Kami melewati perkebunan itu hingga tiba di pinggir hutan. Kami harus mencari jejak atau semak-semak yang agak terserak dan sepertinya pernah dilalui manusia, setidaknya begitulah logika kami menafsir petunjuk yang diperoleh.
Belantara, saya kira inilah nama yang pantas disematkan pada tempat ini. Setelah melalui perkebunan itu, kami memasuki hutan lebat, pepohonan sangat rimbun, tinggi dan subur.
Entah keberanian apa yang membuat kami tetap menyusuri hutan ini dengan riang gembira. Tanpa rasa cemas kami terus melangkah memasuki hutan kian dalam, sambil sesekali menangkap suara gemuruh air yang jatuh di bebatuan. Bayangan tentang keindahan tempat yang kami tuju, makin melekat kuat dipikiran.
Jalanan yang kami lalui terus menurun, tubuh mulai berpeluh, tapi tak satupun yang melontarkan keluh. Dihutan ini, kami serasa jadi pemilik, rasa asing yang kerap hinggap di hati, sebab berada di tempat yang jauh dari jangkauan apapun, tak ada sinyal telepon, terkalahkan oleh rasa bangga bahwa kami telah sampai dan berhasil menemukan apa yang kami cari.
Di sela pepohonan, mata dan telinga kami menangkap suara air, mengalir deras dan jernih, terhampar di bebatuan raksasa. Kami tiba dengan rasa bangga, sebab keyakinan bahwa kami pasti menemukan kini terbayar sudah. Waktu itu pukul 14.00, artinya kami menghabiskan sekitar dua jam untuk menemukan tempat ini.Â
Sekali lagi, di tempat ini, kami adalah pemilik. Sebab, tak ada tanda bahwa ada manusia yang sempat berkunjung. Air terjun ini tertutup rimbun pepohonan hutan, pepohonan itu seperti berderet rapi di tepi bebatuan besar tempat dimana air-air itu jatuh dan mengalir deras dan indah di ruas-ruasnya.
Air terjun ini memang bertingkat, untuk sampai ke tingkat berikutnya, kami harus menaiki bebatuan dengan sangat hati-hati agar tidak jatuh. Setiap tingkat memiliki ketinggian sekitar 10 meter. Dua orang kawan memutuskan untuk mandi berendam seadanya di kolam kecil yang terbentuk di tingkat kedua.Â
Kami terus asik berfoto ria tanpa mengkhawatirkan apapun, meski lensa kamera kerap basah berembun oleh percikan air.
Tempat ini, menawarkan kedamaian alam yang luar biasa. Suasana pepohonan yang rimbun dan lembab, sanggup membuatmu lupa pada waktu. Disini, segalanya seperti tetap, tak berubah, ada jiwa yang tidak mengingat apa-apa, tidak merindukan siapa-siapa, selain telinga yang hanya menangkap gemuruh air dan tatap mata yang kerap dihadapkan di sela dedaunan lebat.
Sebetulnya ada sedikit harap yang tidak terkabul, ketika kami berada di sini, kami tak sempat menelusuri sepanjang apa air ini jatuh di ruas-ruas batu.
Setelah berfoto bersama, kami bergegas pulang. Waktu itu jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Ada sedikit rasa ngeri ketika membayangkan sore semakin pekat, hutan lebat dan jalan pulang yang amat menanjak.
Jalan pulang seharusnya juga menjadi jalan paling bahagia di setiap perjalanan. Selain cerita dan kesan indah yang tersimpan di benak dan ingatan kita, jalan pulang adalah juga sarana melepas lelah.