Al Qur'an itu tidak perlu ditafsir lagi. Pakai saja persis kayak yang tertulis. Mestinya kita tidak perlu para "mufasir" itu. Kalau sudah dibilang "boleh mengawini budakmu", itu artinya boleh. Titik.
Kalau sekarang tak ada lagi budak, ya harus diadakan lagi perbudakan. Kalau sudah dibilang perjalanan lebih dari 15 km sudah boleh tidak puasa, ya ikuti saja. Para sopir bis full AC antar kota dan para pilot itu memang boleh tidak puasa!
Lakukan saja "apa yang telah dilakukan oleh bapak-bapakmu terdahulu".
Kita (yang ngaku modern) memang sering "menuntut" supaya Al Qur'an itu harus sistematis kayak buku-buku modern zaman sekarang. Harus sistematis, harus jelas, harus eksplisit, dan sebagainya. Makanya diam-diam kita frustrasi baca Al Qur'an.
Sejak dulu sudah muncul banyak ulama (kaum berilmu) yang mencoba mensistematiskan Al Qur'an supaya lebih mudah dicerna umat yang makin lama makin modern, makin menuntut sistematika. Content-nya (diusahakan) tetap, hanya sistematikanya yang ditata ulang. Substansinya (coba) dijaga, hanya implikasi dan penekanannya yang beradaptasi.
Kemudian para ulama itu mulai mencoba melengkapinya dengan "penjelasan" dan "petunjuk pelaksanaan". Karena letak geografis para ulama itu berbeda-beda maka tentu saja juklak yang mereka buat juga berbeda-beda. Karena mereka juga hidup di zaman yang berbeda maka juklaknya makin berbeda lagi.
Nah, inilah sebabnya masing-masing mazhab itu jadi punya perbedaan.
MEREKA ITU SEMUA BENAR UNTUKÂ TEMPAT MEREKA BERADA DAN ZAMAN KETIKA MEREKA HIDUP.
***
Saya berharap cukup saya saja yang frustrasi membaca Al Qur'an karena sejak tadi saya sedang melakukan hal yang terbalik dengan pikiran saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H