Mohon tunggu...
Hayyun Nur
Hayyun Nur Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Pemerhati Sosial

Seorang penulis frelance, peminat buka dan kajian-kajian filsafat, agama, dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Maulid Memang Bid'ah

12 Oktober 2022   03:18 Diperbarui: 11 Januari 2023   01:52 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Maulid Memang Bid'ah

Pagi-pagi sekali, di hari minggu kemarin, saya kedatangan tamu istimewa. Di rumah Kawatuna. Tamu istimewa dengan bawaan istimewa. Pak Mahruman, nama tamu itu. Kepala KUA Kecamatan Balaesang. Salah satu atau mungkin satu-satunya Kepala KUA dengan jadwal ceramah paling padat di bulan Maulid seperti sekarang. 

Tidak heran kalau di pagi Minggu itu, dia datang dengan bawaan sekantong besar telur warna warni yang ditancap dengan bambu-bambu kecil pada sebuah wadah berbahan plastik ukuran sedang.  Ini memang telur khas yang hampir pasti ada di setiap perayaan maulid. Merata di hampir setiap daerah dan tradisi. Dari kota hingga ke pelosok desa  Sudah menjadi semacam kearifan lokal. Lazim disebut pohon telur. Di Jawa disebut ndog-ndogan atau telur male dalam tradisi maulidan di kalangan masyarakat Bugis-Makassar.  

"Berkat dari acara maulid pagi ini. Begitu diberi telur saya langsung ingat pak Ketua", begitu katanya.  Kalimat terakhir membuat saya sempat ngakak. Entah apa hubungannya saya dengan telur berkat maulid itu. Bisa aja kawan satu ini. 

Kedatangan pak Mahruman pagi itu, membuat saya teringat kembali  kebiasaan masyarakat kita. Dua kebiasaan sekaligus. 

Di bulan Rabi'ul Awal seperti ini, sebagian besar masyarakat dengan antusias ramai-ramai menyelenggarakan perayaan maulid. 

Pelaksanaannya dimeriahkan dengan berbagai ragam variasi kegiatan. Puncak perayaan biasanya diisi rangkaian acara pembacaan Barzanji, ceramah agama, diakhiri dengan makan bersama. Rebutan telur warna-warni yang tertancap di pohon telur seperti yang di bawa pak Mahruman pagi itu, akan menambah kemeriahan suasana. Lebih-lebih kalau pelaku rebutan telurnya bukan saja anak-anak. Tak jarang bapak-bapak dan ibu-ibunya pun sambil tersipu-sipu turut serta meramaikan suasana rebut-rebutan telur itu. 

Itu kebiasaan pertama. Sebut saja kebiasaan itu sebagai hajatan di bulan Maulid. 

Kebiasaan kedua yang tak kalah riuhnya di bulan hajatan maulid seperti ini, berupa tudingan bid'ah terhadap kebiasaan pertama.

Tudingan ini tak jarang berujung pada hujatan syirik hingga pengkafiran terhadap para pelaku hajatan maulid. Dua kebiasaan ini hampir-hampir telah bersifat musiman. 

Hujatan di musim hajatan maulid, barangkali menjadi rangkaian kalimat yang kurang lebih tepat untuk menggambarkan fenomena itu. 

Uniknya, kerap kali baik yang menuding maupun yang dituding tak benar-benar paham apa makna dari kata bid'ah itu. Mereka  yang menuding seolah memegang prinsip, "apapun alasannya, pokoknya maulid itu bid'ah". Bagi yang dituding  tentu sebaliknya.

 "Apapun yang terjadi pokoknya maulid itu bukan bid'ah". 

Pokoknya, semua serba pokoknya. Seraya minus argumentasi yang dapat memicu tumbuhnya  percakapan publik yang kreatif argumentatif hingga mampu membangkitkan  dialektika intelektual untuk menyemarakkan tradisi literasi di negeri ini. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun