Mohon tunggu...
Hazairin Alfian
Hazairin Alfian Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Berbagi apapun yang patut dibagi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mau Apply Beasiswa S2/S3, Haruskah Mengambil Jurusan yang Linier?

21 Desember 2021   16:59 Diperbarui: 21 Desember 2021   17:13 980
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Untuk menjawab pertanyaan judul di atas, saya ingin bercerita dan menguraikan faktor yang paling berperan penting yang memungkinkan seorang pelamar beasiswa lulus, baik itu mengambil jurusan yang linier dengan S1 nya ataupun tidak.

***

Seminggu yang lewat, pengumuman beasiswa LPDP telah keluar. Kabar baiknya, beberapa teman dekat dan rekan aktifis saya dinyatakan lulus melalui sebuah email. Ucapan selamatpun mengalir dalam berbagai jenis untaian kata. Ada yang memuji dengan mengatakan yang bersangkutan memang inspiratif, ada juga yang menulis dengan menyertai harapan agar bisa memperoleh rezeki yang sama.

Sebagai seorang yang sudah lama mengenal mereka, sayapun tak mau luput merangkai kata lalu membuatnya sebagai konten status sosial media saya. Namun tanpa basa basi yang "basi", saya hanya menuangkan apa yang betul-betul saya ketahui dari diri kawan-kawan yang lulus itu, yakni usaha dan perjalanan hidup yang dilaluinya sehingga bisa meraih pencapaian yang sekarang.

Salah satu yang sudah lama saya garis bawahi soal proses yang mesti dilalui dalam mempersiapkan melamar beasiswa adalah track record atau catatan perjalanan yang lebih bersifat pengabdian/volunteerism. Hal ini semakin saya yakini setelah melakukan riset dan mencoba sendiri melamar beberapa beasiswa.

Tidak ada beasiswa yang saya temukan yang tidak menjadikan itu sebagai catatan penting dalam menilai penerima beasiswa. Lebih-lebih jika visi dari penyelenggara beasiswa itu adalah mencetak pemimpin-pemimpin masa depan seperti visi LPDP, tak pelak lagi yang dibutuhkan adalah mereka yang dengan tulus memberi kontribusi perubahan sosial meski dalam skala yang kecil.

Meski demikian muncul pertanyaan, bagaimana membuktikan pengabdian itu benar-benar nyata bukan sekedar rekayasa menjelang mau melamar beasiswa? Jawabannya sederhana: karya. Karya adalah bukti yang lebih nyata dari sekedar sertifikat dan semacamnya. Malah, sertfikat lebih nampak seperti pernak pernik saja, bisa sebagai bukti namun sulit bisa diukur sejauh mana dampak perubahan yang dibuat oleh karya itu.

Oleh demikian, kita bisa saja menyodorkan bukti fisik berupa sertifikat kepada pewawancara, namun kita jangan lupa menyiapkan bukti-bukti berupa dokumentasi kegiatan, atau bukti-bukti yang bisa diverifikasi kebenarannya sebagai sebuah karya. Perlu saya perjelas, karya yang saya maksudkan bisa berupa karya tulis, karya kerajinan tangan, temuan-temuan teknologi, atau apapun yang penting berasal dari olah fikir kita sendiri yang sekiranya bermanfaat bagi kepentingan khalayak luas.

Namun penting dicatat bahwa karya yang mesti ditonjolkan di dalam beasiswa mesti berkesesuaian dengan rencana studi yang diambil. Sangat keliru bahkan konyol jika dalam rencana studi kita ingin mengambil bidang studi pariwisata misalnya, lalu karya yang kita sodorkan lebih banyak bidang pendidikan. Yang ada, kita pasti akan ditawarkan mengambil bidang pendidikan oleh pewawancara. Kabar buruknya, jika tidak ditawarkan biasanya itu indikator kita tidak akan diluluskan.

Saya dan seorang kawan pernah mengalami kejadian diatas. Kami sama-sama berasal dari studi pendidikan yang mencoba mangadu nasib di beasiswa dengan mengambil jurusan pariwisata (maklum saja, jurusan ini semakin seksi bagi kebanyakan warga lokal semenjak melejitnya pariwisata Lombok). Dua kali mendaftar beasiswa dengan mengambil bidang itu, dua kali itu juga kami gagal. Sebabnya bisa ditebak, pewawancara belum yakin kontribusi atau karya kami sesuai dengan bidang yang kami ambil.

Barulah setelah mendaftar beasiswa yang ketiga kalinya dengan jurusan yang sama saya diterima, itupun setelah menunjukkan keseriusan saya dalam bidang pariwisata dengan menunjukkan keanggotaan resmi sebagai pramuwisata dan juga kontribusi-kontribusi lainnya. Sementara kawan saya yang satu akhirnya lulus juga namun tetap di jurusan pendidikan.he

Satu contoh lagi dari kawan saya yang baru saja menerima pengumuman kelulusan. Dia lulus S1 program studi pendidikan bahasa Inggris, namun aktifitasnya lebih banyak bergelut di bidang agama seperti menempuh pendidikan non-formal keagamaan selama 4 tahun, lalu menjadi pendakwah, penulis kajian-kajian keagamaan dalam bentuk buku dan esai di media-media lokal dan nasional. Ini sudah cukup meyakinkan bagi pewawancara untuk meluluskan dia mengambil S2 ilmu tafsir Al-Quran yang jelas-jelas tidak linier dengan pendidikan formalnya.

Oleh karenanya, boleh lah kemudian kita tarik kesimpulan bahwa boleh-boleh saja kita mengambil jurusan yang berbeda dengan S1 kita ketika melamar beasiswa. Yang paling penting adalah, kita mampu menjamin bahwa jurusan yang kita ambil mempunyai dukungan yang kuat dalam bentuk kontribusi-kontribusi yang nyata (karya) yang telah banyak memberikan manfaat dan perubahan dalam lingkungan sosial kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun