Mungkin diantara kita tidak banyak yang tahu bahwa bulan September adalah Bulan Gemar Membaca, dan tanggal 14 September adalah hari kunjung perpustakaan. Pencanangan sekaligus gerakan ini dimulai ternyata sejak tahun 1995 oleh Presiden Soeharto. Tujuannya tentu seputar meningkatkan minat baca masyarakat Indonesia yang tergolong masih rendah.
Pertanyaan berikutnya adalah, apakah di tahun 2016 ini atau sekitar 21 tahun setelah berjalannya gerakan tersebut, minat baca masyarakat Indonesia bertambah tinggi ? . Sayangnya data yang ada tidak demikian, justru menunjukkan hal yang memprihatinkan.
Penelitian yang diadakan oleh Central Connectitut State University pada tahun 2016 ini menempatkan peringkat minat baca masyarakat Indonesia dalam World’s Most Literate Nations berada di urutan 60 dari 61 negara. Data lain didapat lebih awal, yaitu pada tahun 2012, dimana tingkat membaca penduduk Indonesia yang dilansir oleh UNESCO hanya pada angka 0,001. Angka itu menunjukkan bahwa, dari 1.000 penduduk, hanya ada 1 orang yang mempunyai minat baca dengan baik dan serius.
Data di atas terkait rendahnya minat baca bangsa kita tentu sangat memprihatinkan, setidaknya dilihat dari dua sisi. Pertama, karena bangsa ini mempunyai banyak inspirasi tentang sosok-sosok pembaca bahkan penggila buku sejati, bahkan diantara mereka adalah para pahlawan utama dan pemimpin negeri ini. Sebut saja para dua dari para founding fathers bangsa ini, bung Karno dan bung Hatta, teramat sangat dikenal sebagai pemimpin-pemimpin yang gila buku.
Bung Karno sejak kecil gemar membaca, ia mengenang hal tersebut dalam autobiografinya dengan menyebutkan : “ Seluruh waktuku kugunakan untuk membaca, sementara yang lain bermain-main, aku belajar.
Aku mengejar ilmu pengetahuan di samping pelajaran sekolah”. Kebiasan tersebut terus dijalani sepanjang hidup dan perjuangan sang proklamator, bahkan saat pengasingan di Bengkulu tercatat koleksi bung Karno mencapai 1000 judul buku. Hingga saat ini kita masih bisa bernostalgia melihat buku-buku yang pernah di baca Bung Karno, baik di perpustakaan nasional maupun berjajar rapi di Istana Jokowi.
Kita tidak lupa bagaimana kutu bukunya Bung Hatta sampai disebutkan bahwa istri pertamanya adalah buku, baru berikutnya wanita. Ketika pulang dari perkuliahan di Belanja ia membawa 13 peti penuh berisi buku, sehingga petugas pelabuhan Tanjung Priuk sampai menghabiskan waktu tiga hari untuk memeriksa satu persatu. Begitu berharganya arti sebuah buku bagi bung Hatta, saat akan pulang dari pengasingan di Banda Neira, beliau memperjuangkan satu peti bukunya untuk ikut dibawa bersama pesawat kecil yang menjemputnya.
Kita juga tidak lupa bagaimana sosok ulama sekaligus pahlawan kita, Buya Hamka, beliau menghabiskan waktu dalam sehari 5-6 jam khusus untuk membaca, termasuk membaca Al Quran. Karena kegemarannya tersebut, ketua MUI pertama ini dikenal sebagai seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat
Hamka juga sangat produktif menulis, beliau telah menghasilkan karya, baik novel maupun tulisan keagamaan sebanyak 79 judul, bahkan diantaranya adalah karya monumental beliau Tafsir Al Azhar 30 juz yang beliau selesaikan saat dalam penjara masa Soekarno.
Bukan hanya dari kalangan pahlawan, bangsa ini juga mempunyai banyak inspirasi dari para pemimpin atau presiden yang gemar buku. Sebut saja BJ. Habibie dan SBY yang sangat dikenal hoby membaca buku, hingga kini masing-masing telah membuat perpustakaan dengan koleksi buku yang sangat banyak.
Perpustakaan milik SBY tercatat memiliki sebanyak 13.500 judul buku. Begitu pula dengan Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid, yang memang sejak kecil tumbuh berkembang dari keluarga pecinta ilmu, maka ia begitu gemar melahap buku-buku tebal jauh melampaui usianya. Saat kuliah di Kairo dan Bagdad pun ia banyak menghabiskan waktu untuk membaca anek ragam buku di banyak perpustakaan.
Walhasil, dengan banyaknya inspirasi gemar membaca dari para pahlawan dan pemimpin negeri ini, semestinya bisa meningkatkan minat baca masyarakat kita. Namun kenyataan yang ada sayangnya tidak demikian.
Kemudian sebab Keduamengapa rendahnya minat baca masyarakat Indonesia adalah hal yang sangat memprihatinkan, tidak lain karena bangsa Indonesia masyarakatnya mayoritas adalah muslim. Sementara ajaran Islam sangat menekankan bagi umatnya untuk membaca dan meningkatkan pengetahuan.
Teramat banyak dalil baik Alquran maupun As-Sunnah yang mengisyaratkan tentang pentingnya ilmu dan menuntut ilmu. Bukankah wahyu yang pertama kali diturunkan kepada Rasulullah SAW juga perintah membaca ?. Sehingga semestinya seorang muslim menjadi yang terdepan dalam menjalani budaya membaca dan belajar.
Imam Syafi dalam kitab syairnya sangat banyak memotivasi terkait semangat belajar dan meningkatkan ilmu. Dia menuliskan : Siapa orang yang tak pernah merasakan sulitnya belajar; dia akan terus merasakan hinanya kebodohan sepanjang hidupnya. Terkait soal buku, pepatah Arab juga memberikan motifasi dengan mengatakan khoirul jalis fiz zaman, al kitab, sebaik-baik teman duduk setiap waktu adalah buku. Motivasi lainnya bisa kita dapat dari Dr. Aidh Al-Qarni dalam buku best sellernya La Tahzan. Ia mengutip perkataan Abu Ubaidah, ia berkata , “ Al Muhallab memberikan nasihat kepada anaknya sebagai berikut. “ Wahai anakku, janganlah engkau berlama-lama di pasar kecuali engkau mengunjungi pembuat baju perang atau penjual buku “
Ajaran Islam yang mulia dalam mencintai dan ilmu sangat dipahami para ulama dan diaplikasikan dengan baik dalam kehidupannya sehari-hari. Dalam kitab kitab alMusyawwaq ilal Qiro-ah wa tholabil ‘ilm karya Ali bin Muhammad al-‘Imran, disebutkan beberapa kisah kecintaan para ulama kita dan buku.
Majduddin Ibn Taimiyyah (Kakek Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah) misalnya, karena semangatnya dalam belajar, jika akan masuk kamar mandi berkata kepada orang yang ada di sekitarnya: “Bacalah kitab ini dengan suara keras agar aku bisa mendengarnya di kamar mandi”. Tentu kitab yang dimaksud adalah jenis kitab yang bisa dibahas dan dicerna saat seseorang di kamar mandi, bukan bahasan tentang Al-Quran dan Hadist. bahkan Ulama lain Al-Hasan alLu’lu-I, selama 40 tahun tidaklah tidur kecuali kitab berada di atas dadanya.
Diantara para ulama tersebut ada juga yang menghabiskan begitu banyak anggaran untuk memperoleh buku kegemaran. Diriwayatakan bahwa Al-Hafidz Abul ‘Alaa a-Hamadzaaniy sampai menjual rumahnya seharga 60 dinar untuk membeli kitab-kitab Ibnul Jawaaliiqy. Nilai 60 dinar jika dikonversikan dengan kurs emas hari ini berarti setara dengan sekitar 120 juta rupiah lebih. Dan banyak lagi kisah motifativ semacam ini terserak seputar ulama-ulama terdahulu.
Kembali tentang minat baca yang rendah di negeri ini, sungguh banyak alasan yang bisa kita hadirkan untuk sekedar memakluminya. Namun ujung dari semua itu adalah motivasi diri yang lemah. Karena itu mari kita mulai dari kita sendiri dan keluarga, untuk lebih mencintai buku, membaca dan mempelajarinya. Kita juga harus tularkan budaya membaca secara khusus pada anak-anak kita, karena bangsa ini masih sangat membutuhkan pemimpin-pemimpin yang berkualitas seperti Bung Karno, bung Hatta dan Buya Hamka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H