Dalam beberapa waktu terakhir, perhatian publik tersita oleh dua kasus yang berbeda tetapi memiliki pola serupa, fenomena viralisme yang memunculkan pro dan kontra. Kasus pertama melibatkan Gus Miftah, seorang dai dan Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama. Ia menjadi sorotan setelah video yang memperlihatkan dirinya mengejek seorang penjual es teh dengan kata-kata tak pantas viral di media sosial. Sementara itu, kasus kedua berkaitan dengan Nia Kurnia Sari, seorang penjual gorengan yang menjadi korban pemerkosaan dan pembunuhan. Makam Nia belakangan ramai dikunjungi, bahkan menjadi semacam "wisata religi." Kedua kasus ini tidak hanya memancing simpati, tetapi juga perdebatan di tengah masyarakat.
Gus Miftah dan Sunhaji, Penjual Es Teh
Dalam video yang beredar, Gus Miftah terlihat mengejek Sunhaji, seorang penjual es teh, dengan kata "goblok." Aksi ini memicu kemarahan netizen yang mempertanyakan etika seorang pemuka agama. Setelah video tersebut viral, berbagai bantuan mengalir kepada Sunhaji, mulai dari gerobak baru, uang tunai hingga lebih dari Rp50 juta, hingga tawaran umrah gratis.
Namun, tidak semua orang setuju. Beberapa warganet menganggap bantuan itu berlebihan. Mereka berpendapat, banyak orang lain yang lebih membutuhkan tetapi tidak mendapat perhatian karena kasusnya tidak viral. Komentar seperti "seketika pengen jadi penjual es teh" menggambarkan sentimen sebagian masyarakat yang merasa fenomena ini tidak adil.
Kasus Nia Kurnia Sari dan "Wisata Religi"
Di sisi lain, kasus Nia Kurnia Sari juga menimbulkan fenomena serupa. Makam Nia menjadi tempat yang ramai dikunjungi, bahkan disebut sebagai "wisata religi." Ada yang mengunggah video tentang bau harum di makam Nia, prasasti penghormatan, hingga hal-hal kecil seperti temuan ikat rambut miliknya.
Beberapa orang memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan ekonomi. Misalnya, tetangga di sekitar rumah keluarga Nia menjual berbagai barang kepada para peziarah. Meski ada yang menganggap tindakan ini wajar, sebagian warganet merasa kasus ini telah dilebih-lebihkan dan memunculkan eksploitasi terhadap tragedi Nia.
Mengapa Hanya yang Viral yang Dibantu?
Kedua kasus ini menunjukkan pola serupa: bantuan dan perhatian publik cenderung hanya diberikan kepada mereka yang viral di media sosial. Padahal, masih banyak kasus lain yang tidak kalah memprihatinkan, tetapi tidak mendapat perhatian karena tidak terekspos secara masif.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: apakah empati kita hanya muncul karena tekanan sosial dari tren di media? Atau, apakah media sosial membuat kita lupa bahwa ada banyak orang di luar sana yang juga membutuhkan bantuan?
Refleksi