Mohon tunggu...
Rahmi H
Rahmi H Mohon Tunggu... Guru - Peskatarian

Ngajar | Baca | Nulis Kadang-Kadang Sekali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sopia, Teluk dan Cemara

12 November 2020   19:46 Diperbarui: 12 November 2020   19:49 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

***

Pagi itu, mendung setebal kesedihan yang hinggap di mata Sopia, terus manaungi teluk, semalam bulan tak tampak sempurna, ia terhalang mendung-mendung, mereka yang menanti sinarnya, diam-diam menyimpan kecewa hingga pagi tiba.

Sopia masih memeluk lutut di bibir pantai seperti biasa, kali ini tidak sendirian, ia bersama seseorang, pelaut yang biasa singgah memberinya ikan. Namun, ia bicara dengan Sopia agak lama, cukup serius, sebab Sopia menanggapinya sedemikian rupa. Ia menyerahkan sesuatu kepada Sopia, ibarat pusaka, ia memberikan itu dengan hati-hati.

"Apa ini Pak?"
Sopia menatap sebuah benda yang sedang dalam genggamannya. Sebuah kotak besi, tipis, berwarna putih, seukuran jengkalnya.

"Bapakmu menitipkan ini padaku, sudah lama sekali, sejak sebelum ia meninggal..

"Bapakku tidak meninggal!"
Sopia memotong kalimat pelaut itu, ia berkata setengah membentak, hatinya teriris. Itulah sebab, mengapa ia terus menunggu. Menunggu sebuah kepulangan. Ia menolak sebuah kepergian, baginya hanya ada kepulangan, yang artinya kembali, ke sisinya. Ke sisi dirinya, seperti biasa, seperti tidak terjadi sesuatu.

Pelaut itu menunduk pilu, dialah satu-satunya orang yang memahami mengapa Sopia hidup seperti itu. Ia tahu Sopia tak akan sanggup menerima kepergian Bapaknya, kepergian paling pilu yang pernah disaksikannya.

"Baiklah, sebentar lagi hujan turun, aku harus pulang, laut mungkin tidak ramah hari ini, permisi Sopia..."
Pelaut itu berlalu, mendorong perahu agak ketengah, menaikinya, lalu mendayung menuju arah pulang. Meninggalkan Sopia dengan seluruh kebimbangannya.

Sopia membuka kotak itu, perlahan. Ia menemukan selembar foto seorang lelaki setengah baya berdiri tegak di atas perahu, berlatar biru laut dan langit kelabu, mengenakan celana hitam selutut dan kaos abu-abu.

Garis senyumnya tegar, kuat dan tangguh layaknya pelaut pada umumnya. Rahangnya menandakan ketegasan, kulitnya mengkilap kecoklatan, basah oleh peluh di bawah terik matahari siang.

Sopia menatap lekat wajah itu, degup didadanya kian hebat ketika ingatannya tertuju pada sesuatu. Pada sebuah kejadian paling manis dan bahagia yang seketika berubah luka, sejak lelaki itu tak pernah pulang hingga kini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun