Mohon tunggu...
Hatta Syamsuddin
Hatta Syamsuddin Mohon Tunggu... lainnya -

jalan-jalan berbagi inspirasi, penikmat sejarah & kuliner, guru ngaji dan jualan roti di pesisir bengawan solo \r\n\r\nwww. indonesiaoptimis.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Geliat Dakwah TKI di Korea, Masjid 9 Milyar Ditebus Bersama

31 Oktober 2016   11:53 Diperbarui: 21 Juli 2017   07:43 1732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak dipungkiri lagi bahwa sebagian generasi muda kita terjangkiti hallyu (gelombang budaya Korea), baik melalui drama Korea yang romantisnya (katanya) mengalahkan film India jadul, maupun lagu-lagu K-Pop nya yang banyak ditiru model dan gerakannya. Artis-artis korea berwajah putih bak kapur barus pun menjadi terkenal di negeri ini, diidolakan dan menari-nari dalam benak sebagian anak muda kita.

Tapi bagi sebagian anak muda yang lain, Korea bukanlah gambaran tentang negeri penuh idola dan tempat bersenang-senang. Korea adalah negeri harapan sebagai tempat bekerja, mengumpulkan dana untuk nafkah keluarga di tanah air, sekaligus modal untuk berdagang di masa mendatang. Terbatasnya pekerjaan di Tanah Air ditambah tingkat gaji yang rendah, menjadikan salah satu dari sekian alasan setiap tahun gelombang pemuda Indonesia berbondong-bondong mendaftar mengikuti ujian ke Korea.

Tercatat kisaran 24.000-an lebih pelamar tiap tahunnya mengikuti ujian EPS-TOPIK (Employment Permit System - Test of Proficency in Korea), demi memperebutkan 7000-9000 kuota pekerjaan yang disediakan. Maka ketika kemudian mereka lulus ujian dan benar-benar berhasil berangkat ke Korea, selintas gurat kebahagiaan telah berhasil ditorehkan.

Tapi kebahagiaan bukan hanya soal bisa bekerja di Korea dan mengumpulkan pundi-pundi won untuk keluarga. Sebagai seorang muslim, para Buruh Migran Indonesia (BMI) yang bekerja di Korea juga mengalami aneka ragam permasalahan tinggal di daerah minoritas muslim. Di Negeri Ginseng ini jumlah muslimin sangat sedikit, bahkan tidak sampai 1% dari sekitar 50 juta penduduknya. Tercatat pada sensus tahun 2005, populasi muslim di Korsel sejumlah 145.000-160.000, di mana 100.000 di antaranya adalah pendatang, alias bukan penduduk Asli korea. Jumlah BMI di Korea sendiri mencapai kisaran 35.000-an, di mana sebagian besarnya tentu adalah muslim.

Hambatan yang dihadapi sebagai minoritas tentu sangat beragam, di antara adalah ketersediaan tempat ibadah yang terbatas dan jauh jaraknya, permasalahan izin sholat Jumat saat bekerja, ketersediaan makanan halal khususnya daging, dan belum lagi soal pandangan yang mengaitkan Islam dengan terorisme. Pandangan warga Korea terhadap Islam pernah kian buruk pasca krisis sandera tahun 2007, ketika Taliban menangkap 23 warga Korea yang mengunjungi Afghanistan dan membunuh dua di antaranya karena ditengarai sebagai misionaris. Hal semacam itu tentu menjadikan trauma tersendiri bagi warga Korea, dan juga kaum muslimin yang di Korea, tak terkecuali pekerja Indonesia yang tinggal di sana.

Karena itulah, untuk mengatasi berbagai hambatan tersebut juga untuk menguatkan semangat ibadah dan keislaman di Negeri Ginseng, banyak dibentuk komunitas keislaman di tengah para BMI yang tersebar di seluruh Korea Selatan, yang awalnya berawal dari majlis taklim atau pengajian, lama kelamaan bisa menyewa bahkan membangun masjid untuk pusat kegiatan keislaman sekaligus tempat berkumpul bersama saudara seiman dan setanah air.

Ada juga organisasi besar yang didirikan untuk menaungi sekaligus bekerjasama dengan komunitas-komunitas tersebut, sebut saja ada KMI (Komunitas Muslim Indonesia), juga khusus untuk mahasiswa didirikan juga IMUSKA (Indonesian Muslim Students Society in Korea). Selain itu ada juga perwakilan cabang organisasi keislaman di tanah air seperti PCI (Pengurus Cabang Istimewa) Nadhatul Ulama, dan bahkan pada Oktober 2016 ini juga diresmikan PCIM (Pengurus Cabang Istimewa Muhammadiyah) Korsel langsung oleh Dr. Haidar Nasir, pimpinan Muhammadiyah Pusat. Syiar keislaman dan dakwah di tengah komunitas muslim Indonesia di Korsel juga semakin semarak dengan adanya perwakilan lembaga zakat nasional, seperti PKPU, Dhompet Dhuafa dan Lazis NU.

Baik komunitas muslim di tiap kota, ataupun organisasi-organisasi besar lainnya, seringkali bersinergi gotong royong menyelenggarakan kegiatan besar tahunan seperti Tabligh Akbar, yang mengundang pembicara-pembicara ternama dari tanah air, seperti: Aa Gym, Yusuf Mansur, dan juga KH. Mustofa Bisri (Gus Mus). Mendengarkan siramahan ruhiyah sekaligus berkumpul dengan banyak saudara seiman dan seperjuangan di Korea, tentu menjadi momentum yang sangat dirindukan. 

Gagasan Membangun Masjid di Korea
Di kalangan masyarakat Indonesia luar negeri ada semacam anekdot yang agak menyindir tapi sebenarnya adalah kenyataan di banyak tempat. Diceritakan jika dua orang Indonesia bertemu di luar negeri, mereka akan saling bertanya, "Di manakah masjid di kota ini?" Sementara jika ada dua orang Arab atau Pakistan yang saling bertemu di luar negeri, mereka akan saling bertanya, “Di mana kita bisa bangun masjid di kota ini ?" Kenyataan demikianlah yang penulis rasakan ketika menjalankan tugas safari dakwah PKPU di beberapa negara sebelum ini, khususnya negeri yang banyak pekerja Indonesianya seperti Taiwan dan Jepang.

Namun anekdot di atas ternyata tidak berlaku bagi kaum muslimin Indonesia di Negeri Ginseng ini. Komunitas muslimin Indonesia di tiap daerah atau kota di Korea bukan hanya berkumpul-kumpul saja, tetapi senantiasa fokus untuk menyewa atau membangun masjid sebagai tempat ibadah sekaligus pusat kegiatan dan silaturahmi. Anas Nasihuddin, Sekjen KMI yang juga mahasiswa S2 Korea Maritim & Ocean University mengonfirmasi, bahwa saat ini ada 47 masjid atau musholla yang dikelola oleh para buruh migran Indonesia di Korea, baik itu masih menyewa atau bahkan yang membeli sendiri. Untuk menyewa atau membangun masjid dan musholla tersebut, tentu mereka harus menyisihkan sebagian dari gaji yang di dapat secara rutin.

Adalah Masjid Sayyidina Bilal di daerah Changwon di mana saat ini penulis berkesempatan diundang berdakwah oleh pihak KMC (Kyeongnam Muslim Community) bekerja sama dengan PKPU Korsel, tercatat menjadi masjid pertama yang dibangun komunitas muslim Indonesia di Korea. Tidak tanggung-tanggung, harga yang dikeluarkan untuk ‘menebus’ kerinduan memiliki masjid sendiri yang nyaman senilai hampir 9 miliar rupiah, dengan perincian 5,6 miliar rupiah untuk membeli bangunan dan tanah, serta sekitar 3 miliar rupiah untuk renovasi bangunan agar layak dan berfungsi optimal sebagai sebuah masjid. Suatu besaran nilai yang tentu sangat 'besar'di dapat dari sumbangan bersama TKI muslim di Korea yang bersemangat untuk menghidupkan dakwah di Negeri Ginseng ini. Bahkan masjid yang terdiri dari tiga lantai ini diresmikan langsung oleh Dubes RI untuk Korsel pada 2 Februari 2011 yang lalu.

Sebelum membeli masjid ini, sejak tahun 2002 komunitas muslim di Changwon bertahun-tahun menyewa sebuah bangunan untuk tempat ibadah harian dan sholat Jumat, hanya saja suasana kurang kondusif karena ada penolakan dari tetangga kanan kiri yang merasa terganggu. Lebih jauh tentang sejarah masjid Sayyidina Bilal Changwon ini cukup unik. Menurut penuturan Effendi, Amir Kyeongnam Muslim Community (KMC) Masjid Bilal, kisah masjid ini berawal dari sekumpulan pekerja yang sudah merasa jenuh dengan aktivitas kumpul-kumpul selama ini yang kurang manfaat.

Mereka setiap libur akhir pekan hanya berkumpul menghabiskan waktu, bahkan kadang dihiasi minuman keras. Hingga akhirnya datang hidayah Allah, mereka meninggalkan kebiasaan buruk tersebut bahkan kemudian bersepakat untuk membuat pengajian bersama, hingga akhirnya mampu menyewa bangunan untuk dijadikan musholla.

Saat ini, masjid Sayyidina Bilal Changwon telah mewarnai hari-hari para pekerja muslim di kota ini, bukan hanya dari Indonesia saja, tetapi juga dari Pakistan, Uzbekistan, Bangladesh turut meramaikan khususnya saat sholat Jumat. Serangkaian kegiatan rutin dijalankan, dari mulai kajian harian setelah sholat wajib yang meliputi: Tahsin dan Tadabbur One Day One Ayat bakda shubuh, pembacaan Kitab Fadhoilul Amal bakda dhuhur, Kajian Siroh Sahabat bakdha Ashar, dan Kajian Kitab Riyadhus Sholihin bakda Isya, hingga bentuk kegiatan pekanan seperti pembacaan Yasin dan Khataman Quran, serta juga kegiatan pengajian Akbar Bulanan dan pengajian khusus muslimah.

Untuk memastikan kegiatan keislaman berjalan dengan baik, Masjid Sayyidina Bilal secara rutin mengundang para ustadz dari Indonesia untuk menjadi Imam dan pengampu kajian rutinnya secara bergantian setiap tiga bulan sekali. Banyak syiar kegiatan dan taklim memang menjadikan suasana masjid seolah bagaikan sebuah pesantren tempat dimana para TKI menjadi santri. Bahkan untuk acara makan-makan setiap haripun mereka terbiasa secara berjamaah menggunakan nampan sebagaimana biasa kita lihat di pesantren. Mas Waluyo, salah seorang TKI asal Cilacap dengan penuh pendalaman mengakui, bahwa justru di Korsel inilah melalui masjid Bilal dia lebih mengenal dan menjalankan Islam, serta belajar ilmu-ilmu agama daripada saat dahulu di Korea.

Masjid Sayyidina Bilal di Changwon tidak hanya fokus pada pengelolaan tempat ibadah, namun mereka juga memiliki 'kage' atau semacam koperasi dengan usaha berbentuk toko yang menjual segala macam keperluan para pekerja, baik makanan ringan, daging, mie instan, bahkan juga obat-obatan khas Indonesia seperti tolak angin dan minyak kayu putih, misalnya.

Tidak tanggung-tanggung, dalam berbisnis ini pun mereka bekerja sama dengan pihak importir asli Korea untuk mendatangkan makanan-makanan khas Indonesia. Kebutuhan akan daging halal juga menjadi salah satu faktor awal pendirian koperasi ini. Dengan pengelolaan yang baik, Mas Martono TKI asal Jogja yang juga dipercaya menjadi pengelola toko ini menyebutkan, bahwa modal awal koperasi yang sekitar 2 juta won (sekitar 20 juta rupiah), saat ini sudah menembus angka 60 juta (sekitar 60 juta rupiah lebih).

Di luar semua perkembangan dan kemajuan dakwah yang ada, untuk saat ini, pihak KMC Masjid Bilal Changwon masih memikirkan hambatan perizinan resmi untuk masjid, karena izin yang ada baru sebatas 'rumah imam' dan tidak bisa ditingkatkan menjadi tempat ibadah resmi karena lokasi yang tidak memungkinkan. 

Pemerintah daerah Changwon sudah menawarkan sebidang lahan seluas sekitar 1000 meter persegi untuk lokasi rumah ibadah resmi, tetapi dana yang dibutuhkan untuk menebusnya masih sangat jauh dari jangkauan, belum lagi untuk keperluan membangun masjid kembali yang lebih besar. 

Meskipun masih ada hambatan terbentang di hadapan, tetapi selama masjid masih menjadi tempat rujukan para TKI Korea untuk beribadah dan berkumpul, insya Allah akan ada solusi sedikit demi sedikit. Kita harapkan masjid-masjid lainnya di Korea yang dikelola TKI Korea, juga mampu terus maju dan berkembang, saling mendukung satu sama lain, agar dakwah Islam di Korea terus semarak nan begitu indah memikat hati, seperti indahnya bunga sakura di Jinhae, Changwon saat musim semi tiba.

Hwaiting Chingu!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun