"Kau benci hujan?" tanyanya,
"Ya"
"Kenapa? Bagaimana bisa seseorang tidak menyukai hujan?" jawabnya terkikik lepas, sembari menari di bawah rintik hujan yang perlahan membasahi.
Aku termenung, di pojok halte berpegangkan gagang payung kucing miliknya. Netra cokelatku menerawang, berusaha menangkap sosok malaikat kecil manis bersurai merah jambu bertelanjang kaki yang riuh bermain di bawah dekapan sang hujan.
"Kenapa tidak suka?" tanyanya kembali,
"Tidakkah kau dapat menikmati simponi rintik hujan yang melodis ketika mereka menyambut tanah?" sambungnya, entah dari mana gadis sekecil itu dapat membuat kalimat sastra semacam itu.
"Diamlah, bocah. Simponi ini telah menjadi keramat" jawabku, blak-blakan. Gadis kecil itu terdiam, terpaku diatas tanah yang perlahan berubah menjadi lumpur,
"Ya, simponi ini tak lagi melodis. Rinai hujan yang perlahan jatuh membasahi perkarangan, nyanyiannya dalam deruan angin sejuk yang mencekam tulang, serta aroma kaki-kaki hujan yang disambut oleh tanah..."
Tangan kananku menegadah, menangkap buliran hujan yang perlahan jatuh dari kawat payung. Kupejamkan mataku, membiarkan gadis itu terperangkap dalam kebingungan atas kalimatku yang menggantung.
Pikiranku sibuk mengulas kembali memori masa lalu, mencoba mencocokkan melodi rinai hujan yang sama persis seperti hari itu. Sebuah hari, ketika aku mulai membenci musim penyambut kemarau.
Di hari itu, dimana amarah sang hujan menghantamku. Pekiknya yang membelah awan menewaskan adikku dengan sambaran petirnya, membiarkanku bergetar dalam ketakutan. Air hujan jernih yang menggenang tercampur dengan tetesan darah segar, dengan refleksi wajah adik manisku yang tersenyum disaat cairan merah gelap membasahi wajah dan jiwanya.