Mohon tunggu...
Rahmi H
Rahmi H Mohon Tunggu... Guru - Peskatarian

Ngajar | Baca | Nulis Kadang-Kadang Sekali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kupu-kupu Penghantar Pertanda

22 April 2018   20:17 Diperbarui: 22 April 2018   20:38 1591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibu dan anak itu saling melepas beban. Sayap kupu-kupu yang kaku di lantai menyita perhatian ibunya, pelan-pelan ia melepas dekapannya dan menyentuh sayap itu. 

"Kupu-kupunya mati Bu.. " Maurita berkata dalam nada sedih yang disembunyikan. 

Ibunya diam saja, dalam hati ia menyambungkan apa yang dikatakan Magnus dengan kematian kupu-kupu itu, sulit dipercaya, tetapi Magnus memang tidak jadi menikahi Maurita dan kupu-kupu yang hampir seminggu bertengger di kamar anaknya kini terbujur kaku, menyisakan sayap yang setengah terkoyak, pertanda memang selalu datang dalam segala bentuk dan rupa. 

Malam itu Maurita meminta waktu pada sang ibu, ia ingin sendiri, benar-benar sendiri, ibunya memahami, meski tanpa cinta, menghayati ambang pernikahan yang gagal cukup menggugurkan sejumlah kebahagian yang perlahan terbentuk dalam angan. 

Maurita melepas cincin tunangannya, ia mengingat rasa hambar yang melekat penuh di hatinya ketika cincin itu tersemat di jari manisnya. Ia menaruh cincin itu di laci paling bawah pada meja riasnya yang berkaca besar dan memantulkan wajah datarnya yang manis. 

Di wajah itu, ia tak menemui apapun, mungkin ia sudah hilang rasa, ia mencoba masuk lebih jauh ke pupil matanya, tapi hanya sedikit saja penyesalan dan rasa kecewa yang ditemuinya. Maurita menatap kosong ke dalam cermin, ia ingin melihat seperti apa dirinya yang sesungguhnya, ia sibuk menelusuri lekuk wajah dan mencoba memasang senyum di sudut bibirnya. 

Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka, ibunya masuk tanpa permisi, Maurita berdiri dan bermaksud menegur sang ibu, tetapi, belum satu katapun terlontar dari mulutnya, sang ibu segera berkata. 

"Ada tamu Mar" Senyum lebar dan bahagia mengembang sempurna di wajahnya. 

"Siapa Bu?" Maurita mengernyitkan kening. 

"Dia datang berniat melamarmu, ibu sudah menyetujuinya, karena ibu yakin, kamu juga pasti akan menerimanya" Ia merangkul bahu Maurita, menata rambutnya seadanya. 

Ia meminta Maurita berdandan serapi mungkin dan segera menemui tamu itu. Hampir saja Maurita memberontak, belum tuntas segala kehampaan dan rasa hambar, kecewa, akibat pernikahan yang dibatalkan, kini ibunya kembali menerima lamaran laki-laki lain. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun