Korupsi adalah teman setia demokrasi. Bagai dua sejoli yang tak terpisah oleh waktu. Keduanya akan saling menyertai. Karena hubungan keduanya sangat erat. Ini bukan pernyataan tanpa bukti. Ini adalah sebuah keniscayaan bahwa seperti itulah tabiat sistem yang lahir dari hawa nafsu manusia. Hanya memunculkan kekacauan disegala lini kehidupan.
Hal yang paling menakjubkan, jika korupsi berhasil diberangus dalam payung demokrasi. Hampir dipastikan impossible. Tak akan pernah terjadi. Menurunkan angka peningkatannya mungkin iya, tapi memberantas tuntas itu adalah hal yang mustahil.
Tingginya biaya demokrasi dan gaya hidup hedonis memicu lahirnya tindakan korup. Tak ada jaminan orang baik tidak terjerat korupsi di negara demokrasi. Apa yang terjadi dalam tubuh Kementrian Agama adalah contoh nyata realitas itu.
Baru-baru ini, netizens seantero sosial media digemparkan oleh sebuah pemberitaan tentang seorang "Tukang Ralat Do'a" begitu warga net menyebutnya, karena aksinya meralat do'a KH Maimoen Zubair dalam acara sarang berzikir untuk Indonesia maju.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membenarkan ketua umum PPP Romahurmuziy terjaring dalam tangkap tangan (OTT) di Jawa Timur, Jum'at (15/3/2019) (news.detik.com)
Romahurmuzy alias Romy yang menjadi ketua umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kini menjadi ketua umum partai kelima yang dijerat KPK dalam kasus korupsi. (wartakotalive.com)
Romy menambah daftar panjang kriminalitas pejabat dan semakin menodai wajah hukum dan politik Indonesia. Pergantian kekuasaan orde lama hingga era reformasi belum ada yang berhasil memberantas lajunya angka pejabat yang terjerat korupsi, malah semakin memperjelas rakyat akan wajah asli sistem demokrasi, yang melahirkan generasi berani berbuat keji dan tak berhati Nurani.
"Skor CPI indonesia untuk tahun 2018 (sebesar) 38 dari (skala) 0 sampai 100. Dengan ranking 89. Skor ini naik 1 poin dari CPI 2017 yang lalu dan naik 7 peringkat dari tahun 2017 lalu," ujar Manajer Departemen Riset TII Wawan Suyatmiko dalam paparannya di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Selasa (29/1/2019). (https://nasional.kompas.com)
Pratma Julia, melalui MNews, Selasa (19/3/2019) juga mengungkapkan bahwa di antara 180 negara dunia, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2018 menempati posisi ke-89. "Banyak pihak memaklumi jika korupsi di Indonesia masih tinggi mengingat demokrasi Indonesia hingga 2018 masih terkategori flawed democracy, cacat. Jangan salah, Swiss yang sudah lebih mapan demokrasinya, menurut Tax Justice Network menjadi negara paling korup di dunia, disusul Amerika Serikat --sang penjaga utama demokrasi-. Bahkan 44 persen rakyat Amerika, dari survei Transparency International mengatakan korupsi makin meluas di Gedung Putih sejak rezim Trump," ujarnya.
"Uni Eropa yang dikenal sebagai kawasan paling bersih, tingkat korupsinya juga membebani Rp 2.233 triliun per tahun. Wa bil khusus, Inggris dinilai gagal mengatur pembiayaan partai politik yang dianggap sebagai faktor utama dalam korupsi," sambung Pratma.
Ini menunjukan kepada kita bahwa korupsi dalam payung demokrasi akan terus tumbuh subur bagaikan jamur yang tak akan pupus, karena demokrasi menghalalkan segala cara. Tak ada yang mampu memutus lingkaran setan ini selain dengan cara yang total.