Mohon tunggu...
Hatta Syamsuddin
Hatta Syamsuddin Mohon Tunggu... lainnya -

jalan-jalan berbagi inspirasi, penikmat sejarah & kuliner, guru ngaji dan jualan roti di pesisir bengawan solo \r\n\r\nwww. indonesiaoptimis.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Untuk Para Suami : Tingkatkan Saldo Mahar Pernikahan Anda!

3 Oktober 2015   08:42 Diperbarui: 3 Oktober 2015   09:14 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jika kita mau sedikit meluangkan waktu untuk mencari informasi seputar data dan angka perceraian di Indonesia, maka akan dengan mudah kita jumpai data dan analisa yang cukup memprihatinkan. Diantaranya :

• Tingkat perceraian di Indonesia menempati urutan tertinggi di Asia Pasifik (BKKBN-2013),
• Angka perceraian di Indonesia mencapai 10% pertahun dan terus meningkat, diantaranya data tahun 2010 saja dari 2 juta orang nikah setiap tahun se-Indonesia, maka ada 285.184 perkara yang berakhir dengan percerain per tahun se-Indonesia. (Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama RI, 2010)
• Dari total kasus perceraian, sebanyak 70 % perceraian terjadi karena gugat cerai dari pihak istri. (Wakil Menteri Agama RI Prof Dr. Nasaruddin Umar (2013),

Saya ingin sedikit fokus tentang point terakhir, dimana yang terbesar kasus perceraian berawal dari gugatan pihak istri ke pengadilan agama. Ada apakah dengan para ibu-ibu dan wanita Indonesia? Kalau kita melihat dalam analisa lainnya tentang alasan dan penyebab perceraian di Indonesia, memang bisa dipahami mengapa ibu-ibu lebih banyak yang memulai gugat cerai ini.

Sebab pertama, terkait ekonomi. Yaitu kondisi dimana para suami tidak bisa memberikan nafkah kepada sang istri dan keluarga. Mungkin gambarannya kurang lebih sang suami bermalas-malasan kerja atau nganggur, di rumah nyuruh-nyuruh seperti majikan, lalu malam minta dilayani. Belum lagi kondisi itu ditambah istri yang malah bekerja pagi sd sore memeras keringat dan membanting tulang. Klop sudah, akhirnya para istri berontak dan mengajukan gugat cerai.

Sebab kedua sebenarnya juga tidak terpaut jauh dari masalah ekonomi. Namun kebalikannya, kali ini saat kondisi ekonomi sudah mapan, sang suami mulai melirik sana-sini dan berpikir untuk selingkuh atau membuka cabang baru yang syar’I (baca:poligami). Kecenderungan inilah yang kemudian memulai permasalahan dan mengundang ketidakharmonisan, bahkan sampai ada benar-benar terjadi perselingkuhan. Karena itulah, kemudian sang istri pun segera meluncur ke pengadilan agama untuk mendaftarkan gugat cerai.

Lalu apakah hanya dua alasan di atas yang menjadikan gugat cerai di Indonesia sampai mencapai angka 70% dan bahkan di beberapa daerah 80% ?. Saya kira tidak, ada faktor lainnya yang sebenarnya teknis tapi cukup berpengaruh untuk menjadikan angka gugat cerai dari pihak istri begitu istri. Apa faktor lain yang berpengaruh itu ?

Faktor teknis tapi berpengaruh itu adalah karena tradisi pemberian mahar di Indonesia yang terkenal murah meriah, jauh berbeda dengan kondisi kebiasaan di Arab Saudi dan negara-negara timur tengah lainnya. Mahar di Indonesia biasanya bersifat historis simbolis dan sedikit romantis. Misalnya mahar berupa mushaf Al-Quran dan seperangkat alat sholat untuk menunjukkan status lebih islami. Ada juga mahar berupa uang dengan jumlah yang tidak terlalu fantastis tapi menunjukkan angka-angka cantik sebagi tanda tanggal pernikahan, atau malah berupa koin recehan yang disusun rapi jadi bentuk masjid, tapi nilainya tak seberapa, hanya simbolis romantis saja.

Sementara mahar di negara Timur Tengah biasanya berupa rumah dan perlengkapannya, kebun, mobil dan hal-hal lainnya yang kadang memang bersifat bombastis. Ini wilayah perbedaan tradisi, karena mahar secara syariat memang relatif lebih fleksibel, diminta untuk dimudahkan, tapi juga tidak ada batasan maksimal.

Lalu apa kaitannya dengan banyaknya kasus gugat cerai di Indonesia ? Dalam fikih, gugat cerai yang diajukan istri adalah sama dengan khulu’, dimana salah satu syarat dan aturannya adalah kewajiban mengembalikan mahar atau yang setara mahar kepada suami sebagai ‘tebusan’.

Nah jika dipahami dengan logika sederhana, saat ada permasalahan yang memuncak dalam keluarga, para istri di Indonesia tidak perlu memperhitungkan faktor “mahar” karena sudah murah meriah dari sononya, maka tidak harus berfikir panjang saat mengajukan gugat cerai. Mereka akan berfikir kalau Cuma mengembalikan “rukuh dan sajadah” bukan masalah yang besar, dan akan siap setiap saat.

Sebaliknya saat mahar jumlahnya cukup besar, jika ada permasalahan keluarga yang memuncak, lalu istri sempat berpikir akan melakukan gugat cerai, lalu teringat ada mahar sejumlah besar yang harus ia kembalikan, seperti sertifikat rumah tanah dan seisinya, maka bisa jadi pikiran ‘gugat cerai’ itu akan ia fikir ulang lebih dalam dan bisa jadi malah dibatalkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun