka membawa semangat untuk menjembatani keberagaman. Persatuan bukanlah ketiadaan perbedaan, melainkan kemampuan untuk merangkul dan memaknainya. Dengan semangat ini, mereka melangkah maju, siap menjadi generasi yang membangun bangsa yang harmonis dalam keberagaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H