=>Teori Etika Islam di Bidang Konsumsi
Di bidang ekonomi, etika Islam berarti seseorang ketika mengkonsumsi barang-barang atau rezeki dengan cara yang halal dan baik. Artinya perbuatan yang baik dalam mencari barang-barang atau rezeki  baik untuk dikonsumsi mau pun diproduksi adalah bentuk ketaatan terhadap Allah SWT, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur 'an " Wahai umat manusia, makaniah apa yang ada di bumi, dengan cara yang sah dan baik".Â
Karena itu, orang mu'min berusaha mencari kenikmatan dengan menaati perintah perintah Nya dan memuaskan dirinya sendiri dengan barang-barang dan anugerah-anugerah yang dicipta Allah untuk umat manusia. Konsumsi dan pemuasan kebutuhan tidak dikutuk dalam Islam selama keduanya tidak melibatkan hal-hal yang tidak baik atau merusak. Allah SWT. berfirman dalam Al-Qur'an:
"Katakaniah, siapakah yang melarang (anugerah-anugerah Allah) yang indah, yang Dia ciptakan untuk hamba-hamba-Nya dan barang- Â Â barang yong bersih dan suci (yang Dia sediakan)"
Konsumsi berlebih lebihan, yang merupakan ciri khas masyarakat yang tidak mengenal Tuhan, dikutuk dalam Islam dan disebut dengan istilah ishraf (pemborosan) atau tabzir (menghambur-hamburkan harta tanpa guna). Tabzir berarti mempergunakan harta dengan cara yang salah, yakni untuk menuju tujuan-tujuan yang terlarang seperti penyuapan hal-hal yang melanggar hukum atau dengan cara yang tanpa aturan.Â
Setiap kategori ini mencakup beberapa jenis penggunaan harta yang hampir-hampir sudah menggejala pada masyarakat yang berorientasi konsumer. Pembarosan berarti penggunaan harta secara berlebih- lebihan untuk hal-hal yang melanggar hukum dalam suatu hal seperti makanan, pakaian, tempat tinggal atau bahkan sedekah.Â
Ajaran-ajaran Islam menganjurkan pola konsumsi dan penggunaan harta secara wajar dan berimbang, yakni pola yang terletak di antara kekikiran dan pemborosan. Konsumsi yang melampui tingkat moderat (wajar) dianggap ishraf dan tidak disenangi Islam.
Realita kehidupan manusia modern di kota-kota besar dunia saat ini menunjukkan tingkat konsumsi yang tinggi dan berlebihan. Semangat meterialisme, hedonisme dan konsumerisme telah menjadikan uang sebagai ukuran segala-galanya karena dengan uang akan mendapatkan segala apa yang diinginkannya dan segalanya membutuhkan uang. Uang tidak lagi menjadi alat, tetapi jadi kekuasaan dan tujuan.
Dampak dari hedonisme dan konsumerisme yang berbasis pada meterialisme pada akhirnya telah melahirkan keserakahan dan kerakusan tanpa batas. Akibatnya telah mengancam kelestarian lingkungan hidup alam di sekitarnya, keberlangsungan hidup sesamanya yang harmonis karena manusia mempunyai keinginan untuk menguasai apa yang ada untuk kepentingan egoisme pribadinya untuk mendapatkan kepuasan dirinya yang tidak pernah ada habisnya.Â
Pada tingkat egoisme yang hedonistik dan konsumeristik ini, manusia lupa pada makna hakiki dari kehidupannya yang sebenar-benarnya terbatas dan tidak pernah manusia ciptakan sendiri.
Hidup dan alam semesta disekitarnya ini adalah pemberian yang di terima manusia apa adanya. Manusia hidup bukan karena dirinya dapat menciptakan hidup yang ada dalam dirinya. Hal yang sama juga berlaku pada kematian manusia yang tidak dapat dihindari serta tidak diketahui sebelumnya bagaimana,kapan dan dimana kematian itu akan datang. Al- Quran mengatakan :