Beberapa referensi menyebut, sebagaimana dijelaskan oleh Antropolog UIN Sunan Kalijaga Mohammad Soehadha, tradisi ini berakar dari "Pisowanan" yang sudah ada sejak abad ke-18 atau tahun 1700-an di Praja Mangkunegaran Surakarta.
Kala itu, Raden Mas Said KGPA Arya Mangkunegara I mengundang seluruh punggawa, prajurit, dan bawahan lainnya untuk berkumpul di Balai Astaka guna melaksanakan "sungkeman" kepada raja dan permaisuri selepas perayaan Idul Fitri. Hal ini dilakukan karena dianggap lebih efektif dan efisien daripada melakukannya secara perseorangan.
Keterangan istilah Halal Bihalal juga terdapat pada majalah Soera Moehamadiyah edisi nomor 5 tahun 1924 yang terbit sekitar April 1924. Majalah edisi tersebut dipublikasikan menjelang Hari Raya Idul Fitri tahun 1924 yang pada waktu itu hatuh pada tanggal 6 Mei 1924. Dalam majalah ini pada 1Syawal 1334 H atau pada tahun 1926 menulis "Alal Bahalal".
Dalam laman artikel Kemenko PMK juga disebutkan salah satu versi lain menyebutkan kalau asal-usul istilah Halal Bihalal ini bermula dari pedagang martabak asal India di Taman Sriwedari Solo sekitar tahun 1935-1936, khususnya pada malam keramaian di Bulan Ramadhan. Pada saat itu martabak masih tergolong makanan yang baru bagi masyarakat Indonesia. Seorang pribumi yang membantu dalam penjualan maratabak tersebut mempromosikan dagangannya dengan istilah, "martabak Malabar, halal bin halal, halal bin halal". Kata-kata tersebut kemudian diikuti oleh para pelanggannya. Sejak saat itulah istilah halalbehalal mulai populer di masyarakat Solo.
Masyarakat kemudian menggunakan istilah ini untuk pergi ke Sriwedari di hari lebaran atau silaturrahmi di hari lebaran. Kegiatan Halal Bihalal kemudian berkembang menjadi acara silaturrahmi saling maaf-maafan saat lebaran.
Halal Bihalal Dipopulerkan KH Wahab HasbullahÂ
Versi ini dianggap menjadi versi yang paling valid oleh banyak orang, sebab dalam penamaan istilahnya melibatkan orang-orang penting dan besar di negara ini. Di era revolusi pada tahun 1948 tepatnya di pertengahan Bulan Ramadhan, Bung Karno mengundang KH Wahab Hasbulah ke Istana Negara untuk dimintai pendapat dan sarannya dengan harapan dapat mengatasi situasi politik Indonesia yang kurang sehat kala itu.
Kemudian KH Wahab Hasbullah memberikan saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan Silaturrahim, sebab sehubungan sat itu sebentar lagi akan adanya Hari Raya Idul Fitri yang mana terdapat kesunahan untuk bersilaturrahim. Lalu Bung Karno menjawab, "Silaturrahim kan biasa, saya ingin istilah yang lain".
"itu gampang," Kata Kyai Wahab. "Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahim nanti kita pakai istilah Halal Bihalal," Jelas Kyai Wahab Hasbullah seperti riwayat yang diceritakan KH Masdar Farid Mas'udi.
Atas saran dari Kiai Wahab itulah kemudian Bung Karno pada Hari Raya Idul Fitri mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri ajang silaturrahim tersebut yang dinamakan dengan Halal Bihalal. Akhirnya mereka duduk dalam satu meja, sebagai simbol babak baru kesatuan dan persatuan yang menghiasi politik Bangsa Indonesia. Sejak saat itulah istilah Halal Bihalal lekat dengan tradisi umat islam Indonesia pasca-lebaran hingga saat ini.
Begitu mendalam perhatian seorang Kiai Wahab Chasbullah untuk menyatukan seluruh komponen bangsa yang saat itu sedang dalam konfik politik yang berpotensi memecah belah bangsa. Hingga secara filosofis pun, Kiai Wahab sampai memikirkan istilah yang tepat untuk menggantikan istilah silaturrahim yang menurut Bung Karno terdengar biasa sehingga kemungkinan akan ditanggapi biasa juga oleh para tokoh yang sedang berkonflik tersebut.