Di sebuah pengadilan negeri Indonesiana (Indonesia ala Kompasiana), seorang pejabat pemerintahan yang dituduh melakukan tindak pidana Korupsi dihadapkan dengan Majelis Hakim yang terdiri dari Jaksa dan para Hakim. Majelis Hakim itu mengenakan toga, penuh wibawa dengan palu diletakkan di depannya. Para hakim yang menentukan hukum berpegang pada kitab undang-undang dan bertumpu pada berbagai peraturan. Mereka membuat penafsiran dan pertimbangan, menerapkannya pada berbagai keadaan di berbagai tingkatan pencarian keadilan. Dan pada kasus itu, jaksa menuntut untuk menjatuhkan hukuman seumur hidup pada sang Koruptor.
Namun, Si Koruptor langsung berdiri dan mengajukan eksepsi lisan terhadap tuntutan jaksa dan pengadilan yang mengadili:
"Keberatan Yang Mulia! Bapak jaksa dan para hakim yang terhormat, saya menolak tuduhan dan kewenangan jaksa yang menuntut dan pengadilan yang memeriksa saya karena rakyat sedang menuntut bapak-bapak sekalian dengan tuduhan yang sama."
Akibat eksepsi itu, suasana persidangan mulai tidak kondusif dan Majelis Hakim bersepakat untuk menunda persidangan.
***
Di luar persidangan, Ketua majelis meminta agar Si Koruptor menemuinya di kamar kerjanya. Dikamarnya, Bapak Hakim itu tidak mengenakan toga, dan tidak memegang palu. Akan tetapi, ia memegang sebuah kalkulator. Mereka melakukan pembicaran dengan penuh hikmat.
Sang Hakim pun berujar dengan sangat jelas dan teliti layaknya sebuah kalkulator:
Hukum adalah seperti yang kukatakan dulu
Hukum adalah kau tahu kan yang kumaksudkan?
Hukum adalah apakah kau sudah mengerti?
Hukum adalah mari dijelaskan sekali lagi!