Maulid Memang Bid'ah
Pagi-pagi sekali, di hari minggu kemarin, saya kedatangan tamu istimewa. Di rumah Kawatuna. Tamu istimewa dengan bawaan istimewa. Pak Mahruman, nama tamu itu. Kepala KUA Kecamatan Balaesang. Salah satu atau mungkin satu-satunya Kepala KUA dengan jadwal ceramah paling padat di bulan Maulid seperti sekarang.Â
Tidak heran kalau di pagi Minggu itu, dia datang dengan bawaan sekantong besar telur warna warni yang ditancap dengan bambu-bambu kecil pada sebuah wadah berbahan plastik ukuran sedang.  Ini memang telur khas yang hampir pasti ada di setiap perayaan maulid. Merata di hampir setiap daerah dan tradisi. Dari kota hingga ke pelosok desa  Sudah menjadi semacam kearifan lokal. Lazim disebut pohon telur. Di Jawa disebut ndog-ndogan atau telur male dalam tradisi maulidan di kalangan masyarakat Bugis-Makassar. Â
"Berkat dari acara maulid pagi ini. Begitu diberi telur saya langsung ingat pak Ketua", begitu katanya. Â Kalimat terakhir membuat saya sempat ngakak. Entah apa hubungannya saya dengan telur berkat maulid itu. Bisa aja kawan satu ini.Â
Kedatangan pak Mahruman pagi itu, membuat saya teringat kembali  kebiasaan masyarakat kita. Dua kebiasaan sekaligus.Â
Di bulan Rabi'ul Awal seperti ini, sebagian besar masyarakat dengan antusias ramai-ramai menyelenggarakan perayaan maulid.Â
Pelaksanaannya dimeriahkan dengan berbagai ragam variasi kegiatan. Puncak perayaan biasanya diisi rangkaian acara pembacaan Barzanji, ceramah agama, diakhiri dengan makan bersama. Rebutan telur warna-warni yang tertancap di pohon telur seperti yang di bawa pak Mahruman pagi itu, akan menambah kemeriahan suasana. Lebih-lebih kalau pelaku rebutan telurnya bukan saja anak-anak. Tak jarang bapak-bapak dan ibu-ibunya pun sambil tersipu-sipu turut serta meramaikan suasana rebut-rebutan telur itu.Â
Itu kebiasaan pertama. Sebut saja kebiasaan itu sebagai hajatan di bulan Maulid.Â
Kebiasaan kedua yang tak kalah riuhnya di bulan hajatan maulid seperti ini, berupa tudingan bid'ah terhadap kebiasaan pertama.
Tudingan ini tak jarang berujung pada hujatan syirik hingga pengkafiran terhadap para pelaku hajatan maulid. Dua kebiasaan ini hampir-hampir telah bersifat musiman.Â