Pemanasan global semakin menjadi perhatian serius di seluruh dunia, termasuk di Indonesia yang merasakan dampaknya secara nyata. Fenomena ini disebabkan oleh peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi, yang dipicu oleh kandungan gas rumah kaca seperti air uap, metana, ozon, karbon dioksida, klorofluorokarbon, dan dinitrogen oksida. Penyebabnya melibatkan peningkatan gas rumah kaca, polusi udara dari kendaraan dan industri, serta emisi gas dari sampah plastik.
Data dari World Green Building Council menunjukkan bahwa bangunan gedung menjadi kontributor signifikan terhadap pemanasan global, menyumbang 33% emisi CO2, menggunakan 17% air bersih, dan memanfaatkan produk kayu sebanyak 25%. Penggunaan energi untuk pembangunan dan operasional bangunan mencapai 40-50%. Dampak pemanasan global melibatkan berbagai aspek kehidupan, termasuk kenyamanan termal dan pencahayaan dalam bangunan.
Kenyamanan termal, khususnya di bangunan pendidikan seperti perguruan tinggi, memiliki peran penting dalam keberhasilan kegiatan belajar mengajar. Indonesia, dengan tingkat pembangunan yang tinggi, memiliki target pengurangan konsumsi energi hingga 41%, terutama pada sektor bangunan yang menjadi konsumen energi terbesar ketiga setelah industri dan transportasi.
Menurut Cristina Gamboa, konsep bangunan hijau menitikberatkan pada efisiensi energi (WGBC, 2018). Efisiensi energi bukan hanya mendukung kebijakan pemerintah di sektor energi, tetapi juga menjadi fondasi utama green building dengan fokus pada pengurangan konsumsi energi, terutama yang berasal dari fosil.
Dalam konteks ini, pengecatan bangunan menjadi fokus penelitian untuk mengurangi panas akibat sinar matahari, atau yang dikenal sebagai "cool coating concepts." Sefaira mensimulasikan pencahayaan alami gedung perkuliahan dengan standar ideal 400 lux, sedangkan Standar Nasional Indonesia (SNI) merekomendasikan 250-300 lux. Simulasi ini, dengan referensi SNI, mengukur Spatial Daylight Autonomy (sDA), mengindikasikan apakah ruang menerima cahaya matahari yang cukup selama jam operasional.
Fungsi cahaya alami bukan hanya memberikan kenyamanan visual dan rasa aman, tetapi juga mempengaruhi suasana hati secara positif. Keunggulan pencahayaan alami melibatkan energi terbarukan, pencahayaan besar, waktu sesuai jam kerja, tampilan dinamis, dan suasana alami dengan spektrum warna lengkap.
Namun, ada kendala yang perlu diperhatikan dalam pemanfaatan pencahayaan alami, termasuk kesulitan mengatur intensitas cahaya dan dampak panas yang dibawa oleh sinar matahari. Bangunan besar atau dengan dimensi besar juga menghadapi tantangan dalam mendesain agar cahaya dapat menembus jauh ke dalam.
Selain itu, studi terkait selubung bangunan menyoroti pentingnya desain vertikal dan horisontal dalam menghadapi tantangan panas. Atap yang lebar dapat membatasi panas yang masuk, sedangkan standar ASHRAE memberikan pedoman untuk menciptakan kondisi yang dapat diterima oleh mayoritas masyarakat terpapar pada kondisi yang sama dengan ruangan tersebut. Standar ini juga menekankan pentingnya desain yang mempertimbangkan beban panas dan efek dari faktor lingkungan pada kenyamanan.
Penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa yang diketuai oleh Hayunda Tazkiyatunafshi serta 2 orang anggota bernama Candra Dwi Pebrian dan Tiara Clarissa Permana Putri dilaksanakan pada objek bangunan pendidikan yaitu gedung Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis Universitas Pendidikan Indonesia.
Perhitungan proporsi bukaan jendela terhadap dinding menjadi langkah awal merancang desain bangunan yang efisien. Simulasi menunjukkan perbandingan dinding dan jendela sebesar 23,3%, dengan penekanan pada orientasi utara dan selatan untuk menghindari silau matahari. Strategi ini mendukung kenyamanan ruangan, dengan bagian barat yang memiliki fungsi servis memiliki rasio 0%.
Pencahayaan alami menjadi faktor penting dalam menciptakan kenyamanan visual dan efisiensi energi dalam bangunan. Simulasi menggunakan Sefaira menunjukkan bahwa pencahayaan alami di Gedung FPEB UPI sudah memenuhi standar SNI, dengan rata-rata 300 lux, sedangkan standar SNI mencantumkan 250-300 lux. Â Â Â
Konsumsi energi bangunan ini, sebesar 30 kWh/m2/tahun, di bawah standar Intensitas Konsumsi Energi di Indonesia untuk gedung sekolah. Namun, simulasi melalui Sefaira mengidentifikasi strategi perubahan desain, termasuk penambahan skylight, peningkatan Window-to-Wall Ratio (WWR), dan penggunaan shading, yang dapat menghasilkan konsumsi energi lebih efisien hingga 29 kWh/m2/tahun.
Desain terbaru ini tidak hanya meningkatkan efisiensi energi, tetapi juga memberikan peningkatan pencahayaan alami dan mengurangi paparan sinar matahari langsung. Dengan menggabungkan keunggulan ini, gedung FPEB UPI mewujudkan visi bangunan berkelanjutan yang adaptif terhadap tantangan masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H