Mohon tunggu...
Hauraa Dhiyaaulhaqq
Hauraa Dhiyaaulhaqq Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Psikologi di Bandung

Ambil yang baik dan tinggalkan yang buruk, semoga bermanfaat!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Toxic Positivity: Penyemangat yang Berujung Penekanan

19 April 2021   07:05 Diperbarui: 19 April 2021   07:14 3042
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak bisa dipungkiri, setiap insan yang bernyawa pasti menghadapi masalah setiap harinya. Pada dasarnya semua orang mengharapkan keberhasilan dan kesuksesan dalam hidupnya. Namun jalan hidup tak selamanya lurus, kadang berbelok atau bahkan bertikung tajam. Setelah mengalami kegagalan, seringkali kita mencari orang yang dapat membangkitkan semangat atau hanya ingin sekedar berkeluh kesah menuangkan perasaan di hati. Respon yang kita terimapun beragam, mulai dari sesuai yang kita harapkan atau malah bertolak belakang dengan harapan.

"Kamu harus bersyukur"

"Kamu jangan nangis terus, ujianmu ga seberapa"

"Kamu harus sabar"

"Masih banyak orang yang lebih susah dari kamu"

"Kamu masih mending, aku kemarin lebih parah loh"

“Itu cuman perasaan kamu aja”

“Gitu aja kok ngeluh, kamu harus lebih semangat”

“Kamu jangan mikir kejauhan, itu belum tentu terjadi”

Kata-kata diatas adalah contoh dari sebagian kata-kata yang lumrah dilontarkan kepada seseorang yang telah berkeluh kesah menceritakan tentang keadaan hidupnya. Dengan perkataan diatas, tanpa disadari kita dituntut untuk selalu menganggap bahwa "semua baik-baik saja", tidak ada yang harus ditakutkan, dan tidak ada yang harus ditangisi. Kita dituntut untuk selalu bahagia pada semua keadaan, tidak peduli dengan apa yang sebenarnya terjadi. Namun jika semuanya harus terlihat baik-baik saja, bagaimana dengan perasaan sedih, marah, kecewa, dan perasaan-perasaan lain yang kita rasakan?

Sedih, marah, senang, bahagia, dan takut merupakan sebagian contoh dari emosi manusia. Emosi adalah suatu reaksi tubuh menghadapi situasi tertentu. Setiap orang memiliki emosi dan dapat merasakan emosinya karena dalam otak manusia terdapat sistem limbik.  Sistem limbik sering dijuluki otak emosional karena terdiri dari hipotalamus, amigdala, talamus, girus cingulatus, hipokampus. Jika setiap manusia memiliki macam-macam emosi, lalu mengapa manusia dituntut harus selalu bahagia?

Emosi akan menjadi sangat bermanfaat bagi kehidupan individu terutama dalam hal bersosialisasi, asalkan ia dapat menyalurkan emosinya dengan baik dan benar. Dewi (2005) mengatakan bahwa kecenderungan individu memendam emosi (terutama emosi negatif) lalu melupakannya atau mengekspresikan namun dengan cara-cara yang tidak harmoni akan memunculkan sifat pasivity, depresi berkepanjangan, dan reaksi menarik diri dari lingkungan. Tentu saja hal ini akan mengahambat perkembangan hidup individu itu sendiri.

Seringkali saat sedang memberikan nasehat kepada seseorang, kita malah melarang orang tersebut untuk menangis dan berhenti berkeluh kesah. Secara tidak langsung, kita memerintahkan orang itu untuk memendam emosi yang ia rasakan. Lalu, bagaimana cara yang benar untuk memberi nasehat yang baik atau kata-kata penyemangat agar tidak berujung pada penekanan?

  • Kenali dan hargai apa yang dirasakan seseorang. Dengarkan apa yang ia bicarakan, tunjukan padanya bahwa kita peduli. Biarkan ia menangis atau marah, biarkan ia meluapkan emosinya.
  • Pahami jika setiap orang tidak memiliki "kekuatan" yang sama. Jalan kehidupan setiap orang pasti berbeda, begitupula dengan pengalaman yang telah didapatkan. Menurut kita mudah, bisa saja menurut orang lain sulit. Begitupun sebaliknya.
  • Jangan membanding-bandingkan kesulitan orang lain. Dalam menjalani kehidupan, pasti menemui banyak cobaan. Si kaya atau si miskin, ia yang menang atau ia yang kalah, tua ataupun muda, ia yang sukses atau ia yang masih berjuang pasti menghadapi rintangannya sendiri.
  • Listen more. Banyak orang yang hanya ingin dirangkul saat ia mendapat musibah. Ia hanya butuh "senderan" untuk bisa bangkit dan kembali berjuang. Coba dengarkan saja apa yang ia katakan dan berusaha untuk mendengarkan keluh kesahnya.
  • Berikan saran yang membangun dan tidak menyinggung perasaannya. Saat ia mulai tenang, dan bertanya tentang hal apa yang bisa ia lakukan, maka berikan saran yang dapat membangunkan semangatnya kembali dan tidak membuatnya semakin terpuruk.

Sebagai makhluk sosial, manusia saling membutuhkan satu sama lain. Saat kita merasa gagal, kita membutuhkan api semangat yang bisa kita dapatkan dari orang yang kita percaya untuk membantu kembali mengobarkan api agar dapat kembali berjuang. Dengan kepercayaaan itu, mari kita saling buktikan bahwa kita dapat menjadi penyemangat hidup bagi orang yang telah mempercayai kita sebagai tempat berkeluh kesah dan jangan sampai perkataan kita menjadi toxic positivity bagi oranglain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun