Pada dasarnya manusia diciptakan Tuhan YME, dengan membawa akal dan kecerdasan. Dalam kehidupan bermasyarakat, artinya manusia menciptakan jalinan sosial untuk menjalani kehidupannya sehari-hari. Sebagai makhluk sosial, bahwa manusia harus tertarik pada orang lain (Tabi'in. 2017). Kejahatan merupakan fakta kehidupan bermasyarakat dan patut mendapat perhatian khusus (Lenti. 2018). Salah satu bentuk tindak pidana kejahatan yang banyak terjadi di kalangan masyarakat adalah tindak pidana penganiayaan.
Kurangnya kontrol masyarakat akibat buruknya lingkungan dan rendahnya tingkat pendidikan menjadi beberapa penyebab terjadinya tindak pidana penganiayaan (Zulfikar, A. 2021: 592). Saat ini, kejahatan dengan kekerasan dipandang sebagai kejadian sehari-hari yang lumrah terjadi, sesuatu yang wajar bagi sebagian orang karena merupakan pelajaran bahwa pelanggarnya harus dihukum. Memang benar, ada banyak cara untuk memberikan pelajaran kepada orang berdosa tanpa menimbulkan rasa sakit, namun tidak menyebabkan kematian.
Kejahatan adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh peraturan undang-undangan yang mempunyai ancaman hukuman (punishment) berupa denda. Ada dua bagian dalam suatu kejahatan: motif dan sasaran. Unsur obyektif yaitu kesengajaan (dolus) atau tidak sengaja (culpa), kesengajaan atau kesengajaan mencoba atau menentang, sebagaimana dimaksud dalam pasal 53 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (yang selanjutnya disebut dengan KUHP), mempunyai beberapa tujuan. atau jenis identifikasi, pencurian. penipuan, Perencanaan atau voorbedachte raad, perasaan takut atau takut termasuk dalam penciptaan tindak pidana menurut pasal 308 KUHP, sebagaimana ditentukan dalam tindak pidana pengampunan, penipuan, dan lain-lain. Sifat obyektif kejahatan adalah sifat kejahatan atau ciri-ciri pelakunya. Misalnya dalam kejahatan jabatan, ada "syarat menjadi pejabat publik", "syarat menjadi direktur atau rekanan suatu perusahaan". Yang dimaksud dengan "perseroan terbatas" adalah persoalan dalam proses pidana yang diatur dalam pasal 398 KUHP, yaitu yang mengatur hubungan antara fakta sebagai sebab dan fakta sebagai akibat. Syarat-syarat ini harus dipenuhi agar dapat dinyatakan bersalah. Hukum pidana mengatur kegiatan pidana dengan membaginya menjadi dua kategori: pelanggaran ringan (didefinisikan dalam Buku 2) dan pelanggaran ringan (didefinisikan dalam Buku ketiga).
Secara umum, kejahatan terhadap tubuh menurut hukum pidana dianggap sebagai "tindak pidana penganiayaan", namun terdapat banyak perdebatan di kalangan pakar hukum tentang arti dan pentingnya istilah tindak pidana penganiayaan (Sidabutar, R. & Suhatrizal. 2018). Perilaku tindak pidana penganiayaan merupakan sesuatu yang terjadi dalam jangka waktu lama dan sulit diatasi dalam kehidupan sehari-hari. Tindakan pelecehan yang berbahaya mempunyai banyak dampak fisik dan psikologis pada korbannya. Penyebab penganiayaan tidak bisa dihindari. Namun, hal ini paling sering disebabkan oleh banyak faktor, seperti pengaruh lingkungan, persahabatan, status, kecemburuan sosial, tekanan, manipulasi, kurangnya hubungan dari keluarga, teman, persaingan, dll (Fikri. 2013: 1-9).
Penentuan perkara hukum termasuk perkara pidana umum menjadi tanggung jawab pemerintah. Dengan demikian, banyak pandangan yang menganggap hukum pidana alam dianggap terlalu kuat untuk mengadili kejahatan tanpa menyelesaikan permasalahan sistem peradilan pidana. Mengingat hukum tidak sebatas formalitas saja. Seiring berjalannya waktu, perkara pidana diselesaikan dengan menggunakan metode baru yang dikenal dengan metode Restorative Justice atau juga disebut adilan restoratif. Peradilan pidana diselenggarakan sesuai dengan KUHAP dan dibagi menjadi beberapa bagian. Setiap bagian memiliki organ tersendiri (Hartono, Sugi dan Yuliartini. 2020).
Sebagaimana diketahui, polisi memiliki peran penting sebagai garda terdepan dalam sistem peradilan pidana, sehingga semua kasus yang dirujuk ke polisi akan melalui proses peradilan yang sesuai. Setiap tingkat penegakan hukum mempunyai subsistem peradilan pidana. Seiring berjalannya waktu, terdapat banyak permasalahan dalam penerapan undang-undang yang berlaku saat ini. Pertama, hampir semua sistem peradilan pidana mempunyai tumpukan kasus. Menangani kejahatan dalam sistem peradilan pidana dapat mengakibatkan hukuman penjara, namun hukuman penjara bukanlah satu-satunya solusi efektif terhadap perilaku kriminal. Barang rusak masih bisa diperbaiki. Gambar yang rusak dapat dikembalikan seperti semula. Terkait dengan istilah Restorative Justice, merupakan pendekatan restoratif alternatif dari pendekatan retributive justice dan rehabilitative justice (Yusuf. 2016: 208).
Keadilan restoratif, yang diterjemahkan sebagai keadilan restoratif, kadang-kadang disebut sebagai keadilan restoratif, merupakan contoh pendekatan yang muncul dari praktik penyelesaian perkara pidana pada tahun 1960-an hingga metode yang digunakan dalam sistem peradilan pidana lama. Pelaku, korban dan masyarakat terlibat langsung dalam proses peradilan pidana. Meskipun secara teori pendekatan ini masih kontroversial, dalam praktiknya perspektif ini telah berkembang dan berdampak signifikan terhadap kebijakan dan praktik hukum di banyak negara, termasuk India. Sebagai bangsa yang beradab, Indonesia harus memenuhi kewajiban hukumnya dengan baik (Erwin. 2012: 35).
Solusi peradilan pidana, juga dikenal sebagai pendekatan keadilan restoratif, adalah beragam solusi dan pendekatan peradilan pidana. Semua pihak dan pemerintah harus bekerja sama untuk menciptakan mekanisme yang memungkinkan pelaku dan korban mencari keadilan dan menyelesaikan perselisihan. Keadilan restoratif juga berfokus pada hak asasi manusia dan cara-cara sederhana untuk mengenali dan mengatasi dampak kerugian publik. Keadilan restoratif juga berupaya memulihkan keamanan, harga diri, martabat, dan yang terpenting, kendali terhadap korban. Fungsi utama hukum pidana adalah untuk menghilangkan kejahatan, fungsi sekunder dari hukum pidana adalah untuk menjamin bahwa pemerintah memenuhi tugas dan kewajibannya untuk menghilangkan kejahatan sesuai dengan ketentuan hukum pidana.
Dalam memutus suatu perkara, tidak lazim melakukan tindak pidana dengan hak pengembalian, sesuai dengan PERKAP No. 6 Tahun 2019 tentang Reserse Kriminal. Bab 12 menjelaskan bagaimana perkara pidana diputus dengan metode peradilan yang adil. Selain itu, mengacu pada Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berbasis Keadilan Restoratif, selanjutnya disebut Peraturan Kepolisian Tindak Pidana Berbasis Keadilan Restoratif. Pendekatan peradilan restoratif merupakan pendekatan yang memberikan penyelesaian terhadap permasalahan hukum pidana, biasanya di luar kendali aparat penegak hukum, dan biasanya memakan banyak waktu di ruang sidang. Bentuk-bentuk pemulihan yang baru hampir seperti penyelesaian perkara pidana yang dapat diselesaikan dengan sendirinya. Misalnya, ketika pelaku dan korban berpisah melalui negosiasi dan rekonsiliasi, para pihak merasa bahwa hak-hak mereka telah diperoleh. Termasuk juga kasus-kasus penganiayaan yang terjadi. Berdasarkan pemaparan permasalahan tersebut, penulis ingin melakukan kajian lebih mendalam mengenai penggunaan prinsip keadilan restoratif atau Restorative Justice dalam menyelesaikan kasus tindak pidana penganiayaan.
Prinsip Umum Penyelesaian Kejahatan Melalui Konsep Keadilan Restoratif
Dalam sistem peradilan pidana, pemerintah menanggung beban pembuktian jika terdakwa tidak bersalah. Berbeda dengan pendekatan restoratif yang mengharuskan pengakuan bersalah terlebih dahulu, pendekatan ini merupakan prasyarat untuk menemukan solusi. Dalam pendekatan restoratif, hak terdakwa untuk tidak bersalah dapat diperluas hingga hak terdakwa untuk memilih persidangan formal, seperti mengakhiri proses rehabilitasi dan mengharuskan terdakwa untuk mengaku bersalah, menolak untuk mengakui bahwa kejahatannya mungkin dilakukan. berbeda dari yang lain. . diadili Jika terdakwa pergi ke pengadilan, kontrak yang dibuat dalam proses pembayaran berakhir.Dengan menggunakan pendekatan restoratif dalam peradilan pidana, pengacara dan penasihat hukum memiliki peran strategis dalam memperkuat kemampuan pelaku untuk membela hak-haknya melalui penasihat hukum.
Dalam proses peradilan pidana informal, penasihat hukum dapat memberikan informasi kepada terdakwa tentang hak dan tanggung jawab mereka yang dapat digunakan dalam pengambilan keputusan. Kalau kejahatan pada masa kini adalah kejahatan terhadap tubuh, maka kejahatan terhadap tubuh adalah perbuatan yang membahayakan harta benda seseorang. kehidupan Perbuatan yang merugikan badan atau tubuh manusia merupakan kejahatan berat, artinya akibat yang ditimbulkannya adalah melawan hukum dan mengancam (Anwar. 1994: 102). Jenis-jenis kejahatan terhadap badan adalah:
- Penganiayaan Biasa, Pasal 351 (1) KUHP mengatur, "Penganiayaan biasa diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan dan denda paling banyak Rp4.500".
- Penganiayaan Ringan, Pasal 352 (1) KUHP: "Pelanggaran selain yang tercantum dalam pasal 353 dan 356 yang tidak merugikan atau merintangi pekerjaan orang yang jabatan atau pekerjaannya dianggap dilakukan." melakukan pelanggaran ringan dan menghadapi hukuman tiga bulan penjara.
- Penganiayaan yang Direncanakan, Pasal 353 KUHP, dan 353 ayat 1 "Dalam hal penuntutan pertama, ancaman hukumannya paling lama empat tahun penjara".
- Penganiayaan Berat, 354 Pasal 354 (1) KUHP "Sengaja melukai seseorang diancam dengan penganiayaan berat dengan ancaman pidana paling lama delapan tahun penjara.".
- Penganiayaan Berat yang Direncanakan, 355 Pasal 355 (1) KUHP "Penganiayaan berat yang dilakukan dengan sengaja, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun."
- Penganiayaan biasa, merupakan tindakan ilegal, tindakan apa pun yang dilakukan seseorang yang berdampak pada dirinya. Pelecehan informal pada dasarnya adalah tindakan hukum yang disengaja. Kesengajaan ini berarti bahwa akibat dari perbuatan itu memang disengaja, dan hal ini terjadi apabila akibat dari perbuatan itu dimaksudkan untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada seseorang yang mengakibatkan kematian, namun tidak semua perbuatan itu dilakukan. pukulan yang menimbulkan rasa sakit dianggap serangan. Penjelasan dalam Pasal 351 (1) Undang-undang tidak mempunyai ciri pembeda kejahatan, hanya dicantumkan klasifikasi atau nama kejahatan. Penyiksaan pidana, sebagaimana didefinisikan dalam rancangan undang-undang, adalah tindakan yang secara sengaja menimbulkan penderitaan fisik terhadap orang lain dan dengan sengaja merusak kesehatan orang lain. Kata-kata itu kemudian menjadi sekadar penganiayaan, padahal penafsiran aslinya adalah sengaja menyakiti kesehatan orang lain. Suatu perbuatan yang merugikan kesehatan orang lain tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan, artinya perbuatan itu dilakukan dengan maksud agar orang lain itu sakit atau sakit (ziekte), karena sakit (ziekte) artinya tidak berfungsinya seseorang. organ tubuh dalam tubuh manusia. Jika penganiayaan saja mengakibatkan cedera serius yang tidak disengaja, maka hukumannya akan bertambah. Tujuannya di sini bukanlah cedera serius, tetapi cedera serius terjadi di luar kemauan. Kematian orang lain bukan disebabkan oleh kemauan atau kemauan pelakunya. Ini merupakan perluasan dari arti penganiayaan. Kerusakan kesehatan yang disengaja atau kerusakan kesehatan dipahami sebagai dilakukannya suatu perbuatan dengan tujuan membuat orang lain sakit, sedangkan sakit adalah terganggunya fungsi organ-organ tubuh manusia.
- Penganiayaan ringan merupakan kejahatan berdasarkan pasal 352 KUHP. Pelecehan ringan adalah pelanggaran ringan yang tidak menimbulkan rasa sakit atau gangguan pada korban di tempat kerja, dan dapat dihukum paling sedikit tiga bulan penjara. Pelecehan ringan adalah pelecehan yang didefinisikan sebagai: Kecuali sebagaimana diatur dalam pasal 353 dan 356 KUHP, kekerasan yang tidak menyebabkan kematian atau mengganggu pekerjaan atau kehidupan dianggap sebagai pelecehan ringan. Ancaman hukumannya paling lama tiga bulan penjara atau denda Rp. 4.500 Jika dia melakukan tindak pidana terhadap Anda atau pasangan Anda, dendanya ditambah sepertiga. Menurut R. Soesilo, tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 352 KUHP termasuk 'pelanggaran ringan' sepanjang tidak menimbulkan kesakitan, kematian, atau terlibat dalam kegiatan pidana.
- R. Soesilo (1993: 245) memberi contoh penindasan yang sederhana. B kena stroke tiga kali Walaupun B sakit, dia tidak ada masalah untuk berangkat kerja setiap hari. Serangan sederhana memiliki batasan sebagai berikut:
- 1) Tidak dimaksudkan untuk menyalahgunakan
- 2) Tidak ditujukan kepada:
- a) ibu atau ayah yang sah, istri atau anak.
- b) kepada petugas dalam pelaksanaan dan/atau pelaksanaan tugasnya.
- c) Penambahan bahan berbahaya atau menyehatkan pada makanan dan minuman.
- 3) Tidak menimbulkan penyakit dan tidak mengganggu pekerjaan atau kehidupan.
- Ketiga elemen ini, yaitu. unsur 2 dan unsur 3, terdiri dari beberapa unsur alternatif yang harus dipenuhi agar pelecehan dapat didefinisikan sebagai penganiayaan ringan. Dilihat dari ciri-ciri penganiayaan ringan, dapat disimpulkan bahwa dalam kasus tindak pidana seperti eksploitasi terencana dan eksploitasi terhadap orang-orang yang mempunyai ciri-ciri tertentu yang ditentukan dalam Pasal 356 KUHP, penyerangan ringan tidak dapat terjadi, meskipun eksploitasi terencana memang diperlukan. tempat benda tidak menimbulkan penyakit. atau hambatan dalam bekerja atau mencari nafkah.
- Penganiayaan Terencana, merupakan akibat perbuatannya menimbulkan luka tubuh yang serius, pelakunya menghadapi hukuman tujuh tahun penjara. Jika seseorang melakukan tindak pidana maka tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Unsur perencanaan terlebih dahulu merupakan pemberatan hukuman. Pada perencanaan sebelumnya (R. Soesilo. 1993: 105).
- Penganiayaan Berat, yang mengakibatkan Penyakit yang tidak ada harapan untuk disembuhkan dan mengancam kematian; Pekerjaannya belum selesai. hilangnya panca indera; Jika terdapat cacat berat, hamil atau lahir mati. Cedera berat adalah kesengajaan pelaku, maksud pelaku adalah perbuatan yang dilakukannya akan menimbulkan luka berat. Merencanakan penganiayaan serius, serangan serius yang direncanakan oleh penjahat. Orang yang melakukan penyerangan berat akan menerima hukuman 12 tahun penjara.
Penerapan Keadilan Restoratif dalam Penyelesaian Tindak Pidana Penganiayaan
Untuk penerapan keadilan restoratif dalam kasus-kasus tersebut, dalam kasus kejahatan penindasan, dibuat kesepakatan damai antara terdakwa dan terdakwa. Sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) BARESKRIM POLRI, perjanjian tersebut meliputi:
- Untuk melaksanakan perjanjian damai, korban bersedia membuat laporan polisi.
- Kedua belah pihak setuju.
- Kedua belah pihak membuat pernyataan.
- Selanjutnya, kedua belah pihak akan bertemu dengan anggota masyarakat dari kedua belah pihak untuk membahas masalah keadilan terkait penyelesaian masalah tersebut.
Dari surat rekonsiliasi tersebut di atas diketahui adanya gagasan dan hubungan damai antara kedua pihak. Menanggapi persidangan tersebut, pengadilan juga menyurati pelapor yang meminta agar laporannya dicabut. Berdasarkan pembatalan laporan tersebut, kedamaian dan kehidupan korban dicapai dengan menunjukkan adanya proses konsiliasi dan bukti terpenuhinya hak-hak korban. isi kembaliAtas permintaan dan sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) BARESKRIM POLRI, selama penyidikan, penyidik akan melakukan tindakan sebagai berikut:
- Penyidik akan melakukan penyidikan tambahan sebagaimana dijelaskan dalam berita acara penyidikan dan memperoleh informasi latar belakang apa pun. Penindasan terhadap pernyataan ini melemahkan bukti-bukti, khususnya kesaksian korban.
- Menjelaskan kepada pihak-pihak terpilih dalam berita acara peninjauan.
- Apabila diperlukan penyidikan lebih lanjut terhadap korban dan pihak lain, maka penyidik akan mengajukan permohonan untuk melanjutkan penyidikan perkara tersebut.
- Peneliti menulis dan mengedit laporan hasil studi kasus.
- Pemeriksa akan menerbitkan Surat Keputusan Akhir (SP3) dan Surat Keputusan Akhir Atas Dasar Hukum.
- Dalam hal syarat penahanan dilakukan dalam sistem penjara, instruktur akan mengeluarkan perintah pembebasan orang yang ditangkap.
- Instruktur mencatat penutupan kasus di Daftar Khusus Hakim Pemulihan dan menyatakan kasus tersebut telah diselesaikan.
- Penyidik menerbitkan Surat Perintah Penundaan Penyidikan (SP3) dan memutuskan untuk menghentikan sementara penyidikan terhadap pelapor, korban, dan pelapor atau pelaku.
- Penyidik mengirimkan surat pemberitahuan penutupan penyidikan yang dilampiri keputusan penutupan penyidikan kepada penuntut umum dalam hal surat pemberitahuan penutupan itu disampaikan kepada penuntut umum.
- Penyidik mengirimkan surat (SP2HP-A5) kepada pelapor yang menyatakan hasil penyidikan A5 dan memberitahukan bahwa penyidikan terhadap perkara yang dilaporkan telah berakhir.
- Penyidik akan memasukkan semua data perkara ke dalam Manajemen Penyidik secara elektronik.
Istilah restorative justice sering kita dengar di kalangan penegak hukum, namun dalam praktiknya istilah ini sering disalahartikan dan digunakan. Hal ini karena keadilan restoratif merupakan bidang peradilan pidana yang relatif baru. Lebih lanjut, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia yang selanjutnya di sebut UU-Kepolisian hanya menjelaskan apa yang dimaksud dengan konsep tersebut. Namun dalam praktiknya, banyak anggota Poli yang enggan menggunakan kekuasaan tersebut, terutama jika menyangkut kasus pidana. Dengan membekali polisi dengan pengetahuan mengenai restorative justice, maka pengetahuan mereka juga harus diimbangi dengan konsep rasionalitas, karena rasionalitas dan restorative justice sangat berkaitan erat dalam proses penyelesaian suatu perkara pidana. Secara umum, penegakan hukum pidana merupakan hal yang penting. Pada dasarnya penerapan akal sehat adalah pengambilan keputusan dan pendapat berdasarkan asas-asas hukum. Tentu saja, menjadi lebih bijaksana adalah keputusan pribadi.
Dari paparan di atas penulis dapat menyimpulkan, menurut pendapat kepolisian yang tertuang dalam UU-Kepolisian, penyidik dapat bertindak berdasarkan pendapat dan keyakinan yang mengutamakan moralitas di atas pertimbangan hukum. penalti Akibatnya, dia akan dijatuhi hukuman penjara. Penelitian penulis menunjukkan bahwa polisi mempunyai kapasitas yang kecil untuk melakukan mediasi atau negosiasi untuk mencapai kesepakatan antara semua pihak. Namun model tersebut mulai melambat dan mulai mengalami perubahan kecil pasca diberlakukannya PERKAP No. 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Restorative Justice, yang menginstruksikan Kepolisian Indonesia untuk memahami hal-hal berikut: Kami menyelesaikan kejahatan dengan memastikan keadilan restoratif, yang berfokus pada pemulihan kejahatan ke keadaan semula. Waktu, keseimbangan perlindungan dan kepentingan mereka yang terkena dampaknya, atau mereka yang melakukan kejahatan yang kemungkinan besar akan dihukum, merupakan persyaratan hukum masyarakat.Terkait dengan UU Kepolisian RI no. 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Restorative Justice.
Menurut analisis penulis, keadilan restoratif hanya dapat terlaksana jika syarat formil dan materiil PERKAP No. 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Perkara Pidana terpenuhi, yaitu perdamaian di antara keduanya. Oleh karena itu, setelah menerima permintaan pelapor untuk membatalkan laporan ke polisi, polisi membuat perintah penangguhan perkara dan surat permohonan penarikan berdasarkan konsiliasi. laporanDalam hal ini, keputusan dapat diambil secara utuh meskipun dalam tahap penyidikan, jika Surat Pemberitahuan Inisiasi Penyidikan (SPDP) telah diterbitkan kepada pihak penuntut. Perkara yang diputus oleh Polres ditetapkan sebagai tindak pidana berat dan keadilan rehabilitatif tetap dapat diterapkan. Meskipun peran pengawas dalam proses mediasi atau perundingan sangat berpengaruh karena diskresinya, hak pemulihan, namun pengawas ikut aktif dalam proses mediasi atau perundingan untuk mencapai kesepakatan bersama, yang sampai saat ini belum terlaksana. Pekerjaan polisi sedang bekerja. Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, namun juga sesuai dengan kebijakan dan interpretasi. Untuk mencapai tujuan hukum yaitu kebahagiaan masyarakat, maka reformasi hukum harus dilaksanakan untuk mengatasi permasalahan hukum yang terjadi di Indonesia, dan pembenahan hukum harus dilakukan untuk mencapai tujuan hukum. keadilan (Sulaiman. 2022: 12).
Universitas Wisnuwardhana MalangÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H