Air mata ibunya makin deras tak terbendung, isaknya kini lebih jelas membuat Maurita bertambah bingung.Â
"Yang sabar Mar.. " Ibunya memeluknya.Â
"Ada apa Bu?"Â
Maurita makin tak sabar, rona khawatir mulai mememuhi dadanya. Ibunya menarik nafas pelan, ia berusaha mengumpulkan segenap kekuatan agar mampu menceritakan kesedihan yang sejak tadi disimpannya.Â
"Tadi Magnus telepon,.."Â
Maurita mengangkat wajahnya menatap sang Ibu penuh ingin tahu. Pikirannya berputar cepat, sudah dua hari Magnus tak mengunjunginya, mungkinkah kupu-kupu itu menjadi pertanda.Â
"Dia membatalkan pernikahan tanpa alasan yang jelas, dia minta ibu menyampaikannya ke kamu"Â
Maurita menahan nafas, ia tak bisa memastikan warna perasaannya saat ini, hanya sekelumit permakluman yang bisa ia simpulkan dari sikap Magnus yang demikian itu. Tak baik memang, memaksa menikah dengan seseorang yang tak pernah dikenal.Â
Diam-diam kelegaan misterius menyelinap di batin Maurita, ingatannya masih jelas ketika Magnus meminangnya dengan sedikit paksaan melalui ibunya. Tak ada cinta, tak juga kecenderungan hati, hingga pinangan itu diterima Maurita. Tuhan sungguh Maha Kuasa.Â
Ibunya menyeka air mata, ia terkesima menyaksikan ketegaran yang lahir dari binar mata Maurita.Â
"Tidak apa-apa Bu.. "Maurita berbisik pelan sembari mengeratkan dekapannya di dada ibunya yang dibalas dengan dekapan yang sama.Â