Konon, di dalam tubuh manusia ada seonggok daging; jika ia baik maka baiklah tubuh seluruhnya, jika ia rusak maka rusaklah tubuh seluruhnya; seonggok daging itu adalah 'qalbu'. Kalimat ini sebenarnya merupakan terjemahan bebas dari sebuah hadits. Saya sengaja mengangkat hadits ini dalam tulisan saya dengan alasan sebuah kata 'qalbu' yang menyertainya. Dalam hubungannya dengan Bahasa Menunjukkan Bangsa, kita akan melirik kata 'qalbu' yang sudah menjadi kata serapan dalam Bahasa Indonesia yang masih menyisakan kebingungan karena begitu banyaknya tafsiran yang berbeda-beda dalam setiap perbincangan yang menggunanakan kata tersebut. Dalam hadits itu jelas menyebutkan bahwa qalbu adalah seonggok daging (benda fisik) yang terkait langsung dengan keadaan tubuh manusia. Untuk dapat memahami maksudnya, tentu saja kita terlebih dahulu harus mengetahui seonggok daging mana yang kalau ia sakit atau rusak maka seluruh tubuh juga akan rusak?
Saya sering berbincang-bincang dengan banyak orang mengenai qalbu ini. Entah itu tokoh spiritual atau masyarakat awam, sebagian besar menerjemahkan qalbu dengan 'hati'. Padahal hati (Inggris: liver, Latin: hepar) adalah organ tubuh yang berada di bagian kanan atas perut yang berbatasan dengan dada sebelah kanan tepat di bawah diafragma dan berfungsi sebagai organ detoksifikasi darah (penawar racun tubuh). Memang ada benarnya jika hati ini menjalankan fungsinya dengan baik, maka tubuh juga akan baik-baik saja. Akan tetapi, coba Anda telusuri dengan menggunakan Google Translate, 'hati' (kata benda, nomina) dalam bahasa Arab disebut dengan 'kabid'. Dengan catatan Anda harus menerjemahkan terlebih dahulu kata 'hati' ke dalam Bahasa Inggris (misalnya) untuk mendapatkan bentuk nominanya (liver). Karena jika langsung menerjemahkan ke dalam Bahasa Arab, 'hati' dianggap sebagai bentuk abstrak. Dan hasil yang keluar adalah kata qalbu atau heart (Inggris). Ada juga yang mengatakan 'hati' dalam Bahasa Arab dengan 'kibdun' atau 'kibdatun'.  Jadi orang Arab tidak pernah memahami qalbu sebagai hati, liver atau hepar.
Qalbu (bentuk fisik) dalam kamus Bahasa Arab didefinisikan sebagai 'organ yang sarat dengan otot yang fungsinya menghisap dan memompa darah, terletak di tengah dada agak miring ke kiri'. Jadi, qalbu adalah jantung. Jantung adalah seonggok daging yang kalau ia baik maka seluruh tubuh akan baik atau sebaliknya kalau ia rusak maka seluruh tubuh akan rusak. Saya tidak mempermasalahkan hal ini, karena yang pertama  saya bukan orang Arab dan kedua saya tidak tahu pasti bagaimana cara pemahaman orang Arab mengenai qalbu tersebut.
Lain halnya jika anda berkecimpung dalam dunia kedokteran, khususnya dalam kajian neurosains, maka qalbu akan di artikan sebagai otak. Karena sesungguhnya yang mengendalikan seluruh fungsi tubuh adalah otak. Seluruh kerja organ-organ tubuh termasuk hati dan jantung juga di pengaruhi oleh keadaan otak. Bahkan dalam Kedokteran Forensik, seseorang dikatakan masih hidup jika otaknya masih aktif, meskipun hati dan jantungnya sudah tidak bekerja lagi.
Dalam dunia spiritual beda lagi pemahamannya. Qalbu (qalb) dipahami sebagai sesuatu yang tak dapat dilihat secara visual (intangible) atau lebih dekat dengan kata jiwa. Ini mematahkan anggapan bahwa qalbu merupakan benda fisik atau seonggok daging. Ungkapan seonggok daging itu merupakan sebuah metafora (majazi) bukan ungkapan sesungguhnya (haqiqi). Pemahaman ini selaras dengan ungkapan "Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat" (Mens sana in corpore sano, Latin).
Dari sini kita dapat melihat bahwa 'qalbu' bermakna ambigu. Karena dapat dimaknai secara benda fisik, dapat pula dimaknai secara abstrak. Mirip dengan kata heart dalam bahasa Inggris, sama-sama memiliki makna ganda. Heart dapat bermakna jantung (heart attack, serangan jantung), dapat juga bermakna hati (you’re always in my heart, kamu selalu di hatiku). Hati di sini mengandung pengertian: cinta, emosi, nurani atau perasaan, sehingga sering diasosiasikan dengan kata love. Mirip dengan pemahaman secara spiritual. Tapi, kata 'hati' dan 'jantung' ini biasanya digunakan oleh para seniman dalam syair puisi maupun lagu. Misalnya : sakit hati, menghujam jantungku, dan sebaginya.
Jadi, untuk memaknai  qalbu ini, sebenarnya kata mana yang lebih cocok digunakan? Apakah hati? Apakah jantung? Atau apakah kita harus menyerap lagi kata 'heart' ke dalam Bahasa Indonesia? Atau apa sebenarnya qalbu itu?
Jika kita memahami kembali sumbernya (AlQuran/Hadits), kata qalbu ini digunakan untuk beberapa pengertian : sarana bagi perasaan-perasaan manusia (gembira, sedih, marah, dan sebagainya), dan juga sarana untuk memahami objek-objek ilmu pengetahuan. Qalbu adalah alat untuk memahami dan mengerti. Dan kemampuan ini tentu tidak bisa di apresiasi oleh hati maupun jantung, melainkan seonggok daging yang bernama otak. Hal ini di karenakan hanya otak yang memenuhi kriteria secara fisik (seonggok daging) dan memiliki kemampuan sebagai sarana bagi perasaan-perasaan manusia (emosional/spiritual) dan juga sarana untuk memahami objek-objek ilmu pengetahuan (rasional). Demikian halnya jika seseorang berkata 'sakit hati' (broken heart) dan merasakan sakit di dadanya. Itu bukanlah hati atau jantung yang sakit. Akan tetapi, pikiran (otak) yang mengalami gangguan dan bermanifestasi pada organ-organ tubuh yang lain, misalnya membuat jantung berdebar-debar sehingga timbul perasaan tidak mengenakkan di bagian dada. Ini adalah bukti bahwa otak mengendalikan seluruh fungsi organ tubuh secara sadar maupun tidak sadar. Secara holistik, jika otak (pikiran) baik, maka baiklah seluruh tubuh; dan jika otak (pikiran) rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Tubuh tidak hanya di maknai secara jasmani yang berkenaan dengan fisik dan estetika, melainkan juga secara rohani yang menyangkut aspek moral dan etika. Jadi, jika ditinjau secara ilmiah, makna qalbu yang sebenarnya adalah otak. Apakah kita bersepakat? Jika membaca tulisan ini, mungkin yang pertama menolak pemahaman ini adalah AA Gym. Ya, secara lagu yang dinyanyikannya : "Jagalah hati, jangan kau nodai. Jagalah hati, lentera hidup ini" akan diganti menjadi "Jagalah otak/pikiran, jangan kau nodai. Jagalah otak/pikiran, lentera hidup ini".
Pada hakikatnya, kata-kata bukan saja serangkaian huruf-huruf, melainkan juga sarat akan makna. Ada muatan di dalamnya. Semua yang menjadi muatan kata-kata harus dapat dipahami secara jelas untuk menemukan semangat yang dibawanya. Akan tetapi, muatan kata-kata itu justru terletak pada penafsiran masing-masing orang. Itulah yang disebut persepsi. Oleh karena itu, apabila mendengar perbincangan tentang qalbu, hati atau jantung maupun otak, maka kita harus memperhatikan konteksnya. Kalau yang berbicara adalah dokter medis, tentu qalbu yang diucapkannya lebih bermakna jantung atau otak tergantung pemahaman dokternya. Tapi bila yang berbicara adalah seniman atau bila dikaitkan dengan perbincangan tentang moral, iman atau spiritualitas, maka maknanya lebih mengarah pada hati atau jantung yang wujudnya abstrak. Dalam bahasa Indonesia qalbu abstrak ini disebut dengan 'hati nurani'. Namun kita sering menyingkatnya menjadi 'hati' saja. Mungkin alasannya karena dianggap terlalu panjang dan menyulitkan dalam pembicaraan. Padahal ada perbedaan besar antara 'hati' dengan 'hati nurani' sebagaimana berbedanya 'mata' dengan 'mata kaki'.
Lalu, ada lagi hal lain mengenai qalbu yang membingungkan. Jika kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online, dan men-search pembendaharaan kata 'qalbu', maka kita akan mendapatkan tulisan "Tidak menemukan kata yang sesuai dengan kriteria pencarian!!!". Lho? Bukannya kata ini adalah kata serapan dan sudah digunakan dalam keseharian kita? Tapi coba ganti huruf 'q' dengan huruf 'k', barulah kita dapat menemukan terjemahan dari kata 'kalbu', yakni: pangkal perasaan batin; hati yg suci (murni); hati. Makna pertama dan kedua yakni 'pangkal perasaan batin; hati yang suci (murni)' adalah istilah lain dari 'hati nurani' yang berwujud abstrak. Sedangkan makna ketiga yakni 'hati' menyisakan tanda tanya. Jika yang dimaksud adalah hati secara fisik, berarti penerjemahan dalam KBBI tersebut salah secara ilmiah. Namun jika yang dimaksudkan adalah hati yang abstrak, maka itu sama saja dengan makna pertama (hati nurani). Kenapa di tulis 'hati' lagi? Saya kira tidak perlu jika pada akhirnya melahirkan makna yang ambigu.
Kembali dalam penulisan 'qalbu' menjadi 'kalbu' dalam Bahasa Indonesia. Ini juga meninggalkan sedikit masalah. Dalam kosakata Arab, satu huruf saja yang terganti maka itu akan merubah makna dari kata tersebut. Qalbu harus ditulis dengan huruf 'q' karena teks Arabnya menggunakan huruf "qaf". Tetapi dalam KBBI ditulis dengan huruf 'k' sehingga menjadi 'kalbu'. Padahal 'k' adalah transliterasi dari "kaf" dan kalau ditulis (kalbu) maknanya adalah anjing. Jadi, sangat jauh berbeda antara qalbu (hati nurani) dan kalbu (anjing). Saya tidak bisa membayangkan apa jadinya jika ada seorang Indonesia yang memiliki kekasih Arab tulen atau turunan Arab dan mengungkapkan sebuah kalimat misalnya : "Kau adalah hidupku, kau adalah kalbuku". Mungkin maksud 'kalbuku' di sini adalah 'hatiku' atau 'cintaku', tapi si Arab akan memahaminya dengan 'anjingku'. Jadi, menurut saya alangkah baiknya penulisan kata serapan qalbu itu tidak perlu dilakukan perubahan. Toh itu bisa menambah kosakata Bahasa Indonesia yang diawali dengan huruf 'Q'. Ya begitulah, bahasa menunjukkan bangsa.
Dalam pandangan sosial, ada hal yang sedikit unik dimana kata-kata (words) dapat berwujud pedang (sword). Tidak heran jika ada ungkapan yang mengatakan "mulutmu, harimaumu". Satu kata seperti "Tembak!" dalam militer dapat menghilangkan minimal satu nyawa manusia. Demikian halnya ketika kita berkata yang bermakna buruk pada orang lain dapat berimplikasi pada diri kita sendiri. Nah, jika kita pahami baik-baik perbedaan-perbedaan di atas, mungkin ada manfaatnya dalam perbincangan yang mengarah pada perdebatan yang menuntut untuk dikeluarkannya peluru makian. Misalnya, ketika kita kesal pada lawan bicara kita dan ingin mengatainya "Kau manusia Anjing!". Menurut saya, alangkah indahnya makian itu jika kata 'anjing' diganti saja dengan kata 'Kalbu' yang juga bermakna 'anjing' menjadi "Kau manusia Kalbu!". Di satu sisi kita telah melampiaskan emosi kita, di sisi lain orang yang kita katai tidak terganggu emosinya alias tidak tersinggung. Malah mungkin akan memperbaiki tali hubungan persaudaraan yang retak. Wallahu 'alam.
Ya begitulah, sekali lagi bahasa menunjukkan bangsa. Bahasa adalah sebuah fakta sosial yang hanya dapat diubah melalui sebuah konsensus, tapi inti dari bahasa adalah saling memahami. Bangsa kita memiliki banyak bahasa dan pembendaharaan kata baik secara etnis maupun serapan, tapi itulah bangsa kita. Bangsa yang -hanya- kaya dengan perbedaan-perbedaan. ~
***
Salam Hati, Bukan Hati :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H