74 tahun. Itulah angka yang beberapa hari lalu hadir di tengah-tengah bangsa Indonesia. Ya, karena 74 tahun sudah usia kemerdekaan Indonesia sejak pertama kali diproklamirkan oleh Founding Fathers bangsa Indonesia, Bung Karno dan Bung Hatta.
17 Agustus pun menjadi tanggal resmi kemerdekaan Indonesia. Dan tentu saja, sebagaimana layaknya sebuah negeri yang aktif, maka setiap menjelang momentum tanggal 17 Agustus, masyarakat Indonesia menyambutnya dengan berbagai kegiatan. Sangat variatif, dan juga ceria.Â
Perlombaan khas 17 Agustusan yang unik ternyata menjadi daya tarik tersendiri bagi pendatang. Terutama permainan Panjat Pinang, di mana peserta harus memanjat tiang tinggi yang diibaratkan pohon untuk mendapatkan hadiah. Permainan ini secara tradisi merepresentasikan kerja sama dan perlawanan atas pemerintah Belanda.
Tidak semudah itu memanjat pohon dan mendapatkan hadiah. Sebab, pohon akan dilumuri oli yang membuat batang pohon menjadi licin dan sulit dipanjat. Banyak warga memasang bendera merah putih di halaman rumah mereka dengan kebanggan. Di Jakarta, ada pula warga yang menikmati perayaan hari kemerdekaan yang digelar di Istana Negara, sementara warga lainnya mungkin lebih menikmati mengikuti lomba makan kerupuk. Di banyak perumahan, warga juga mengadakan parade yang diwarnai lomba dekorasi sepeda dan permainan lainnya.
Pada dasarnya, segala selebrasi yang dilakukan adalah bentuk rasa syukur masyarakat Indonesia atas anugerah kemerdekaan yang telah diraih. Bagaimana tidak, negeri ini mengalami masa penjajahan cukup lama. Tercatat dalam sejarah bahwa 350 tahun wilayah Indonesia, yang waktu itu biasa disebut Nusantara, berada dalam jajahan kolonial Belanda, dan dilanjutkan oleh Jepang selama 3,5 tahun.
Maka, wajar kiranya para Founding Fathers bangsa ini menyelipkan kalimat "Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa ..." di dalam naskah pembukaan UUD 1945. Kalimat ini menyiratkan bahwa, sebagai bangsa yang terdiri dari penduduk yang mayoritasnya adalah Muslim, bangsa ini menyadari bahwa ada Allah SWT di balik anugerah kemerdekaan yang diraih.
Yang dengan diproklamirkannya kemerdekaan ini, maka sekarang masyarakat Indonesia bisa menikmati hasilnya. Mereka tidak lagi menjadi bangsa yang terbelakang, dengan semakin banyaknya pembangunan demi pembangunan terwujud di berbagai wilayah Indonesia. Bahkan, Jakarta, Bali, dan banyak daerah di Indonesia berkembang menjadi salah satu titik tujuan wisata dunia. Ya, Indonesia telah merdeka. Mereka tidak perlu lagi mengangkat senjata, bertempur melawan penjajahan bangsa asing.
Benarkah itu semua?Â
Sebagai muslim, kita mengenal adanya konsep syukur nikmat. Ketika dikatakan bahwa kemerdekaan ini diraih atas berkat rahmat Allah, maka sudah sepantasnya bangsa Indonesia bersyukur atas anugerah itu. Namun, perlu pula kita menelaah kembali. Benarkah bangsa ini telah mendapatkan kemerdekaan yang hakiki?
Dari berbagai sudut pandang bisa kita temukan, bahwa sejatinya kemerdekaaan yang selama 74 tahun ini dirasakan, tidaklah menjadi kemerdekaan yang hakiki. Lihatlah betapa banyaknya tingkat kemiskinan dan pengangguran di negeri ini. Bagaimana mungkin kita katakan mereka telah menikmati kemerdekaan jika sehari-harinya mereka harus terus berjibaku untuk mencari nafkah yang layak bagi kehidupannya? Cobalah sejenak kita renungkan, ketika dalam kasus Nisa, balita usia 15 bulan yang ditemukan memeluk jenazah ayahnya selama 3 hari dan terkunci dalam rumah. Sementara sang ibu tengah berjuang di belahan negeri seberang, demi membantu sang suami untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Mengutip dari artikel yang ditulis salah satu pemerhati social, Kholda Najiyah, polisi yang menemukan si anak pun menitikkan airmata, melihat kondisinya yang memprihatinkan. Terbayang kan, tiga hari ia bertahan hidup. Bagaimana dengan makan minumnya? Bagaimana buang hajatnya? Apakah tak pernah sekalipun ia menangis? Yakinlah, hati sang istri juga teriris sembilu. Mana ada seorang ibu yang tega meninggalkan bayinya. Alasan uang hanyalah karena keadaan. Keterpaksaan. Begitu susahnya mencari sesuap nasi di negeri ini, hingga harapan tak bisa digantungkan pada suami. Istri lantas pasang badan. Mencoba tampil terdepan. Siap sisingkan lengan. Mengatasi kesulitan yang menghadang.
Ia hanya ingin menjamin kelangsungan hidup anaknya. Meski hatinya gerimis meninggalkan keluarga kecilnya. Jiwanya merana. Sepi dalam kesendirian, jauh di perantauan. Tapi, rayuan pengerah tenaga kerja akan kesejahteraan instan, telah menaklukkannya. Toh hanya sementara. Satu-dua tahun saja. Biarlah ia berkorban. Begitu pikirnya.
Ini sungguh lingkaran setan. Bukan salah suami, bukan pula salah istri. Bukan salah takdir. Bukan salah bunda mengandung. Inilah buah busuk kehidupan dunia yang tidak dikendalikan oleh aturan Sang Pemilik Dunia. Dunia diperbudak oleh sistem kapitalisme sekular. Sistem yang turut bertanggungjawab menghancurkan institusi keluarga. Mengapa?
Sistem sekular kapitalis tidak punya mekanisme dalam menjamin kebutuhan pokok warga negaranya. Semua diserahkan kepada individu-individu masing-masing. Sistem ini tak peduli, apakah warganya kelaparan atau kesakitan. Apakah para suami bekerja atau tidak. Apakah para istri dan anak-anaknya tercukupi kebutuhannya atau tidak. Apakah keluarga itu mampu menjalankan fungsinya atau tidak. Seolah institusi keluarga bukan tanggungjawab sebuah negara.
Sistem sekular kapitalis menegakkan hukum rimba. Siapa yang kuat, dia yang mampu bertahan. Siapa yang lemah, dia bakal punah. Apa sumber kekuatan itu? Uang. Mereka yang mampu mengakses sumber ekonomi dengan mudah, akan semakin kaya. Seperti pengusaha-pengusaha kelas kakap, yang kekayaannya menggurita namun tak banyak membantu kemaslahatan sesama.
Sementara di kalangan kelas bawah, begitu sulitnya mengais rupiah. Pekerjaan sulit didapat, jika kerja penghasilan pun pas-pasan. Sementara harga-harga kebutuhan pokok tak terkendali. Negara pun minim andil mengendalikan semua ini.
Tak ada keluarga yang dijamin sumber keuangannya, kecuali mereka harus berupaya sendiri. Negara tak tahu menahu, apakah kebutuhan pokok warganya tercukupi atau tidak. Terbukti, aneka subsidi dikebiri. Dianggap terlalu memanjakan rakyat. Seolah ingin berkata: "sana, carilah pekerjaan sendiri. Kalau mau kaya, ya usaha sendiri. Kalau perlu pergilah ke luar negeri."
Inikah merdeka?
Peru kita sadari bersama, bahwa semua itu terjadi ketika kapitalisme sekuler lah yang diterapkan dalam mengisi kemerdekaan yang sudah 74 tahun ini. Dan hasilnya adalah kezaliman, kesengsaraan di mana-mana. Oleh karena itu, patut kita renungkan kembali bahwa misi Islam mewujudkan kemerdekaan sejati bagi seluruh umat manusia itu juga terungkap kuat dalam dialog Jenderal Rustum dari Persia dengan Mughirah bin Syu'bah yang diutus oleh Panglima Saad bin Abi Waqash ra. Pernyataan misi itu diulang lagi dalam dialog Jenderal Rustum dengan Rab'i bin 'Amir, utusan Panglima Saad bin Abi Waqash ra. Ia diutus setelah Mughirah bin Syu'bah pada Perang Qadisiyah untuk membebaskan Persia.Â
Jenderal Rustum bertanya kepada Rab'i bin 'Amir, "Apa yang kalian bawa?" Rab'i bin menjawab, "Allah telah mengutus kami. Demi Allah, Allah telah mendatangkan kami agar kami mengeluarkan siapa saja yang mau dari penghambaan kepada sesama hamba (manusia) menuju penghambaan hanya kepada Allah; dari kesempitan dunia menuju kelapangannya; dan dari kezaliman agama-agama (selain Islam) menuju keadilan Islam..." (Ath-Thabari, Trkh al-Umam wa al-Mulk, II/401).Â
Allah SWT berfirman:
Mereka (Bani Israil) menjadikan para pendeta dan para rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah... (TQS at-Taubah [9]: 31).
Ketika ayat ini dibacakan oleh Rasulullah SAW, Adi bin Hatim mengatakan bahwa Bani Israil (Yahudi dan Nasrani) tidak menyembah para pendeta dan para rahib mereka. Saat itulah Rasul SAW bersabda, "Akan tetapi, jika para rahib dan pendeta mereka menghalalkan sesuatu untuk mereka maka mereka pun menghalalkannya, dan jika para rahib dan pendeta mereka mengharamkan sesuatu atas mereka maka mereka pun mengharamkannya (Itulah wujud penyembahan mereka kepada para rahib dan pendeta mereka, red.) (HR at-Tirmidzi).
Walhasil, Islam datang untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penghambaan kepada sesama manusia sekaligus mewujudkan penghambaan hanya kepada Allah SWT. Islam datang untuk membebaskan manusia dari kesempitan dunia akibat penerapan aturan buatan manusia menuju kelapangan dunia (rahmatan lil alamin). Islam juga datang untuk membebaskan manusia dari kezaliman agama-agama dan sistem-sistem selain Islam menuju keadilan Islam.Â
Lia Ummu Zaidan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H