“Semua yang terjadi di bawah kolong langit adalah urusan setiap orang yang berpikir.Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang berperasaan dan berpikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang berjiwa kriminil, biar pun dia sarjana.”
― (Kommer) Pramoedya Ananta Toer, Anak semua bangsa
Setelah lama tidak menulis, tidak mengganggu hari-hari kalian, saya kembali menulis gratisan karena tulisan saya yang satu ini tidak diterima di koran manapun dan tidak cocok di pajang di website saya, lagipula ini prototype yang di coret coret, selamat berfikir
Berawal dari belajar dan mengajar suatu komunitas Atheist-liberal (yang nantinya akan manusia tulis dengan “manusia” .red), dan berlibur di lingkungan asal saya dengan keluarga saya yang alhamdulillah religious (manusia religious ini nanti akan saya tulis sebagai “manusia” .red) beberapa pertanyaan, gagasan, melatar belakangi saya menulis hal ini
. Salah satu pertanyaan yang saya dapat dari manusia adalah, “Jika Do’a memang powerful, bisakah itu mengakhiri world hunger dan issue issue Global lainnya?” "mengapa agama membuat manusia menciptakan peti peti yang di dalamnya ada peti yang di isi peti?" "mengapa agama membuat kita melindungi tuhan?" pertanyaan simple memang, dan seharusnya bisa di jawab jelas oleh mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yang seharusnya bunuh diri kelas ini, “Jadi begini, manusia itu berdo’a sebenarnya sebagai suatu kebutuhan jiwa, karena do’a kita tidak akan merubah nasib kita jika kita tidak melakukan apa-apa” "kepercayaan memang membuat kita berwarna, kau sendiri suka tim sepakbola yang berbeda toh?", "tuhan tidak perlu di bela apalagi di lindungi, tuhan yang menciptakan kita toh?"
(slash dah itu sekilas)
.. Di rumah, manusia bertanya kepada saya mahasiswa UIN sunan kalijaga dengan NIM 15730100 yang belum bunuh diri kelas ini, dengan pertanyaan lain lagi, “mas, udah denger belum, ada injil yang covernya niru-niru Al-Qur’an, bahasanya pun pakai Bahasa arab”, “Bagus dong? Itu namanya agresi kultural, kita itu jangan marah dulu karena mereka pakai budaya arab, toh arab juga bukan budaya kita / Indonesia, itu berarti mereka sadar kalau kaligrafi itu indah, ada seninya” (seharusnya Arab dan Indonesia saya sensor juga menjadi Budaya dan Negara manusia)
(kemudian saya teringat suatu kejadian)
// Hari itu, terjadi aksi unjuk rasa, massa aksi yang tidak di temui dari pagi melakukan pengerusakan sebagai wujud komunikasi non verbal (saya anak komunikasi lho), di sore hari, stakeholder baru datang untuk menemui dan berunding, di tengah perundingan stakeholder mengemukakan suatu dalil / ayat, itu membuat salah satu massa aksi geram dan berujar, “hebat ya, berdakwah menggunakan dalil, berbohong dan mengelakpun menggunakan dalil, saya malu jadinya beragama ini, mau pindah itu saja, ah tidak agama manapun sama, atheist saja”
(kembali dalam renungan saya)
/ Jika komunikasi berjalan efektif, distorsi pesan tentunya tidak akan sampai seperti ini, kebenaran adalah suatu subjektifitas yang tidak mungkin di paksakan, saat teman baik saya membeli lipstick dan memaksa saya bilang bahwa itu bagus untuknya, apakah itu berarti kebenarannya juga milik saya? Saya akui? sering saya jumpai perdebatan panas di kompasiana, yang sebenarnya simple, realitas kebenaran yang satu dipaksakan kepada yang lain.
.. Saya secara subjektif sangat membenci hal tidak berguna yang dilakukan manusia di daerah saya (nongkrong di jalan, meminum minuman keras, balap liar, MERUSAK MAKAM), lalu saya pertimbangkan apakah mereka memiliki logika saat melakukan semua itu? Mungkin iya, Apakah mereka beretika? Ummm, ya? Dimana estetikanya?.. Post modernism often said, What is right, not what IS, jadi apa yang sebenarnya harus saya bela? Hanya merusak makam lah salah satu penindasan yang bisa saya perangi (literally), karena salah satunya makam Alm. Kakek, Nenek, Om, Sepupu, Buyut, saudara, manusia, manusia, manusia, bahkan setelah mereka berisirahatpun masih ada penindasan di atas tanahnya, dan tanahNya.
.. Kembali, Issue Global, pertanyaan slentingan dari manusia dan manusia, filsafat, psikologi, Agama, menghantui kepala saya, pelanggaran komunitas (bermain petasan, tawuran, pengerusakan), saat saya tersadar saya mempertanyakan kembali pertanyaan yang mempertanyakan pertanyaan yang ditanyakan
.. Tuhan, yang maha Esa, di TanahNya kita terlahir, di tanahNya kita kembali, di atas milikNya kita mengakui, atas namaNya kita melakukan sesuatu, atas kasih Nya, Yang Maha Pemurah, dan Penyayang kita merampas, wahai dunia, sekarang jawablah pertanyaanku
Pernahkah kau memikirkan dengan cara seperti ini?
Adakah kesadaran dari dalam yang mengikat anda dan membuat anda merasa terbebani?
Merasukkah anda kedalam tubuh anda? ataukah anda yang di rasuki?
Do’amu? Apa yang kamu lakukan? Pernahkah untuk kepentingan Dunia? Tindakanmu? Apa yang dunia dapat dari tindakanmu? Kenapa harus selalu mendoakan dan berbuat dengan asas golongan? Kenapa tuhan harus kau bela? Tuhan yang menciptakanmu?
Kita semua cuma manusia, yang mengambil peran untuk membentuk suatu DOXA, jika tamparan ini tidak berhasil, saya akan mencari 1000+ cara lain untuk menampar anda, sesungguhnya kebobrokan moral di tanah hindia ini karena kita berhenti peduli satu sama lain.
Pertanyaan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H