Mohon tunggu...
Haydar Nabris Muhammad
Haydar Nabris Muhammad Mohon Tunggu... Shalat 5 Waktu -

Mahasiswa, Muslim, U.I.N. Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora, Prodi Ilmu Komunikasi, Kelas C. angkatan 2015 UIN KOM 15

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kisah Lampau Seorang Tua

20 September 2015   14:11 Diperbarui: 20 September 2015   14:17 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Berawal dari tugas lapangan dosen jurnalistik saya, saya mendapatkan sebuah pengalaman yang berharga dan unik yang tidak mungkin di dapatkan di tempat lain, awalnya saya juga tidak menyukai tugas lapangan karena tempat yang di tentukan, menurut saya itu tidak pas, karena berita bisa terjadi dimanapun, ternyata penempatan justru membuat kita menjadi makin obyektif dan melek akan masyarakat di tempat itu

Siang ini (19/09/2015) saya mendapatkan tugas menggali berita di daerah alun alun Yogyakarta, saya mencari dalam tiap tapak langkah saya akan sesuatu yang patut di jadikan berita, sesuatu yang setidaknya menarik perhatian saya, saya nyaris patah arah, karena saya berfikir berita adalah sesuatu yang besar, ternyata sesuatu yang besar bisa datang dari hal kecil

Adalah bapak Darmadi, seorang pengemis asal blitar berumur 80 tahun yang sudah 50 tahun di jogja, penampilan beliau sangat tidak terawat, dengan baju yang lusuh, dan peluh yang menetes, beliau menengadahkan tangan ke setiap orang yang hilir mudik di jalan untuk mendapat sekeping rupiah, saya agak ragu untuk mencari informasi darinya, karena saya termasuk orang yang pro dengan kebijakan pemerintah untuk tidak memberi uang kepada gelandangan dan pengemis

Saya dan kawan kawan saya mencoba mendekat dan meyakinkan diri untuk menggali berita darinya, dengan pandangan skeptis kami memberi uang dan memasang wajah manis untuk dapat berbicara dengannya, “apa lagi sih yang di inginkan pengemis? Pasti duit” batinku, kami memberi salam dan menanyakan apa yang terjadi sampai dia bisa menjadi seorang pengemis, ternyata kisahnya, tidak di duga

“Indonesia adalah negara merdeka, tetapi tidak semua dari kita merdeka” ujarnya, beliau dulu hidup di blitar, sampai ada orang asing yang membuang mayat di dekat rumahnya (zaman penembak misterius), beliau yang tidak paham apa apa hanya manut untuk tutup mulut saat itu, dan membiarkan mayat tersebut di kubur di halaman rumahnya.

Berawal dari ketakutannya kepada daerah tempat tinggalnya dia nekat untuk pergi ke Surabaya untuk mencari nafkah, namun orang desa memang tidak bisa berbuat apa apa di tanah orang, mencoba bekerjapun dia dipandang berbeda, akhirnya takdir menuntunnya untuk menjadi gelandangan

Cerita takdir tak berhenti disitu, di Surabaya dia bertemu dengan “Sinta”nya dan dikaruniai seorang anak, karena takut akan kemiskinan yang melanda, keduanya berkerja keras untuk buah hati, sampai melupakan kesehatan mereka berdua, istrinya meninggal selang 2 tahun, dilanda ketakutan dia menitipkan anaknya di blitar untuk di besarkan orang terdekatnya

Desakan preman dan satpol pp yang saling menarik pajak dari para gelandangan dan pengemis juga membuatnya semakin terkungkung dalam kemiskinan, dia mencoba peruntungannya di D.I.Y yang saat itu tengah ramainya demo menuntut penurunan orde baru, terseret sana sini, dia hanya menjadi samsak tinju para aparat polisi dan kehilangan kemampuan bergerak untuk kaki kanannya

Saat ini dia hanya bisa pasrah meminta, dikarenakan umur yang tua dan tubuh yang sudah tidak bisa difungsikan secara normal, sementara para preman dan satpol pp yang memeraspun tak memberikan pelatihan untuk memiliki skill selain menjadi pengemis seumur hidup.

Dan yang paling membuat saya bertanya adalah, bagaimana dengan anaknya? Saat saya bertanya demikian terbesit rasa tidak enakan di hati saya dan saya langsung meminta maaf, namun bapak darmadi ini langsung menanggapi dengan pelan, dia berkata bahwa, “Indonesia ini negara merdeka, selama kita masih mampu kita harus merdeka, saya tidak mau meminta dari seorang yang bahkan tidak saya besarkan dengan tanggung jawab”

Pertanyaan lancang saya yang terakhir adalah apakah beliau mengetahui tentang anaknya, dia menjawab tahu, bahkan sudah memiliki cucu seumuranku, bahwa anaknya sudah menikah dengan seorang lulusan IAIN, dan mengajar di sebuah sekolah di blitar

 

Hari ini banyak cinta, banyak cerita

Kuharap esok tuhan membuka mataku lebih lebar tentang dunia ini

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun