sosial sebagai ruang publik berfungsi sebagai alat diskusi, pertukaran ide, dan komunikasi yang bebas dan demokratis. Saat ini peran tersebut terganggu dengan adanya intervensi kekuatan ekonomi politik kelompok tertentu yang menyebabkan terganggunya netralitas masyarakat di media massa.Â
MediaMedia sosial kini telah menjadi bagian fenomenal dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Berbagai kelebihan dan kemudahan ditawarkan untuk berkomunikasi dengan semua orang, baik kalangan bisnis maupun berbagai kalangan.Â
Selain itu, dengan berkembangnya akses internet dan semakin majunya perangkat teknologi komunikasi seperti smartphone menjadi salah satu pendorong terciptanya halaman web baru yang menawarkan pertemanan dan informasi online.Â
Media sosial yang seharusnya berguna untuk menciptakan kebebasan berpendapat dan solidaritas demokrasi, justru dijadikan sebagai alat penyebaran teks ujaran kebencian untuk melemahkan opini publik bahkan terhadap "penentang" yang berbeda pandangan dan ideologi. Penyebaran teks ujaran kebencian bukan sekedar asal-asalan, iseng atau sekedar hiburan, namun bisa diasumsikan mempunyai agenda yang pasti.
Teks ujaran kebencian di media sosial telah menjadi bagian dari panggung ekonomi politik yang sengaja dibuat oleh pihak-pihak tertentu untuk mengambil keuntungan dari wacana dan produksinya.Â
Selain fakta bahwa teks-teks ujaran kebencian di media sosial saat ini meresahkan masyarakat, teks-teks tersebut juga menjadi ancaman terhadap kebebasan demokratis pers sebagai ruang publik di Indonesia. Selain masyarakat kesulitan menentukan teks berita mana yang akurat dan teks berita mana yang merupakan berita bohong/fraud, masyarakat juga kesulitan membedakan teks berita kritis dengan teks ujaran kebencian di ruang publik.Â
Oleh karena itu, masyarakat yang memanfaatkan ruang publik di media sosial sering kali mengandalkan informasi yang mengandung ujaran kebencian dengan cara mengunggah ulang pesan tersebut dan menyebarkan pesan tersebut melalui media sosial terkait, sehingga ujaran kebencian dapat menyebar dengan cepat dan menjangkau khalayak luas.
Sebelum era media sosial, ujaran kebencian hanya dapat ditemukan dalam pamflet, tulisan di buku, surat kaleng, dan spesiesnya. Sekarang kita dapat menemukan ujaran kebencian di ponsel pintar kita, bahkan ketika kita tidak menduganya. Pernyataan ini milik grup tempat kita bergabung kita tidak bisa menyangkalnya.Â
Secara umum, ujaran kebencian diartikan sebagai perkataan, perilaku, dan tulisan individu atau kelompok yang berupa provokasi, penghasutan, atau penghinaan terhadap individu atau kelompo lain. Perkataan yang mendorong kebencian biasanya melibatkan banyak masalah mulai dari ras, warna kulit, etnis, gender, disabilitas, orientasi seksual, kebangsaan hingga agama dan banyak lagi. Salah satu jenis ujaran kebencian yang banyak mendapat perhatian adalah ujaran kebencian yang ditujukan kepada pejabat pemerintah, tokoh agama, dan tokoh masyarakat.
Dari data yang ada, ujaran kebencian atau komentar negatif umumnya banyak ditemukan di media sosial. Hal ini dapat dilihat dari hasil program Virtual Police yang dibentuk dengan tujuan menegur akun yang dinilai melakukan pelanggaran UU ITE yang berisi ujaran kebencian dan SARA. Sejak pembentukan Virtual Police tersebut dalam rentang 100 hari kerja (23 Februari 2021 -- 31 Mei 2021), Twitter menjadi media sosial yang paling banyak mendapat teguran sebanyak 215 akun, disusul Facebook 180 akun, Instagram 14 akun, dan Youtube 19 akun. Kebebasan di media sosial menjadi penyebab individu tidak merasa takut untuk meninggalkan beberapa ujaran kebencian di suatu postingan atau berita.Â
Anonimitas yang disediakan media sosial juga menyebabkan banyak orang merasa aman untuk mengatakan hal apapun, bahkan meninggalkan ungkapan cacian, kutukan, dan hinaan tanpa diketahui identitasnya oleh orang banyak. Terlebih orang yang mereka hujat bukanlah orang yang mereka kenal sehingga mengurangi dampak perasaan bersalah.