Pada waktu senjakala, matahari mulai terbenam. Setiap insan mulai menyiapkan pelita di tempatnya.
Aku bersimpuh pada permadani merah, luruh jatuh dengan hati dan jiwa yang hancur.
Lentera-lentera malam disulut silih berganti, temaram yang dipantulkan seakan menyibak kenangan yang sudah di simpan rapih-rapih.
"Betapa bodohnya diriku" lirihku diantara riuhnya hujan. Gemericik air yang menghambur bentala kini tak terasa menenangkan,
"Hatiku jatuh pada muslihat, menghamba pada belas kasih palsu yang mengandung kata tunduk"
"Tanpa kebencian berdasar, aku menolak cinta kasih suamiku sendiri" ucapku, penuh penyesalan.
Tangan lentikku perlahan mengusap buliran air mata, sembari mengelus foto lelaki-ku yang pernah menjadi pendamping hidupku.
Kini, ia sudah diambil Tuhan.
"Kepada baginda Maharaja-ku yang memberikan cinta tulus, aku bersimpuh meminta segala maaf.
Aku menolak kasih tulus baginda, demi mengejar cinta yang tak sebenar" ucapku, dengan nada gemetar yang berisi keputus-asaan yang mendalam.
"Mengapa diriku tak kunjung menemukan kebenaran hari itu?" gumamku, meratapi ketidak-tahuan yang tajamnya meyayat hati,