Mohon tunggu...
Hawari Adam
Hawari Adam Mohon Tunggu... -

Hawari adalah remaja kelahiran tahun '96 yang sedang bersekolah di Pesantren Media. Terus menulis dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Menyapa di Toko Buku

26 November 2013   06:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:40 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketiga cewek manis tersebut mengamati sosok makhluk aneh yang sedang duduk manis di atas meja. Hewan yang sedang mereka amati tersebut benar-benar berbeda dari hewan lain yang pernah mereka lihat. Seperti anjing, namun juga sangat mirip seperti kucing. Telinga hewan seukuran kucing tersebut menggelambir lemas bagaikan telinga bulldog, namun wajah yang teraut di bawahnya adalah bentuk monyong dan tirus berkumis khas bentuk kucing. Matanya pun jernih berwarna abu-abu, dengan pupil oval di tengahnya. Namun, kenapa lidahnya menjulur ke luar dan nafasnya memburu seperti anjing?

Lulu pun menatap turun ke bawah hewan aneh itu. Badannya pun sangat mirip kucing, dengan bulu halus berwarna putih dan terdapat noktah hitam luas di beberapa bagiannya. Ekor panjangnya bergerak-gerak seperti halnya kucing-kucing lainnya. Lulu menatap ke bawah lagi. Eh? Dia terkaget-kaget saat mendapati hewan tersebut memiliki kaki yang sangat mirip dengan kaki anjing. Bukan mirip lagi, bahkan menurut Lulu, itu memang kaki anjing.

“Eh Luna! Ini hewan apaan sih?!”

Luna, cewek kaya raya yang membawa kucing itu ke sekolah tampak cuek dengan kebingungan tiga sohibnya itu. Dia malah makin asyik dengan cokelat kesukaannya yang ia bawa hampir tiap hari. “Mana aku tahu? Papa belikan hewan ini buat aku untuk ulang tahunku yang keenam belas kemarin. Mama pikir aku nggak bakal suka, tapi waktu lihat hewan unyuuuu ini, aku langsung fall in love at the first sight!” terang Luna menggebu-gebu.

Luna memang suka jatuh cinta terhadap hal-hal yang tidak masuk akal, termasuk salah satunya hewan yang sedang berada di hadapan Lulu ini, yang menurutnya tidaklah imut ataupun lucu sama sekali.

Hewan itu pun tampak sangat terpojok dengan tusukan tatapan mata yang dihunuskan ketiga cewek di hadapannya. Dia seperti ketakutan, tapi tidak berani bergerak sedikit pun.

“Terus, nama hewan ini apa ya?” Syifa, yang sedari tadi hanya melongo menatap hewan tersebut penuh rasa bingung akhirnya bersuara. Syifa adalah cewek berjilbab dan berkacamata tebal. Ia menyandang julukan ‘si alim turun gunung’. Julukan ini ia dapatkan dari Lulu, yang kagum terhadap Syifa karena meskipun Syifa selalu aktif di kegiatan rohis, dia tidak pernah sedikit pun berusaha menjauh dari ketiga sahabat gilanya tersebut. Istilah Lulu sih, ‘nggak sok alim’.

“Oh iya, aku belum kenalin sama kalian. Namanya Neneng Santoso Wijaya Hadyiningrat Cipta Mangunkusuma. Panggilannya Chibi. Chibi, kenalkan diri kamu sama ketiga mbak-mbak itu!” perintah Luna pada hewan peliharaannya.

Rina, si gembul jago makan yang mengamati Si Chibi di sebelah Lulu pun menjawab sewot. “Yeey.. norak banget sih namanya! Kenapa nggak dikasih nama Morgan aja?” Sebagai catatan, Morgan adalah anggota vocal group semi-cowok, S***h.

Syifa menatap malas ke arah Rina yang memiliki selera rendah dalam bermusik –begitu menurut Lulu. “Kok malah diskusi nama gitu sih? Maksud aku, ini hewan masuk spesies apa, kucing atau anjing, atau jenis hewan lainnya? Aku belum pernah lihat hewan yang seperti ini. Lulu, kira-kira kamu pernah membaca tentang hewan ini?”

Lulu tampak berfikir serius tanpa mengalihkan tatapan matanya dari Si Chibi yang semakin mengerut di bawah tatapan menyelidik Lulu. “Ini... menurut yang pernah gue baca, nama hewan ini adalah KuJing...” Lulu berkata ngawur.

“Kok kamu asngap mulu sih?” Syifa makin sewot.

“Asngap apaan?” tanya Lulu cuek.

“Asal mangap!”

Rina yang tampak tidak peduli dengan pertengkaran tadi pun menyela. “Atau... mungkin dia itu sejenis spesies AnCing yah...”

Luna segera menyambar. “Yah, terserah kalian saja deh, menurut agama dan keyakinan masing-masing aja.”

Tiba-tiba, Syifa teringat sesuatu. “Eh Luna! Kamu nggak lupa kan, acara nanti sore?”

“Ke toko buku Alami kan? Mana mungkin aku lupa sayaaaang...?”

Syifa mengacungkan jempol senang. Sore ini, atas saran dari Syifa dan persetujuan serta fasilitas sebuah mobil dari Luna, keempat sahabat itu akan mengunjungi toko buku Alami untuk berbelanja buku bulanan yang rutin dilakukan Syifa.

“Kenapa nggak di Gramedia aja Fa’? Di Alami mah cuma ada buku ngaji doang! Nggak ada komik! Nggak lengkap!” keluh Lulu sebal.

That’s the point! Di Gramedia mah adanya komik doang. Nggak ada buku ngaji! Nggak lengkap!” balas Syifa penuh kemenangan.

ooOoo

Sore hari. Supir Luna memberhentikan mobil di depan toko buku Alami yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari Gramedia. Keempat cewek itu pun segera menghambur keluar. Syifa segera memasuki toko buku namun seketika menghentikan langkahnya dan berbalik untuk melemparkan tatapan mengancam kepada Rina dan Lulu yang sudah hendak berlari kabur ke Gramedia. Keduanya pun menghela nafas, malas sekaligus pasrah.

Toko buku Alami sudah mulai sepi. Hanya sedikit pengunjung yang ada di dalam. Syifa segera menyusuri rak-rak yang terisi buku-buku fiqih. Rina berusaha mencari majalah Gaul di antara tumpukan majalah Islami. Lulu sudah putus asa akan menemukan buku yang menyenangkan dan segera menyobek bungkus lollipop-nya. Sedangkan Luna, ia kini sibuk mengejar-ngejar kujing-nya. Well, bisa juga berarti ancing-nya.

Mata Lulu yang memutar-mutar bosan ke sekeliling ruangan seketika terhenti pada sebuah titik. Tatapan dan perhatiannya seketika tertuju dan terpusat pada sosok itu.

Seorang pemuda usia 20-an, sedang melayani pelanggan di meja kasir. Nafas Lulu seketika tersedot keluar dari paru-parunya. Ia tak dapat lagi mendengar detik jam yang -oke, memang detak jarum jam tidak bisa terdengar selama ini oleh Lulu dari jarak sejauh ini. Seluruh dunianya berubah menjadi sangat lambat dan berubah warna menjadi hitam dan putih. Seperti... seperti...

Ah! Kalian pernah merasakan jatuh cinta pada pandangan pertama? Nah, seperti itulah rasanya!

Lollipop Lulu yang seukuran kepalan tangan terjatuh ke lantai. Pegawai cowok itu melihat kejadian itu dan segera menghampiri Lulu untuk membersihkan kotoran lollipop-nya yang mengotori lantai.

Oh, tidak, dia datang kemari!

Lulu segera membalikkan badan dan tergesa menghampiri rak dan memungut beberapa buku yang tebal. Sebuah rencana darurat sedang ia lakukan. Ia pun segera berjalan cepat menuju pegawai cowok itu, dan dengan sengaja, ia berpura-pura tersandung dan buku-buku itu pun melayang ke udara.

Cowok pegawai itu memandang wajah Lulu dengan kaget. Jantung lulu berhenti berdektak. Oh tidak, dia menatapku! Seketika itu juga, dunia kembali berjalan seperti koneksi internet modem Lulu. Sangat lambat, dan buku-buku itu, entah mengapa, melayang bagaikan ada sesuatu yang menahannya di udara. Aduuuh... matanya indah sekali...!

BRAKK! Lulu dan buku-buku tak berdosa itu pun berhamburan ke lantai. Cowok pegawai tampak masih terkejut namun tetap kalem. Ia bangkit dan segera memunguti buku-buku yang berhamburan. Lulu tidak melewatkan kesempatan ini. Bermodalkan contoh adegan pertemuan pertama di sinetron favorit Lulu, ia pun mengikuti gerak tangan cowok pegawai yang masih dengan kalemnya memunguti buku-buku itu.

Saat si cowok pegawai mengambil sebuah majalah di ujung, Lulu segera menyambar majalah itu dalam waktu yang bersamaan, namun rencara Lulu gagal. Cowok pegawai yang tanpan itu nampaknya menyadari rencana jahat Lulu sehinga yang terjadi kemudian pun adalah kejar-kejaran antara tangan lulu dan tangan milik cowok pegawai. Permainan seru itu pun berakhir dengan kekecewaan Lulu karena tidak berhasil mendapatkan sasaran dan ia pun meletakkan kembali buku-buku yang telah ia pungut ke tempat asalnya dengan mendesah kecewa. Dan seolah tak ada yang terjadi, cowok itu pun melakukan hal yang sama –kecuali mendesah kecewa- dan segera kembali ke meja kasir tanpa menoleh sedikit pun pada Lulu.

Lulu segera merasakan amarah sekaligus aura tertantang dalam dirinya. Dia meremas tangannya dan bertekad dalam hati, aku pasti mampu menaklukkan hati penjaga toko itu!

ooOoo

Yang terjadi setelah hari itu adalah Lulu semakin rajin mengunjungi Toko Buku Alami ketimbang Gramedia, hanya untuk mengamati sosok yang baginya pangeran itu dari balik rak-rak buku sambil terkadang cekikikan sendiri. Rina yang penasaran, akhirnya bergabung dengan aktivitas Lulu ini dan akhirnya setuju bahwa penjanga toko itu memang pangeran. Mereka pun mendadak semakin dekat dan lebih sering mengnunjungi Toko Buku Alami bersama-sama, sehingga menimbulkan kecurigaan dari Syifa. Luna yang kebetulan tahu tentang hal ini dan memang anaknya tidak bisa menjaga rahasia akhirnya membocorkan sedikit rahasia ini.

Suatu siang, saat keempat sohib karib itu berkumpul di meja kantin, Syifa pun memulai pembicaraan dengan sebuah deheman. Dalam namun singkat dan tajam, membuat ketiga sahabatnya hampir memuntahkan makanan mereka. Ini ancaman, pikir Lulu. Kalau tampang Syifa sudah mulai serius dan dia memulia berdehem, maka pasti sebentar lagi dia akan memulai sesi ‘ceramah’nya yang sering ditakuti oleh mereka bertiga, karena saat itu, asli-nya Syifa keluar. Tegas. Galak. Sereeeem...

“Aku ingin berbicara tentang kegiatan yang Lulu dan Rina lakukan di Alami.”

Kalimat pembuka yang singkat namun segera membuat Rina dan Lulu tersedak. Mereka berdua segera menatap Luna tajam. Pasti anak ini ember lagi! Luna menatap Lulu dengan sorot setengah takut, juga setengah menyesal.

“He... kami nggak ngapa-ngapain kok di alami. Betul kan Rin?” Lulu berusaha nyengir lebar, lalu menoleh menatap Rina yang hanya bengong dengan tatapan kosong. Lulu segera menginjak kakinya keras.

“Eh, eh eh! Eh iya, kami nggak ngapa-ngapain kok Fa’. Cuma beli buku doang, kok. Hehe...” Rina juga berusaha nyengir, namun yang terlihat malah seperti orang yang menahan buang air besar.

“Oh ya? Beli buku apa?”

Nah. Lulu berusaha keras mengingat buku yang pernah dia lihat di Alami. Namun yang keluar dari mulutnya malah, “Eeee...”

“Aku udah tahu semuanya dari Luna.”

Jreeeng... jreeeng... jreeeng! Lulu segera mendelik marah mengancam ke arah Luna.

“Kalian lupa ya sama janji persahabatan kita?”

Lulu menunduk. Ah, dia lupa lagi. Setahun yang lalu, saat mereka duduk di kelas pertama SMA, empat sekawan yang sudah akrab sejak SMP itu berjanji dengan sederet peraturan persahabatan yang mereka susun bersama-sama, dan salah satu daftar yang sengaja dimasukkan Syifa yang kala itu memang sudah berkerudung adalah, mereka tidak boleh berpacaran, berusaha berpacaran atau bahkan mendekati hal-hal yang berbau pacaran.

“Lulu, berapa kali sih kamu harus dibilangin? Kalau di antara kita ada yang sampai pacaran, persahabatan kita pasti bakalan pecah! Dan yang paling penting, pacaran itu nggak boleh dalam ajaran Islam, soalnya bisa deketin kita ke perbuatan zina.” Tandas Syifa, datar namun tegas. Lalu humor Syifa sedikit muncul. “Lagipula, cowok yang kamu dekati itu tipenya bukan kaya kamu. Tipe dia itu cuma cewek FBI!”

Rina menoleh terkejut. “Beneran Fa’?! Dia mata-mata asing dong? Federal Bureau Investigation?”

Syifa sudah terlihat susah payah menahan tawa. “Bu..bukan. Female Bidikan Ikhwan!”

Sontak semua orang tertawa terbahak-bahak, namun hal tersebut tidak lucu bagi Lulu. Dia malah merasa panas. Dia menggebrak meja dan segera berdiri.

“Nggak bisa Fa’! Ini cinta, dan cinta itu datangnya dari Tuhan!”

Uh-oh. Syifa mungkin terlalu menggurui temannya itu. “Cinta memang dari Allah Fa’, tapi menyalurkannya, itu ada saatnya sendiri. Tapi bukan sekarang.” Syifa berusaha tenang dan tidak menggurui, tapi tetap saja bagi Lulu Syifa berusaha mengguruinya.

“Nggak! Kau sendiri yang bilang FBI, mentang-mentang kau nggak pakai kerudung jadi bukan tipe dia, sementara kau pakai kerudung, kau ngaku jadi FBI kan? Bilang aja kau yang mau sama dia! Bakal saya buktiin ke kalian semua kalau saya yang bukan FBI, bisa dapetin dia!”

Lulu menggebrak meja sekali lagi dan segera pergi, meninggalkan tiga sahabatnya melongo semelongo-melongonya, melihat Lulu berubah total. Lulu yang biasanya santai, humoris, mendadak jadi lebay namun dramatis. Bahkan elo-gue nya pun hilang.

Rina menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Jadi bener ya cinta itu bikin buta? Lulu yang dulu kemana?”

Luna tampak memikirkan sesuatu. “Aduh jangan sampai Chibi ketemu ancing jantan!”

Namun Syifa merasakan penyesalan yang cukup mendalam. Oh tidak, aku kini sudah seperti teman-temanku yang lain. Terlalu menggurui sehingga mereka tidak mendengar, malah pergi.

Syifa menjatuhkan kepalanya ke meja kantin dengan frustrasi.

ooOoo

Maka di sinilah Lulu. Berdiri tegak, berpakaian rapi dan bagus, dengan segenggam rangkaian bunga mawar di tangannya dan segunung kegalauan di hatinya. Bagaimana jika dia menolak cintaku? Bagaimana jika memang aku bukan tipenya? Bagaimana jika... bagaimana jika...

Pertanyaan yang mirip-mirip sama dan sepola terus menerus berputar di kepalanya bagaikan komidi putar yang beputar putar dengan putaran yang memutar mutar dan terus berputar-putar hingga putaran yang tak berhenti memutar-mutarkan putaran.

Tidak! Seketika Lulu teringat ucapat perih Syifa, dan seketika itu pula keraguannya hilang dan sepasang kakinya segera memasuki toko buku Alami.

Lulu melihat pangerannya sedang sibuk melayani antrian yang cukup panjang. Tepat sekali saatnya! Lulu pun memasuki antrian. Dia akan membuat kejutan dengan menyatakan cintanya secara langsung di hadapan orang-orang di toko buku. Lulu memang dikenal memiliki tingkat percaya diri yang tinggi. Namun entah apa yang terjadi hari ini. Lulu sempat merasa, sebenarnya apa yang sedang dilakukannya di sini? Namun ia segera menampik pertanyaan itu dan fokus pada misinya hari ini.

Di depan Lulu, tersisa tiga orang lagi, dan tepat di depannya, ada seorang wanita dengan pakaian tertutup dari atas hingga kaki, sedang menggandeng seorang balita. Oh, pasti begini nih FBI sejati yang menurut Syifa adalah tipe pangeranku. Tapi daku tak akan menyerah atas nama cinta!

Dua orang sudah selesai dilayani, kemudian alangkah terkejutnya Lulu saat melihat pangerannya tampak mendapat kejutan dengan kehadiran FBI yang mengantri di depannya.

“Anna! Abang tidak menyadari kedatanganm. Sudah selesai mengajar di TK? Fahmi jagoan!” tanya pangeran Lulu, lalu mengangkat dan menggendong balita yang tampak girang.

FBI di depannya segera menyalami dan mencium tangan sang pangeran. “Iya bang, ini kan Sabtu, jadi TK bubar lebih awal. Ini, Anna bawakan roti isi kesukaan Abang.”

“Sebentar ya Anna, jadwal Abang sebentar lagi selesai dan kita langsung pulang saja.” Pangeran tersebut. Dengan tergesa, ia pun menggerakkan jarinya pelan mengisyaratkan agar pengantri selanjutnya segera maju. Namun tempat itu sudah kosong.

Lulu berlari keluar dengan perasaan hancur. Pangeran yang selama ini dipuja-pujanya, ternyata sudah beristri. Lulu melempar rangkaian bunga itu dan mengenai kepala tukang parkir. Orang itu berteriak, tapi Lulu sudah tidak peduli lagi.

Karena merasa lelah, Lulu pun berhenti. Air matanya tidak henti menyesak keluar dari kelopak matanya. Lulu berteriak-teriak sebal, kemudian dia menyadari bahwa dia harus melempar sasuatu lagi agar lebih merasa lega. Dia segera merogoh handphone-nya. Lulu berfikir sejenak, kemudian memutuskan untuk tetap melemparkannya, karena harganya murah. Namun sedetik sebelum benda malang itu terlempar bebas, ia bergetar. Lulu mengecek namanya. Syifa. Ah, apa lagi yang ingin dia ceramahkan!?

Tapi Lulu tetap menjawabnya. “Mau apa lagi?” tanyanya galak.

“Lu... aku minta maaf ya atas perkataan aku kemarin?” suara Syifa terdengar ragu dan merasa bersalah di ujung sana.

Lulu seketika merengek. “Huaaa... Fa’ kamu bener banget, pangeranku cuman suka sama FBI.”

“Heeh? Maksud kamu apa Lu?”

Tak butuh waktu lama untuk Lulu menjelaskan segalanya dengan suara sesunggukan dan ingus mengalir deras.

“Fa’, gue minta maaf ya, gue hampir bikin persahabatan kita pecah.” Nah, jika Lulu sudah mulai ber-elo gue, dia sudah mulai ke sifat asalnya.

“Cie... Lulu yang dulu kembali! Nggak kok Lu, aku yang minta maaf. Harusnya aku nggak sok-sokan nasihatin kamu kaya gitu. Kamu belum maafin aku lho.”

“Iya, iya... sampai tujuh turunan udah gue maafin Fa’” ujar Lulu sebal namun menggelitik. “Eh, Fa’ gue minta bantuan lo dong? Boleh?”

“Boleh boleh. Apa?”

“Bantu gue -kalau saatnya udah dateng kata lo-, untuk dapetin cowok kaya pangeran pengkhianat gue itu! Bisa?”

“Haaah? Gimana dong caranya?”

Dengan nada iseng, Lulu berkata “Rekrut gue jadi FBI dong!”

Jika saja Syifa ada di tempat yang sama, ia tentu sudah menjitaknya keras-keras.

The End

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun