Mohon tunggu...
Hayyu Amalina Hanani
Hayyu Amalina Hanani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Mahasiswa semester 3 Program Studi Ilmu Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ujaran Kebencian yang Menjadi Tren di Media Sosial

7 Januari 2024   14:46 Diperbarui: 7 Januari 2024   14:57 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Media sosial sebagai ruang publik berfungsi sebagai alat diskusi, pertukaran ide, dan komunikasi yang bebas dan demokratis. Saat ini peran tersebut terganggu dengan adanya intervensi kekuatan ekonomi politik kelompok tertentu yang menyebabkan terganggunya netralitas masyarakat di media massa. 

Media sosial kini telah menjadi bagian fenomenal dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Berbagai kelebihan dan kemudahan ditawarkan untuk berkomunikasi dengan semua orang, baik kalangan bisnis maupun berbagai kalangan. 

Selain itu, dengan berkembangnya akses internet dan semakin majunya perangkat teknologi komunikasi seperti smartphone menjadi salah satu pendorong terciptanya halaman web baru yang menawarkan pertemanan dan informasi online. 

Media sosial yang seharusnya berguna untuk menciptakan kebebasan berpendapat dan solidaritas demokrasi, justru dijadikan sebagai alat penyebaran teks ujaran kebencian untuk melemahkan opini publik bahkan terhadap "penentang" yang berbeda pandangan dan ideologi. Penyebaran teks ujaran kebencian bukan sekedar asal-asalan, iseng atau sekedar hiburan, namun bisa diasumsikan mempunyai agenda yang pasti.

Teks ujaran kebencian di media sosial telah menjadi bagian dari panggung ekonomi politik yang sengaja dibuat oleh pihak-pihak tertentu untuk mengambil keuntungan dari wacana dan produksinya. 

Selain fakta bahwa teks-teks ujaran kebencian di media sosial saat ini meresahkan masyarakat, teks-teks tersebut juga menjadi ancaman terhadap kebebasan demokratis pers sebagai ruang publik di Indonesia. Selain masyarakat kesulitan menentukan teks berita mana yang akurat dan teks berita mana yang merupakan berita bohong/fraud, masyarakat juga kesulitan membedakan teks berita kritis dengan teks ujaran kebencian di ruang publik. 

Oleh karena itu, masyarakat yang memanfaatkan ruang publik di media sosial sering kali mengandalkan informasi yang mengandung ujaran kebencian dengan cara mengunggah ulang pesan tersebut dan menyebarkan pesan tersebut melalui media sosial terkait, sehingga ujaran kebencian dapat menyebar dengan cepat dan menjangkau khalayak luas.

Sebelum era media sosial, ujaran kebencian hanya dapat ditemukan dalam pamflet, tulisan di buku, surat kaleng, dan spesiesnya. Sekarang kita dapat menemukan ujaran kebencian di ponsel pintar kita, bahkan ketika kita tidak menduganya. Pernyataan ini milik grup tempat kita bergabung kita tidak bisa menyangkalnya. 

Secara umum, ujaran kebencian diartikan sebagai perkataan, perilaku, dan tulisan individu atau kelompok yang berupa provokasi, penghasutan, atau penghinaan terhadap individu atau kelompo lain. Perkataan yang mendorong kebencian biasanya melibatkan banyak masalah mulai dari ras, warna kulit, etnis, gender, disabilitas, orientasi seksual, kebangsaan hingga agama dan banyak lagi. Salah satu jenis ujaran kebencian yang banyak mendapat perhatian adalah ujaran kebencian yang ditujukan kepada pejabat pemerintah, tokoh agama, dan tokoh masyarakat.

Dari data yang ada, ujaran kebencian atau komentar negatif umumnya banyak ditemukan di media sosial. Hal ini dapat dilihat dari hasil program Virtual Police yang dibentuk dengan tujuan menegur akun yang dinilai melakukan pelanggaran UU ITE yang berisi ujaran kebencian dan SARA. Sejak pembentukan Virtual Police tersebut dalam rentang 100 hari kerja (23 Februari 2021 -- 31 Mei 2021), Twitter menjadi media sosial yang paling banyak mendapat teguran sebanyak 215 akun, disusul Facebook 180 akun, Instagram 14 akun, dan Youtube 19 akun. Kebebasan di media sosial menjadi penyebab individu tidak merasa takut untuk meninggalkan beberapa ujaran kebencian di suatu postingan atau berita. 

Anonimitas yang disediakan media sosial juga menyebabkan banyak orang merasa aman untuk mengatakan hal apapun, bahkan meninggalkan ungkapan cacian, kutukan, dan hinaan tanpa diketahui identitasnya oleh orang banyak. Terlebih orang yang mereka hujat bukanlah orang yang mereka kenal sehingga mengurangi dampak perasaan bersalah.

Sudah menjadi hal umum, bahwa banyak individu yang memberikan hujatan dengan kedok mengkritik. Mereka berdalih menyampaikan suatu pesan untuk memperbaiki sesuatu yang dianggap salah dari individu yang dikritik. Sayangnya, hal yang disebut kritik tersebut bahkan sudah tidak dapat dianggap membangun dan cenderung mengarah terhadap penghinaan. Jadi, apa esensi dari kritik tersebut? Apakah mungkin hanya untuk sensasi pribadi semata? Selain itu, komentar negatif berupa hujatan juga mudah mempengaruhi pikiran individu lain yang membacanya. Sehingga timbulah fenomena "ikut-ikutan" yang menyebabkan banyaknya warganet tergiring untuk ikut melemparkan komentar negatif. Sekadar untuk mendapat banyak dukungan, terlihat keren, atau mengikuti tren, tanpa mengetahui apa yang terjadi dan inti permasalahannya.

Dampak ujaran kebencian bagi para korban dapat sangat berbahaya. Apalagi media sosial merupakan tempat yang terbuka sehingga ujaran kebencian yang dilontarkan dapat terlihat oleh khalayak ramai. Hal tersebut dapat menyebabkan tekanan sosial, stress, trauma, hingga bunuh diri bagi korban. Selain itu, kondisi tersebut juga dapat menyebabkan korban merasa takut berada dalam lingkungan sosial. Sehingga, korban akan memilih untuk mengisolasikan diri, mengumpat di rumah, dan tidak lagi berinteraksi. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran lebih bagi para netizen dalam menyaring ujaran yang ingin diungkapkan. Kesadaran akan pidana UU ITE juga sangat diperlukan, agar netizen lebih berhati-hati dalam mengungkapkan pikirannya saat berkomentar.

Solusi untuk memperlambat dan mengurangi merebaknya ujaran kebencian berbasis masyarakat melalui gerakan sosial yaitu menciptakan tekanan sosial terhadap praktek ujaran kebencian yang dilakukan dengan membangun wacana publik dengan kegiatan monitoring dan reporting secara berkelanjutan terhadap kasus-kasus ujaran kebencian. Mengkampanyekan penerapan regulasi yang melarang ujaran kebencian di lingkup yang terbatas seperti universitas, sekolah, penyedia layanan media sosial (Facebook, Youtube) disebut informal restriction.

Ujaran kebencian tentu sangat berbahaya. Pertama, ujaran semacam ini sebenarnya adalah intimidasi dan merupakan sebuah pembatasan akan kebebasan berbicara seseorang atau kelompok. Hal ini jelas karena hate speech dapat memperkuat situasi sosial berupa hambatan berpartisipasi secara bebas oleh warga negara. Kedua, sangat penting dalam menciptakan polarisasi sosial berdasarkan kelompok identitas. Ketiga, dapat menciptakan permusuhan, menyebar benih intoleransi, melukai perasaan. Selain itu, dikatakan juga bahwa ujaran kebencian dapat memobilisasi kelompok-kelompok garis keras. Keempat, berkaitan secara langsung dan tidak langsung terhadap terjadinya hal-hal yang bersifat diskriminatif dan juga kekerasan.

Bahaya yang pertama terkait pembatasan akan kebebasan berbicara. Pada dasarnya, ujaran kebencian akan membuat sesorang atau kelompok merasa dibatasi ketika harus menyampaikan aspirasi. Bahaya yang kedua yaitu mengenai menciptakan polarisasi sosial. Ujaran kebencian dapat membuat sebuah perpecahan. 

Bahaya yang ketiga, ujaran kebencian dapat memobilisasi kelompok-kelompok garis keras. Dalam hal ini, ujaran kebencian akan mampu menggiring kelompok ekstrimis untuk terlihat baik di hadapan masyarakat. apa yang terlihat melalui media sosial, tidak seperti kenyataan yang sesungguhnya. Keempat adalah memicu tindakan diskriminatif serta kekerasan. Sebagai contoh adalah pertikaian-pertikaian anak dan remaja yang dipicu oleh ujaran kebencian melalui media social, atau kasus di mana seseorang menyuarakan pendapatnya tanpa melihat situasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun