Kecukupuan duniawi menurut Islam amat sederhana bila dibandingkan dengan kecukupan duniawi menurut kapitalisme modern yang definisinya sendiri tidak ada. Bagaimana tidak, dalam dunia yang berorientasi pada keuntungan, maka kata 'cukup' sejatinya tidak ada dalam kamus. Hal ini tentunya berbeda dengan Islam yang melalui Rasulullah SAW mengatakan bahwa rasa aman di rumah, kesehatan badan, dan memiliki makanan pokok pada hari itu di rumahnya seakan-akan sama dengan dunia yang terkumpul.
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِى سِرْبِهِ مُعَافًى فِى جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
"Barangsiapa di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya (pada diri, keluarga dan masyarakatnya), diberikan kesehatan badan, dan memiliki makanan pokok pada hari itu di rumahnya, maka seakan-akan dunia telah terkumpul pada dirinya." (HR. Tirmidzi, no. 2346; Ibnu Majah, no. 4141.)
Housel dalam bukunya juga sempat menyinggung beberapa orang yang terkena musibah yang amat besar akibat ketamakannya, seperti Rajat Gupta yang merusak karirnya sendiri karena melakukan inside trading ketika ia sudah menjadi seseorang yang secara finansial dapat dikatakan amat sukses. Gupta terlahir sebagai orang dengan kemampuan ekonomi yang rendah. Ia juga menjadi yatim piatu saat remaja. Ketika Gupta sudah menjadi seseorang yang kaya raya, ia sebenarnya tidak perlu mengeruk uang secara terus-menerus, apalagi bila dilakukan dengan cara yang melanggar hukum. Namun, Gupta justru melakukan hal tersebut karena ia tidak merasa cukup atas apa yang ia miliki. Tentunya kejatuhan ini mengingatkan kita kepada ketamakan Qorun, sepupu Nabi Musa yang menjadi kaya raya, yang tidak pernah merasa cukup. Ia pada akhirnya lenyap ditelan bumi bersama seluruh hartanya setelah Allah SWT menurunkan azab kepadanya. Lucunya, Housel sendiri pernah menyinggung bagaimana dunia bersifat amat repetitif, terlebih bila hal tersebut dikaitkan dengan perilaku kita dengan uang. "I love Voltaire's observation that "History never repeats itself; man always does." It applies so well to how we behave with money."
Sejatinya artikel ini tidak sedang mencoba untuk membandingkan buku finansial The Psychology of Money karya Morgan Housel dengan pelajaran-pelajaran yang tertera dalam agama Islam. Namun, penulis mencoba untuk memperlihatkan bahwa pelajaran-pelajaran yang dapat dipetik dari buku yang dirilis pada abad ke-21 sebenarnya sudah terdapat pada ajaran-ajaran Islam yang datang jauh lebih dahulu. Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa Housel tidak membawa sesuatu yang baru pada ilmu pengetahuan. Housel dalam bukunya membuktikan bagaimana perilaku manusia dalam konteksnya dengan uang dan ketamakan selalu sama. Seperti yang Voltaire katakan, man always repeats itself. Housel juga memberikan penjelasan mengenai merasa cukup dalam kacamata ekonomi yang artinya berhubungan dengan materi duniawi. Tentunya hal ini bukan sesuatu yang salah mengingat kita tidak dapat hidup tanpa materi di dunia. Di sisi lain, Islam sendiri mendefinisikan rasa cukup dalam pandangan yang jauh lebih dalam dari sekadar ekonomi, yaitu jiwa dan agama. Pada akhirnya, keduanya harus mempunyai komposisi yang seimbang karena sesuatu yang berlebihan tidak pernah berakhir baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H