Mohon tunggu...
Anti Sandera
Anti Sandera Mohon Tunggu... -

Tidak terlalu baik, tapi tidak terlalu buruk juga !! Karena semua yang "TERLALU" belum tentu baik dan belum tentu buruk....:)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pilkada Langsung Satu Titian Menuju Demokratisasi

4 November 2010   15:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:50 608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Prolog

Perjalanan proses reformasi setelah pergantian konstelasi sosial politik telah membawa dampak berupa pergeseran system ketata negaraan dan geliat demokratisasi di Indonesia. Beberapa hal fundamental yang dalam hal ini tentunya sangat berdampak pada wajah konfigurasi system politik dan pemerintahan kita, diantaranya adalah desentralisasi yang kemudian diartikan sebagai otonomi daerah, telah membawa konsekuensi tersendiri dalam kehidupan politik, sosial, dan ekonomi di berbagai daerah propinsi, kabupaten/kota di Indonesia. Dalam pada itu, konsekuensi logis yang mesti diterima multi-stakeholders di daerah otonom tersebut adalah mereka harus cakap dalam mengelola dan menggunakan semua potensi yang ada pada daerah tersebut. Kondisi ideal ini sangat mungkin terwujud jika ada sinergi fungsi dan peran antara pemerintah, komponen kelembagaan lainnya dan masyarakat pada umumnya.

Hal prinsif lainnya yang mengalami pergeseran dalam konteks sistem ketatanegaraan kita adalah, bahwa pemilihan presiden dan kepala daerah (Gubernur dan Bupati/Walikota) harus melalui mekanisme pemilihan secara langsung. Ini tentunya suatu kondisi yang menggembirakan dalam konteks dinamika demokrasi, terlepas dari kenyataannya bahwa demokrasi bisa dipandang secara berbeda, namun paling tidak ini dapat dijadikan parameter bahwasannya Qonditio sine qua non yang ada telah dapat memberi ruang bagi warga masyarakat/negara untuk dapat mengekspresikan pilihan politik mereka secara lebih demokratis.

Terkait dengan hal diatas, Robert A Dahl dalam bukunya yang berjudul Polyarchy: Participation and Opossition mengatakan bahwa ada beberapa variabel yang dapat dijadikan pijakan awal dalam membaca peta demokrasi. Dahl melihat bahwa sebuah rezim politik dapat dianggap sebagai demokratis jika memiliki karakter antara lain (1) menyelenggarakan pemilihan yang terbuka dan bebas; (2) mengembangkan pola kehidupan politik yang kompetitif; dan, (3) memberi perlindungan terhadap kebebasan masyarakat (civil liberties). Indikator tersebut diatas, secara umum telah cukup ter-akomodir dalam proses pemilihan presiden dan kepala daerah di republik ini. Walaupun (memang) pada faktanya, masih terdapat hal-hal yang kontroversial yang perlu dielaborasi dan diperdebatkan secara komprehensif dalam suatu ruang akademis, agar dikemudian hari dapat ditemukan suatu formulasi system pemilihan pejabat publik yang lebih demokratis.


Prospek dan Hambatan

Pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung, merupakan pengajawantahan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis. Melalui political will dari pemerintah dan sejumlah politisi serta praktisi legislasi di DPR kata “demokratis” pada pasal tersebut kemudian dimaknai dan dimateriel-kan kedalam Pasal 24 ayat (5) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dalam ketentuannya menyebutkan bahwa Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan. Pilkada secara langsung, secara eksplisit telah meletakkan aspirasi publik sebagai kerangka awal dalam pengembangan dan penumbuhan demokrasi, yang lahir dari realitas akar rumput. Realitas suara akar rumput sering kali dianggap sebagai bentuk manifestasi dari aspirasi publik riil, yang dianggap sebagai parameter dari pengembangan dan penumbuhan demokrasi.

Selanjutya setelah melalui dialektika yang panjang, maka pada pertengahan tahun 2005 ini ketangguhan dari ‘proyek politik’ pemerintahan Indonesia Bersatu akan diuji. Berdasarkan catatan Departemen Dalam Negeri (Depdagri), paling tidak ada 224 daerah diseluruh Indonesia yang akan menggelar pemilu domestik (local election), daerah-daerah itu antara lain terdiri atas 11 provinsi, 178 kabupaten, dan 35 kota. Pelaksanaan Pilkada langsung (pilkadal) tersebut akan digelar pada daerah yang masa jabatan kepala daerahnya yang telah dan akan berakhir antara oktober 2004 hingga Maret 2005. Kerentanan akan munculnya konflik-konflik domestik di berbagai daerah dalam menghadapi arus pilkada langsung tersebut, sulit untuk dihindari. Kemungkinan-kemungkinan konflik domestik bisa lahir ketika proses demokrasi akan segera dibangun. Sebagaimana dikemukakan oleh Sorensen, konflik domestik yang terjadi pada berbagai level dan segmen masyarakat, yang bersumber dari kelompok-kelompok masyarakat akan mengakibatkan kemerosotan otoritas kekuasaan, dan pada gilirannya diikuti dengan kekerasan dan anarki, sama sekali tidak kondusif bagi penciptaan ruang dan pengembangan kebudayaan politik demokratis. Bila pada pemilihan Presiden beberapa waktu lalu telah cukup sukses melintasi ujian berdemokrasi, maka pada pemilihan kepala daerah pada tahun 2005 ini penulis beranggapan sebaliknya, bahwa perhelatan akbar politik lokal ini penanganannya lebih berat dan berkecenderungan besar untuk menimbulkan konflik horinzontal masyarakat lokal pada daerah diadakannya pilkada tersebut. Kekhawatiran ini berangkat dari bobot pemilu domestik itu sendiri, jika pada pilpres yang lalu dapat berjalan dengan sedikit kendala dikarenakan kualitas kepentingan pada pilpres tidak bersentuhan secara langsung dengan kepentingan politik pada masyarakat lokal didaerah tersebut. Sementara pada pelaksanaan pemilihan langsung kepala daerah (Pilkada) ini, yang berkompetisi adalah elit-elit politik lokal yang memiliki ikatan emosional yang intim (atau paling tidak merasa intim) dengan para konstituensnya, terlebih jika pada pelaksanaannya nanti isu-isu kesukuan, agama, ras, kelompok serta isu-isu black campaign dimainkan oleh tim sukses pada masing-masing kandidat. Hal lainnya yang perlu diwaspadai adalah, akan adanya mobilisasi massa besar-besaran oleh beberapa kelompok yang berkompetisi, yang jika tidak diantisipasi sejak awal dapat berakhir chaos. Jangankan calon resmi, pihak yang baru menjadi bakal calon, lantas tersisih dalam verifikasi, sangat mungkin sengaja memicu konflik karena kecewa. Maka sangat jelas ini akan menjadi persoalan besar jika tidak disiapkan secara matang, mengingat paling tidak ada 224 daerah propinsi dan kabupaten/kota diseluruh Indonesia yang menggelar pemilihan langsung kepala daerahnya. Karenanya perlu dibuat suatu langlah-langkah yang tepat untuk mereduksi kemungkinan terjadinya konflik tersebut melalui upaya sosialisasi secara intensif kepada kepada masyarakat mengenai serba-serbi pelaksanaan Pilkada langsung nanti. Dan sebaiknya proses sosialisasi secara serius bukan hanya kepada kalangan pejabat, tapi juga langsung ke lembaga-lembaga keagamaan, tokoh-tokoh masyarakat, maupun organisasi kemasyarakatan (ormas), organisasi kepemudaan (OKP), partai politik yang mempunyai basis massa riil di tingkat lokal dan multi-stakeholders lainnya. Pelibatan multi-stakeholders diatas dalam pilkada secara langsung di daerah-daerah merupakan langkah strategis dan penting untuk dilakukan, paling tidak ada dua kepentingan yang dapat ditumbuhkan dari pelibatan tersebut antara lain : (1) kepentingan jangka pendek, yakni mengupayakan kesadaran masyarakat didaerah tersebut agar dapat berpartisipasi dalam perhelatan politik lokal didaerahnya, dengan cara-cara yang elegan dan demokratis. Pertimbangan ini berangkat dari teori-teori sosial yang ada, bahwasannya kultur pada masyarakat tradisional (biasanya) sangat kental akan budaya patromonialisme sehingga sangat besar kemungkinan, himbauan dan pesan-pesan bijak yang disampaikan oleh para ulama/tokoh agama lainnya, tokoh-tokoh masyarakat adat serta stakeholders lainnya dapat diikuti oleh masyarakat didaerah setempat. (2) sementara kepentingan jangka panjangnya adalah dalam rangka pemberdayaan dan peran pendidikan kewarganegaraan (civic education). Untuk itu, pembentukan warga negara yang memiliki kesadaran berdemokrasi, adalah langkah awal dalam menuju lajur demokrasi yang benar. Sebagaimana disampaikan Murray Print, bahwa pembentukan warga negara yang memiliki keadaban demokratis dan demokrasi keadaban paling mungkin dilakukan secara efektif hanya melalui pendidikan kewarganegaraan. Tanpa itu, semua jangan harap, pilkada secara langsung akan tercipta dengan kualitas yang baik. Untuk itu menurut hemat kami, sejak awal harus ada panduan yang jelas bagi massa pemilih lokal, bagaimana harus menjalankan pilkada secara langsung dengan baik. Langkah-langkah sederhana dan murah dalam rangka sosialisasi massif ini adalah dengan memanfaatkan media informasi yang ada, seperti radio lokal, pamphlet, leaplet, dan sarana informasi lainnya. Selain itu pertemuan pada balai desa dan tempat-tempat pertemuan lainnya dalam rangka sosialisasi, kami pikir cukup efektif. Dan tentunya, komponen terpenting adalah keterlibatan secara aktif komunitas akar rumput.

Mohon Untuk Dipertimbangkan !!

Sumatera Selatan sendiri ada 5 kabupaten yang pada saat ini sedang mempersiapkan pelaksanaan Pilkada Langsung ini, yakni OKU, OKU Selatan, OKU Timur, Ogan Ilir dan Musi Rawas. Banyak harapan yang digantungkan dalam proses pelaksanaan pilkada ini, untuk itu hendaknya perhelatan politik lokal ini dapat menghasilkan suatu pemerintahan yang mendapat dukungan dominan dari multi-stakeholders (legitimate), memiliki kemampuan kerja yang baik (capable) dan dapat diterima seluruh dan/atau sebagian besar elemen masyarakat (acceptable). Namun untuk dapat menciptakan hasil Pilkada yang ‘berkualitas’ tersebut paling tidak ada beberapa variable yang harus dipenuhi, sebagai suatu prasyarat antara lain ;

(Pertama) DPRD melalui fraksi-fraksi dan/atau partai politik yang memiliki keterwakilan di DPRD tersebut, harus melakukan upaya penjaringan aspirasi terhadap konstituennya secara fair, atau bisa juga melakukan suatu sistem penjaringan melalui mekanisme partai yakni konvensi kepala/wakil kepala daerah. Proses ini perlu dilakukan (bahkan sebenarnya ‘harus’) untuk mengetahui figur calon seperti apa yang dikehendaki, proses ini adalah merupakan suatu prasyarat awal karena ketentuan normatif-nya bahwa seorang calon Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota dan masing-masing wakilnya) harus mempunyai ’perahu’ yakni adanya partai politik yang merekomendasikannya untuk dapat dijadikan calon pada Pilkada tersebut. Karenanya diharapkan kepada partai politik dan/atau gabungan partai politik yang memiliki kompetensi untuk merekomendasikan pasangan dalam pilkada tersebut, agar lebih mengedepankan kepentingan daerah dari pada kepentingan pribadi dan kelompok an sich;

(Kedua) Masyarakat lokal setempat sebagai ‘komoditas suara’ harus benar-benar selektif dalam menentukan figur pemimpin yang berkualitas dan tepat untuk daerah tersebut, kedepankan objektifitas, hindari pilihan yang hanya berdasarkan pada kepentingan kesukuan, agama, ras, kelompok dan kepentingan pragmatis lainnya (seperti money politic, iming-iming, dsb). Karena pilihan yang hanya didasari kepentingan pragmatis tersebut, pada akhirnya akan menimbulkan penyesalan.

(Ketiga) Para calon kepala/wakil kepala daerah yang berkompetisi hendaknya dapat mengedepankan etika berpolitik yang elegan. Praktik-praktik machiapelist yakni politik kekuasaan yang menghalalkan segala cara, tidak akan pernah membangun suatu perubahan yang konstruktif.

(Keempat) Berlakulah sebagai kesatria; apapun konsekuensi yang ditimbulkan dari hasil pemilihan tersebut (jika telah melalui proses secara benar), karena kemenangan seorang pemimpin dari kelompok manapun ia, jika telah melalui proses yang demokratis maka itu (sebenarnya) adalah kemenangan bersama (masyarakat). Ada beberapa pertimbangan yang dapat dijadikan referensi bagi para massa pemilih dalam menentukan calon Kepala/wakil kepala daerah, selain harus memenuhi persyaratan seperti yang diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, antara lain :

1. Calon Kepala/Wakil kepala daerah, memahami secara utuh menyeluruh kondisi dan potensi daerah dimana ia mencalonkan diri, yakni meliputi aspek geografis, adat-istiadat, karakteristik masyarakatnya, potensi SDM dan SDA-nya, kebutuhan-kebutuhan masyarakat di daerah tersebut, dsb;

2. Memiliki sense of crisis terhadap kompleksitas permasalahan yang ada pada daerah dimana ia mencalonkan/dicalonkan, hal ini dapat ditelaah melalui visi dan misi serta program yang ditawarkan oleh masing-masing calon kepala/wakil kepala daerah;

3. Seorang calon kepala/wakil kepala daerah, paling tidak dari salah satu diantaranya (sebaiknya) adalah orang yang memiliki pengalaman dalam hal organisasi pemerintahan (birokrasi) dan/atau organisasi non-pemerintahan (OKP, Ormas, LSM, Yayasan, Organisasi sosial politik, dsb). Prasyarat ini diperlukan karena jabatan kepala/wakil kepala daerah adalah jabatan yang berhubungan dengan fungsi pelayanan publik, secara prinsif pengalaman organisasi menempa seseorang baik secara teoritis maupun praktis banyak hal tentang bagaimana manajemen organisasi, problem solving dan bagaimana membina dan membangun relations ship;

4. Memiliki karakteristik yang populis, yakni seseorang yang dikenal dekat dan terbiasa bersosialisasi dengan dengan berbagai komunitas masyarakat bukan saja pada saat pencalonannya, namun jauh sebelum itupun mempunyai karakter yang sedemikian;

5. Mempunyai komitmen yang jelas terhadap permasalahan-permasalahan sosial kemasyarakatan, hal ini dapat dilihat dari aktivitas keseharian sebelum yang bersangkutan mencalonkan diri sebagai kandidat kepala/wakil daerah; dan,

6. Memiliki kapasitas personal yang cukup, adapun indikator ini dapat dilihat dari jenjang pendidikan formiel, integritas moral yang baik, prestasi kerja, dan lain sebagainya. Jika mungkin untuk menganalogikan pilkada langsung sebagai produk dagang, sesuatu yang baru (biasanya) akan menimbulkan minat yang besar para konsumen/konstituens untuk mencobanya. Namun kami ingatkan kepada masyarakat pada beberapa daerah yang sedang mempersiapkan pilkada langsung di Sumatera Selatan ini, bahwa pemilihan Kepala Daerah secara Langsung ini bukanlah sesuatu yang bersifat trial and error (mencoba dan salah), karena konsekwensi dari satu hari (pada saat pemilihan tersebut) akan berdampak pada lima tahun pemerintahan kepala/wakil kepala daerah yang berkuasa/terpilih. Untuk itu masyarakat pemilih harus benar-benar bijak menggunakan hak pilihnya, pelajari visi dan misinya, ‘bedah serta kupas tuntas’ siapa dan apa latar belakang para kandidat-kandidat yang berkompetisi tersebut. Dan setelah melalui pertimbangan yang mendalam, maka berikan kepada hanya yang terbaik hak suara anda.

Tulisan ini dibuat sebagai bentuk harapan yang optimistik dari penulis, agar terciptanya pematangan dan kedewasaan berdemokrasi pada bangsa Indonesia !!

(Tulisan ini pernah dimuat/diterbitkan pada harian Sumatera Ekspres group Jawa Pos, pada medio bulan Februari 2005 yang lalu. Beberapa tulisan lainnya dipublikasikan dibeberapa media cetak lokal antara lain di Sriwijaya Post, Palembang Post dan Majalah Kampus “Sriwijaya”.)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun