Mohon tunggu...
Haz Algebra
Haz Algebra Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Seorang hamba dari semua insan besar, juga hamba dari para pecundang. Menulis untuk meninggalkan JEJAK! [http://hazbook.blogspot.com/]

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

BTW.., OTW.., OMG..!, LoL :D

15 Juli 2010   10:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:51 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan judul ini kita akan berbicara singkat (BTW) mengenai Sejarah (OTW) dimana Tuhan-Tuhan saling "membunuh" (OMG!) yang pada akhirnya akan membuat kita merasa "geli" dengan fenomena-fenomena yang menyertainya hingga kini (LoL). Tuhan, yang satu, tak terjangkau oleh pikiran manusia, namun Dia dipersepsi secara berbeda-beda oleh berbagai kelompok manusia sepanjang sejarah.” Demikian ini salah satu untaian pemikiran Karen Armstrong dalam bukunya, Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan Orang-orang Yahudi, Kristen dan Islam Selama 4000 Tahun. Ide manusia tentang monotheisme ini merupakan salah satu ide tertua yang dikembangkan manusia untuk menjelaskan misteri dan tragedi kehidupan. Awalnya, manusia telah menggagas ide tentang Tuhan yang satu sebagai Penyebab Pertama (Causa Prima) bagi segala sesuatu dan Penguasa langit dan bumi. Dia tidak terwakili oleh gambaran apa pun dan tidak memiliki kuil atau pendeta yang mengabdi kepadanya. Dia terlalu luhur untuk ibadah manusia yang tak memadai. Namun, perlahan-lahan Dia memudar dari kesadaran umatnya. Dia telah menjadi begitu jauh sehingga mereka memutuskan bahwa mereka tidak lagi menginginkannya. Dan pada akhirnya Dia dikatakan telah menghilang.  Begitulah, setidaknya, menurut satu teori, yang dipopulerkan oleh Wilhelm Schmidt dalam The Origin of the Idea of God, yang pertama kali terbit pada 1912. Schmidt menyatakan bahwa telah ada suatu monoteisme primitif sebelum manusia mulai menyembah banyak dewa. Pada awalnya mereka mengakui hanya ada satu Tuhan Tertinggi, yang telah menciptakan dunia dan menata urusan manusia dari kejauhan. Manusia mengungkapkan kerinduan kepada Tuhan melalui doa; percaya bahwa dia mengawasi manusia dan akan menghukum setiap dosa. Namun demikian, dia anehnya tidak hadir dalam kehidupan keseharian manusia; tidak ada kultus khusus untuknya dan dia tidak pernah tampil dalam penggambaran. Tuhan yang dirasakan sudah sangat jauh ini, bahkan dikatakan telah "pergi" kemudian digantikan dengan tuhan-tuhan personal yang lebih mudah dijangkau dan dirasakan kehadirannya. Tuhan personal adalah penggambaran bahwa Tuhan itu seperti manusia, dalam artian memiliki pribadi. Jadi Tuhan bukan prinsip. Menurut perspektif ini, Tuhan bukan suatu yang berada di balik alam dan meliputi semuanya. Adapun lawan Tuhan personal adalah Tuhan yang a-personal atau impersonal. Dalam sejarah, Tuhan yang impersonal ini banyak dibicarakan oleh para filsof. Tuhan para mistikus. Dalam perjalanannya kemudian, Tuhan selalu terlibat dalam pergumulan-pergumulan, berwujud kepentingan-kepentingan, konflik ide, dan lain-lain. Agama sebagai organisasi yang memiliki klaim tentang Tuhan tidak hanya berisi yang tinggi, yang baik, dan luhur atau gambaran yang indah-indah saja. Namun ternyata, agama juga terlibat dalam kekerasan, pembenaran untuk membunuh sesama, bahkan terkadang agama terlibat dalam terorisme.  Kalau membaca buku Berperang Demi Tuhan karya Karen Amstrong, kita akan merasakan banyaknya bahaya yang muncul bila agama terlibat dalam kepentingan-kepentingan, politik dan kekerasan. Dalam setiap agama selalu saja ada salah paham dan prasangka atas agama lain. Fenomena ini dapat terlihat pada tiga agama besar  (Yahudi, Kristen, Islam) yang bersumber dari bapak monotheis yang sama yaitu Nabi Ibrahim, yang dalam kenyataan sejarah, justru paling sering terlibat kekerasan. Inilah yang menjadi pertanyaan besar. Sebab, tiga agama ini lahir dengan etos profetik, agama kenabian dan inilah yang merupakan penyebab utama kebingungan manusia. Dan akar permasalahan semua ini kebanyakan masih seputar pemahaman tentang Tuhan yang dipersonifikasi. Dewasa ini, kepercayaan mengenai Tuhan personal sudah tidak cocok lagi. Dan itu sebenarnya sudah lama disadari oleh ketiga agama besar di atas. Lebih kurang, sudah terjadi seribu tahun pergulatan antara para teolog dan para mistikus yang mengkritik Tuhan personal. Dalam Islam justru kesadaran ini muncul sebagai landasan ideologi lahirnya agama ini. Dimana kehadiran Nabi Muhammad saw sebagai Utusan Tuhan telah melakukan peniadaan terhadap tuhan-tuhan sebelumnya, yakni tuhan-tuhan yang personal. Hal ini terlihat jelas dalam kesaksian (syahadat) pertama pemeluk agama itu yang mengandung makna "peniadaan" dan "pengecualian" yakni, "Tiada Tuhan selain Allah". Agama ini juga menjelaskan bahwa Tuhan itu satu dan tak terbagi, tempat bergantung segala sesuatu, bukan salah satu dari dunia karena Dia melingkupinya, tidak beranak dan tidak diperanakkan dan tidak ada satupun yang setara dengan-Nya. Islam juga memberikan solusi terhadap permasalahan gender gramatikal yang memberikan nada dan dialektika seksual terhadap diskursus teologis. Misalnya,  mengenai kata Arab Allah (nama tertinggi bagi Tuhan) adalah maskulin secara gramatikal, tetapi kata untuk esensi Tuhan yang ilahiah dan tak terjangkau—Al-Dzat—adalah feminin. Sedangkan di kalangan Kristen Barat kesadaran ini baru muncul belakangan, terutama sejak kehadiran Nietzsche yang mengatakan bahwa Tuhan sudah mati (God is death). Akan tetapi, kebanyakan manusia masih terbawa dengan pemahaman lama seperti dalam perjalanan sejarah. Ada istilah sosiologi yang disebut priestly religion, agama yang bersifat kependetaan. Dimana seiring dengan bertumbuhkembangnya organized religion (agama yang terorganisasi), mulailah ada dogma, penilaian atas yang lain, kategorisasi kesesatan, anggapan kafir, klaim kebenaran (claim of truth), klaim keselamatan (claim of salvation) dan lain-lain. Hal itu secara tidak langsung telah mempersonalkan kembali konsep ketuhanan. Namun kemudian, kembali terjadi perdebatan apakah konsep Tuhan personal itu masih bisa dipertahankan atau tidak. Dari sini, kita dapat melihat bahwa ternyata konsep ketuhanan itu berevolusi. Lalu bagaimana caranya jika manusia ingin berbicara tentang Tuhan? Sementara Tuhan yang personal sudah tidak relevan lagi. Di sinilah manusia berbicara dengan menggunakan metafora ataupun analogi. Seperti pada tulisan ini, Ego Primitif Tuhan. Tetapi dengan catatan, Tuhan yang kita bicarakan itu bukanlah Tuhan yang sebenarnya, tapi Tuhan dalam konsep kita. Dan perlu diingat lagi, bahwa konsep tentang Tuhan itu banyak. Dan bila kita manusia tetap ingin menjelaskan Tuhan secara gamblang, maka kita akan terjerembab ke dalam antroposentrisme.  Dan percaya tidak percaya, tidak ada masa depan untuk Tuhan seperti itu. Sejauh Tuhan masih digambarkan terlalu rasional —sebagaimana dalam teologi selama ini— selama itu pula kepercayaan kita mengenai Tuhan akan mengalami krisis dan selalu dipertanyakan kembali. Konsep ketuhanan yang mandek ini, jika tidak dipahami akan memunculkan klaim-klaim kebenaran. Gawatnya lagi, bila muncul pemahaman bahwa konsep ketuhanan kelompok yang satu merasa paling benar sehingga kelompok ini berhak untuk mendiskriminasi pemahaman ketuhanan kelompok lainnya. Sikap eksklusif seperti ini selalu ada dalam sejarah. Bisa diamati, selalu ada doktrin bahwa jalan keselamatan hanya ada pada agama ini, tidak pada yang lain. Dan pasti setiap agama punya masalah yang sama. Oleh karena itu, pada masa pra-modern, mulai muncul gagasan-gagasan tentang pluralisme yang dilandasi belum adanya pemikiran tentang keabsahan yang lain dan kemungkinan adanya persamaan jalan menuju ketuhanan. Pluralisme ini merupakan gagasan yang sangat baru. Demikian juga paham toleransi yang baru muncul seiring dengan keinginan untuk menciptakan kehidupan harmonis antara orang-orang Kristen di Eropa. Tapi hal ini baru muncul belakangan saja. Kalau kembali ke Al Quran sebetulnya masalahnya ini menjadi mudah. Karena pada hakekatnya semua agama punya esensi yang sama. Perbedaannya, kata Al Quran, terletak pada syariat, menyangkut tata cara ibadah dan lain-lain. Oleh karena itu, yang terpenting dewasa ini bukanlah perdebatan teologis, tapi lebih menyangkut apa makna agama untuk kehidupan. Ini yang lebih penting. Maka dari itu, kita perlu mengaitkan pentingnya relasi agama dengan kemanusiaan. Sejauh agama terlalu strike dalam menggambarkan teologi, selama itu pula agama akan mengalami krisis. Selama agama tidak memberi perhatian sungguh-sungguh terhadap masalah kemanusiaan, sejauh itu pula agama akan ditinggalkan dan menjadi tidak relevan. Semoga kita semua tidak masuk dalam fanatisme dan fundamentalisme.

***

Bagimu agamamu, bagiku agamaku.

Beragamalah untuk manusia, bukan untuk Tuhan

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun