Mohon tunggu...
Haura Awalin
Haura Awalin Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

MAHASISWA AKTIF SEMESTER 1 UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Santri Bagi Negeri Ini

30 November 2022   05:29 Diperbarui: 30 November 2022   05:37 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Santri merupakan sebutan untuk siswa-siswi yang sedang menempuh pendidikan di Pesantren. Sebelum tahun 1960-an, pusat-pusat pendidikan pesantren di Indonesia lebih dikenal dengan nama pondok. Istilah pondok barangkali berasal dari pengertian as-rama-asrama para santri atau tempat tinggal yang dibuat dari bamboo, atau barangkali berasal dari kata Arab, funduq, yang artinya hotel atau asrama. 

Seiring perkembangan ilmu pengeta-huan dan teknologi, muncul beberapa pesantren yang mengembangkan dirinya untuk menghadapi perkembangan zaman. Dalam pertarungan tradisi era modernisme, ba-nyak pesantren yang masih tetap memper-tahankan tradisi utamanya sebagai pesan-tren tradisional, di sisi lain muncul beberapa pesantren yang mengembangkan dirinya menjadi pesantren modern agar dapat bersa-ing dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana yang berkem-bang di lembaga pendidikan model sekolah.

Pesantren sebagai salah satu bentuk pen-didikan Islam tradisional karena pesantren sebagai lembaga pendidikan yang menjun-jung tinggi dan melestarikan tradisi, budaya, tatanan kehidupan islami dalam proses pen-didikan kepada santrinya. Sehingga, pesan-tren memiliki pola pendidikan yang berbeda dengan sekolah maupun madrasah. 

Beberapa pola kehidupan yang terjalin di pesantren tradional meliputi: adanya hubungan yang akrab antara santri dan kyai, tradisi ketundukan dan kepatuhan, seorang santri terhadap kyai, pola hidup sederhana (zuhud), kemandirian atau independensi, berkembangnya iklim dan tradisi tolong-menolong, suasana persaudaraan, berani menderita untuk mencapai tujuan, kehidupan dengan tingkat religiusitas yang tinggi.

Pola pendidikan di pesantren ini sangat khas dan menjadi pembeda dengan lembaga pendidikan yang lain. Pola ini lebih menggambarkan bagaimana tradisi di lingkungan pesantren yang menekankan pada etika santri dalam belajar di pesantren. Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, ada sebagian tradisi pesantren di atas yang sudah ditinggalkan oleh santri, misalnya: pola hidup sederhana. 

Hal ini dapat dibuktikan banyaknya kasus hidup mewah santri, khususnya para santri yang tinggal di pesantren modern. Ada sebagian pesantren modern yang memberikan fasilitas tempat tidur yang berbeda dengan santri yang lain, misalnya: ada yang 1 kamar dipakai 4 orang, ada juga 1 kamar digunakan 20 orang dengan fasilitas yang berbeda, dan hal ini tidak terdapat di pesantren tradisional.

Sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam tradisional, pesantren mempunyai empat ciri khusus yang menon-jol. Mulai dari hanya memberikan pelajaran agama versi kitab-kitab Islam klasik berba-hasa Arab, mempunyai teknik pengajaran yang unik yang biasa dikenal dengan me-tode sorogan dan bandongan atau wetonan, mengedepankan hafalan, serta mengguna-kan sistem halaqah. Sampai sekarang, model pembelajaran ini masih tetap bertahan, khususnya di pesantren-pesantren tradisional, hal tersebut sebagai ciri khas bentuk pesantren yang masih mempertahankan tradisi-tradisi.

Berbagai metode pembelajaran di pesantren seperti sorogan, bandongan atau wetonan perlu direkonstruksi dengan cara mengembangkan budaya kritis bagi santri dalam proses belajar mengajar. 

Budaya kri-tis ini penting untuk membudayakan santri bersikap kritis tapi santun dalam menyam-paikan pendapatnya, sehingga santri bukan hanya menerima apa adanya apa yang di-sampaikan oleh kyai-nya. 

Budaya kritis juga akan melatih santri untuk lebih progresif da-lam mengembangkan ilmu pengetahuan, se-hingga tidak terjadi kejumudan dalam ber-pikir, dan santri juga dapat menjadi problem solver bagi persolan masyarakat modern.

Ditinjau berdasarkan tradisi, pesantren dibagi menjadi tiga yaitu Salafi, Khalafi, dan pesantren Modern. Pesantren-pesantren ini memiliki corak tradisi yang berbeda-beda yang dapat dijelaskan sebagai berikut, yang pertama yaitu pesantren Salafi. Secara etimologis kata "salaf" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti sesuatu atau orang yang terdahulu, ulama-ulama terdahulu yang saleh. 

Pertama, pesantren Salafi dimaknai sebagai pesantren tradisional yang tetap mempertahankan kitab-kitab klasik serta mengapresiasi budaya setempat. Kedua, pesantren Salafi dimaknai sebagai pesantren yang secara konsisten mengikuti ajaran ulama generasi sa-habat, tabi'in, tabi'at tabi'in yang memiliki kecenderungan pada penafsiran teks secara normatif dan tidak/kurang mengapresiasi bu-daya setempat, karena semua budaya harus sesuai dengan zaman para Salafush-Sholih, yaitu sahabat, tabi'in, tabi'at tabi'in.

Yang kedua yaitu Pesantren Khalafi. Pesantren ini tampaknya mene-rima hal-hal yang baru yang dinilai baik di samping tetap memelihara tradisi lama yang baik. Pesantren sejenis ini memberikan mata pelajaran umum di madrasah dengan sistem klasikal dan membuka sekolah-sekolah umum di lingkungan pesantren. Walau demikian, pengajaran kitab-kitab Islam klasik masih tetap dipertahankan. 

Pesantren Tebu Ireng, Tambak Beras dan Rejoso di Jombang Jawa Timur selain menyelenggarakan pendidikan madrasah, juga membuka sekolah-sekolah menengah umum seperti SMTP dan SMTA. Mereka juga memberikan pengajaran. esantren Khalafi merupakan model pesantren yang mencoba mengikuti perkembangan zaman dengan tetap mempertahankan tradisinya, yaitu mengkaji kitab-kitab klasik. 

Upaya pesan-tren Khalafi agar dapat berkembang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah diajarkannya ilmu-ilmu umum di lingkungan pesantren, yang biasanya pesantren ini membuka lembaga pendidikan model madrasah maupun seko-lah untuk mengajarkan pelajaran umum. 

Biasanya, santri tetap tinggal di pesantren untuk mengikuti kajian kitab-kitab klasik di sore, malam, dan pagi setelah Shubuh, setelah itu mereka mengikuti pelajaran umum di madrasah maupun sekolah.

Selanjutnya Pesantren Modern dimana tradisi Salaf sudah ditinggalkan sama sekali. Pengajaran kitab-kitab Islam klasik tidak diselenggarakan. Sekalipun bahasa Arab diajarkan, namun penguasaanya tidak diarahkan untuk memahami bahasa Arab terdapat dalam kitab-kitab klasik. 

Penguasaan bahasa Arab dan Inggris cenderung ditujukan untuk kepentingan-kepentingan praktis. Pesantren Gontor Ponorogo walaupun sangat menekankan pengetahuan bahasa Arab dan Inggris, sudah cukup lama meninggalkan pengajaran kitab-kitab Islam klasik. 

Pesantren-pesantren yang bercorak kekotaan seperti pesantren As-Syafi'iyah di Jakarta, Pesantren Prof. Dr. Hamka di Padang, pesantren Zaitun di Indramayu yang bercorak kampus modern dan diwarnai dengan corak khas Islam. Para siswa dan mahasiswa di berbagai jurusan ilmu dapat berdiskusi dalam lingkungan pesantren yang tidak lagi mengutamakan pengajian kitab-kitab kuning.

Referensi

Arifin, Z., 2012. Perkembangan pesantren di Indonesia. Jurnal Pendidikan Agama Islam, 9(1), pp.40-53.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun