Mohon tunggu...
Jacqueline Lestari
Jacqueline Lestari Mohon Tunggu... -

Food traveler - full time enterprenuer, part time employee (soon to be)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Akal-akalan Lembaga Kursus

10 Mei 2017   10:08 Diperbarui: 10 Mei 2017   10:27 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu ini saya sedang mengambil kursus bahasa asing (bahasa Inggris) di suatu lembaga. Saya mengambil kursus persiapan TOEFL yang mengharuskan calon pesertanya mengikuti placement test berupa TOEFL-Like-Exam. Sebagai prasyarat, saya harus dapat melampaui nilai 430 untuk dapat mengikuti kelas persiapan TOEFL. Tentunya syarat ini jika dibandingkan dengan test TOEFL yang sebenarnya cukup membuat orang-orang yang belum memiliki pengalaman TOEFL menjadi “keder”.

Tak disangka, hasil placement test saya menunjukkan angka 500 yang berarti saya dapat mengikuti kelas persiapan TOEFL ini. Hasil ini membuat saya bangga sekaligus kecewa. Saya akhirnya memutuskan untuk mengikuti tambahan belajar di lembaga ini karena saya merasa kemampuan bahasa inggris saya saat ini tidak akan membawa saya ke angka 500 bahkan lebih. Hasil ini tentunya mengecewakan saya, jika memang sudah memiliki kemampuan bahasa inggris hingga ITP 500 lalu kenapa saya harus mengeluarkan uang jutaan untuk mengikuti tambahan pelajaran ini? Namun hasil ini juga membuat saya bangga akan kemampuan saya yang seumur hidup belum pernah mengambil kursus bahasa inggris.

Hari demi hari tambahan belajar saya jalani, hingga suatu hari pengajar saya menawarkan kepada seluruh siswa untuk mengikuti kelas percobaan pada bidang lainnya secara cuma-cuma. Beliau mengatakan bahwa beliau akan memberitahu pada level apa kemampuan bahasa inggris kami jika mengikuti kelas regular. Tawaran ini kurang ditanggapi oleh para peserta kursus termasuk saya. Bagi saya pribadi kelas yang ditawarkan kurang menarik minat saya mengingat saya sedikit banyak sudah mengetahui pola pengajaran di lembaga tersebut yang sedikit kurang disiplin.

Tawaran yang diberikan oleh pengajar saya ini kemudian saya manfaatkan ketika saya mendapatkan tawaran short course di salah satu Negara berbahasa inggris. Pada formulir pendaftaran short-course tersebut ditanyakan level kemampuan bahasa inggris saya pada kelas kursus bahasa inggris. Saya kemudian bertanya secara personal kepada pengajar saya, dan jawaban yang diberikan mengejutkan. Saya berada pada level BASIC 2.

Sekedar informasi, pada lembaga kursus dimana saya bernaung, level yang ditawarkan adalah foundation, basic 1-4, intermediate 1-4, advance 1-4, dan proficiency 1-4. Hasil placement test saya yang berupa TOEFL-Like-Exam ternyata memiliki penggambaran yang berbeda dengan kemampuan saya di kelas regular. Hal ini cukup mengejutkan mengingat 2 bulan sebelumnya, saya mengikuti placement test di lembaga kursus lainnya dan saya “divonis” berada pada level Intermediate 7 (Beginer 1-3, Elementary 4-6, Intermediate 7-9, Upper intermediate 10-12, advance 13-15, upper advance 16).

Menurut saya hasil di lembaga kursus “BASIC” ini sedikit tidak masuk akal dibandingkan lembaga kursus “INTERMEDIATE”. Bukan karena saya merasa direndahkan, tapi mari kita coba bandingkan dengan skor toefl yang sudah mereka test sendiri sebelumnya. Apakah skor 500 itu masih dapat dikatakan basic? Setidaknya skor 425 saja saat ini masih digunakan murid lulusan SMA untuk mengambil kuliah di jurusan internasional, berarti dengan skor 425 seorang murid sudah dianggap mampu untuk mengikuti pembelajaran dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar.

Saya merasa lembaga kursus “INTERMEDIATE” lebih fair dalam memberikan hasil placement test bagi calon muridnya. Terlepas dari akal-akalan yang mereka lakukan supaya si calon murid ini terikat dengan lembaga kurus hingga level tertentu dan membayar full uang kursus dimuka hasil ini sesuai dengan hasil test TOEFL saya dilembaga lain yang pernah saya lakukan beberapa waktu sebelumnya.

Dari kejadian yang saya alami ini, saya menyimpulkan lembaga kursus saat ini tetap mementingkan segi bisnis baik dengan cara mengikat calon murid hingga level tertu dengan pembayaran full course fee di muka, atau dengan menjatuhkan nilai awal calon murid agar calon murid ini akan berada di lembaga kursus ini dengan jangka waktu yang cukup panjang. Bayangkan saja jika untuk melalui 1 level waktu yang dibutuhkan adalah 2 bulan, maka berapa waktu yang saya perlukan sebagai seorang Basic 2 untuk mencapai level Advance 4, hampir 2 tahun jika saya sanggup untuk naik level tepat pada waktunya.

Saya rasa, jika memang anda memerlukan kursus bahasa Inggris lebih baik mengikuti kursus diluar lembaga. Materi yang diberikan tentunya akan sama, dan anda dapat memilih guru yang sesuai dengan cara belajar anda. Harga mungkin akan sedikit lebih mahal karena terhitung sebagai kursus private, namun anda mendapatkan kenyamanan yang lebih dibandingkan dengan kursus di lembaga. Semua ini kembali ke pilihan anda masing-masing, namun bijaklah dalam menentukan pilihan lembaga kursus sesuai dengan kebutuhan anda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun