Mohon tunggu...
Yuniar Hayati
Yuniar Hayati Mohon Tunggu... Guru - Perempuan

Guru SMPN 4 Mataram

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Penulis Instan ala Mak-Mak

30 Oktober 2022   20:20 Diperbarui: 30 Oktober 2022   21:02 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Taman Narmada, Lombok Barat/dokpri

Awalnya menulis karena ada PR mengarang yang harus dikumpulkan. Akhirnya aku belajar mengarang dengan dibimbing oleh ibuku. Aku mengarang tentang kegiatan yang dilakukan selama liburan Catur Wulan, waktu SD. 

Kemudian kebiasaan ini berlanjut dengan sering menulis di buku Diary. Karena pada jaman itu tahun 80-an dan 90-an memang lagi booming hobby mengoleksi buku Diary dan perangko. Selanjutnya menulis hanya dilakukan untuk menuntaskan tugas sekolah dan tugas kuliah, termasuk menulis skripsi.

Menulis sudah lama dilakukan, tapi aku belum tahu untuk apa. Akhir-akhir ini kebiasaan lama ini kembali dilakukan semenjak pandemi Covid-19. Mengapa aku juga nggak tahu. 

Mungkin karena lockdawn atau rasa jenuh karena work from home diberlakukan. Tapi semakin ke sini aku semakin merasakan nikmatnya menulis. Mengapa di usia menjelang setengah abad baru terasa indahnya menulis.

Kesibukanku sebagai ibu rumah tangga sekaligus guru SMP cukup menyita waktu, hingga terkadang tak punya waktu untuk menulis. Akhirnya aku menyempatkan menulis di sela-sela kesibukan. 

Misalnya waktu ada jam kosong, saat menjemput anak, waktu jam istirahat, menjelang tidur, dan di sela-sela waktu santai. Caranya aku lebih sering menulis di HP agar mudah di bawa ke mana-mana dan gampang digunakan di mana saja. Di samping itu kegiatan menulis tidak nampak mencolok, seolah-olah sedang membuka media sosial.

Kadang-kadang ide muncul tiba-tiba saat memasak di dapur, mencuci baju atau bahkan maaf saat sedang di kamar mandi. Repotnya ide itu akan hilang kalau tidak langsung ditulis karena belum sempat atau lupa. Terpaksa menulis sisa-sisa ide yang tercecer dan mencoba menghimpunnya kembali. Rasanya sedih dan tentunya menyesal.

Anehnya batas dealine pengumpulan artikel bisa juga menjadi sumber ide menulis. Otak dipaksa untuk berpikir sehingga melahirkan ide-ide baru. Bila belum muncul ide walau sudah berhari-hari mencari. 

Terutama menulis sesuatu yang ada temanya atau pesan sponsor. Seperti saat ini, aku mencoba melanjutkan tulisanku beberapa hari lalu. Hari Minggu ini aku menulis di sebuah taman budaya yang memiliki peninggalan sejarah masa lalu di jaman kerajaan Bali yang berkuasa di Lombok. Sambil menungggu putriku yang kedua mengerjakan tugas kelompok pelajaran Sejarah, membuat video bersama teman-teman sekolah.

Taman Narmada didirikan oleh raja Anak Agung Ngurah Karang Asem pada tahun 1727 M sebagai tempat upacara Pakelem dan peristirahatan keluarga para raja. 

Di dalamnya terdapat mata air yang dialirkan ke tiga buah kolam yang ada di bawahnya. Narmada sendiri berarti mata air. Diambil dari nama anak sungai Gangga di India. 

Sebagian orang percaya kalau air Narmada berkhasiat terutama sebagai obat awet muda. Taman Narmada dibangun sebagai Duplikat dari Gunung Rinjani dan danau Segara Anak ketika raja telah memasuki usia senja. Karena raja sudah tak mampu lagi naik turun gunung Rinjani yang mencapai 3.726 meter di atas permukaan laut, untuk melaksanakan ritual kurban.

Aku beserta keluarga kecilku duduk di bawah pohon akasia dekat pintu gapura di pinggir taman. Nuansa kuno masih sangat kental terasa, walaupun sudah banyak beberapa bangunan yang telah dipugar atau bangunan baru seperti kolam renang, musium, mushola dan berugak (Gazebo). 

Bunga-bunga jaman dulu masih ada yang bertahan seperti bunga puring, bugenvil (bunga kertas), amarilis, palm, Kamboja, dan beberapa pohon beringin serta Ketapang. Terasa sejuk dan rindang dengan pepohonan. 

Beberapa patung batu sudah ada yang gugur dimakan usia, begitu juga dengan tembok gerbang gapura di pinggir taman. Suasana ramai sekali karena sedang ada acara pembagian Door prize Gerak Jalan Sehat dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda yang diselenggarakan oleh Kabupaten Lombok Barat. Ketika datang acara baru saja dimulai dan dibuka langsung oleh Bapak Bupati Lombok Barat.

Harum semerbak sate Bulayak (sate daging, ayam, keong dan usus sapi yang dicampur dengan bumbu khas sasak) yang sedang dibakar pedagang turut menyertai ketika berjalan mengitari taman. Sate ini dimakan bersama dengan Bulayak (sejenis lontong yang dibungkus kecil memanjang, dengan daun aren/enau). Sehigga dinamakan sate Bulayak. Penasaran ingin tahu bagaimana rasanya, boleh silahkan berkunjung ke Kecamatan Narmada, Lombok Barat. 

Sate ini selalu ada hampir semua tempat-tempat wisata di pulau Lombok, terutama pantai-pantai. Terlebih pantai-pantai di sana yang masih asri alias perawan. Makin menambah nikmat cita rasanya. Yang jelas masakan pulau Lombok serba menggigit di lidah sesuai dengan namanya, pulau pedas. He...he...Atau menunggu momen even internasional di Sirkuit Mandalika digelar lagi, di pantai Kuta Lombok, sambil JJS sekalian.

Masih banyak lagi kuliner yang lainnya seperti Pelecing (lalapan kangkung dan taoge) pakai sambal terasi mentah khas Lombok dan jeruk limau. Ada ayam Taliwang (ayam bakar digeprek) plus bumbu khas Taliwang. Beberuk (lalapan terong kecil dan kacang panjang) dipotong kecil-kecil dan dicampur sambal terasi mentah. Sate ikan Tanjung (sate ikan diberi bumbu kuning lalu dibakar) setelah matang langsung dimakan tanpa bumbu lagi. 

Sate Pusut (kelapa parut dicampur daging cincang dan bumbu, direkatkan pada tusuk sate ceper dari bambu) lalu dibakar. Kalau jajanan basah ada Jaje Tujak (ketan kukus dicampur kelapa dan ditumbuk) diiris kecil-kecil dan dimakan dengan tape ketan. Manis legit rasanya. Kalau jajanan kering banyak di antaranya Jaje Tarik (dari tepung beras pakai santan, dicetak, digoreng), dodol Nangka, dodol Srikaya, dodol Tomat, Jelly rumput laut, krupuk kulit, kacang mete dan lain sebagainya.

Tak terasa hari menjelang siang, akhirnya kami sekeluarga pulang. Pantas saja aku ngelantur cerita tentang kuliner khas suku Sasak, yang menggoda. Ini pertanda bahwa sudah waktunya mengisi bahan bakar lagi, ya waktunya makan siang sudah tiba. Selamat berakhir pekan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun