Film ini diadaptasi dari novel populer oleh Soman Chainani, dan disutradarai oleh Paul Feig, yang terkenal dengan karya-karya komedinya seperti Bridesmaids dan Spy. Perpindahan Feig dari genre komedi ke fantasi memberikan nuansa segar dan menarik pada film ini, meskipun tidak tanpa tantangan.
The School for Good and Evil mengisahkan tentang dua sahabat, Sophie (Sofia Wylie) dan Agatha (Sophia Anne Caruso), yang tiba-tiba terseret ke dalam dunia magis yang memisahkan anak-anak ke dalam dua sekolah satu untuk kebaikan dan satu lagi untuk kejahatan. Sophie yang selalu mengimpikan kehidupan sebagai putri cantik dan penuh pujian, ternyata masuk ke Sekolah untuk Kejahatan, sementara Agatha yang lebih suka kesederhanaan, dikirim ke Sekolah untuk Kebaikan. Ketika ketegangan antara kedua sekolah meningkat, mereka harus menghadapi kenyataan bahwa takdir mereka mungkin tidak seperti yang mereka bayangkan.
Alur cerita film ini cukup menarik, dengan premis yang cukup familiar yaitu sekolah sihir dengan pembagian antara baik dan jahat. Namun, The School for Good and Evil menawarkan lebih dari sekadar klise tersebut. Film ini mengeksplorasi tema-tema yang mendalam seperti identitas diri, harapan, dan persahabatan melalui perjalanan kedua karakter utamanya. Penceritaan awal film cukup memikat, memperkenalkan penonton pada dunia magis yang penuh warna dan kompleks. Namun, beberapa bagian di pertengahan film terasa agak lambat dan bisa membuat penonton merasa jenuh. Meskipun demikian, film ini akhirnya berhasil kembali ke jalur yang benar dengan puncak yang memuaskan.
Kinerja Sofia Wylie dan Sophia Anne Caruso adalah salah satu kekuatan utama film ini. Sofia Wylie, yang memerankan Sophie, membawa karisma dan intensitas yang diperlukan untuk karakter yang ambisius dan penuh harapan. Kemampuannya untuk menampilkan sisi yang kompleks dari Sophie, dari keputusasaannya hingga kebanggaannya, memberikan kedalaman pada perannya. Sebaliknya, Sophia Anne Caruso sebagai Agatha memberikan performa yang penuh emosi. Karakter Agatha adalah yang lebih introspektif dan cenderung berada di luar zona nyaman. Caruso berhasil menunjukkan perjuangan internal Agatha dengan baik, menjadikannya karakter yang dapat dihubungkan dan simpatik.
Salah satu aspek yang menonjol dari The School for Good and Evil adalah desain visual dan efek khususnya. Dunia yang diciptakan dalam film ini benar-benar memikat dengan set yang megah dan detail yang kaya. Desain kostum juga sangat mencolok, dengan pakaian yang memancarkan karakter dan kekuatan dunia magis yang ditampilkan. Namun, meskipun visualnya mengesankan, beberapa efek khusus terasa berlebihan dan kadang-kadang mengalihkan perhatian dari cerita utama. Penggunaan CGI yang intens terkadang membuat beberapa adegan terasa tidak alami, dan meskipun ini memberikan rasa magis, bisa menjadi gangguan bagi sebagian penonton.Â
Skor musik yang diubah oleh Theodore Shapiro memberikan kontribusi yang signifikan terhadap suasana film. Musik latar yang megah dan penuh emosi mendukung narasi dan meningkatkan intensitas momen-momen penting. Meskipun demikian, tidak ada tema musik yang benar-benar menonjol dan mudah diingat, yang bisa menjadi kekurangan bagi mereka yang menghargai skor film yang ikonik.
Kesimpulan dari film The School for Good and Evil adalah film yang menawarkan campuran petualangan fantasi yang menarik dan visual yang memukau. Meskipun tidak bebas dari kekurangan, seperti beberapa bagian alur yang lambat dan efek khusus yang kadang berlebihan, film ini berhasil menyajikan cerita yang menyentuh dengan karakter-karakter yang kuat. Untuk penggemar genre fantasi dan adaptasi buku, film ini adalah pengalaman yang menghibur dan layak untuk ditonton. Dengan penampilan kuat dari para pemerannya dan desain visual yang menawan, The School for Good and Evil menghadirkan sebuah perjalanan magis yang tidak boleh dilewatkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H