Tak ada yang lebih mengkhawatirkan ketimbang melihatnya terjaga sepanjang malam. Mengapa kantuk tak jua mengunjunginya, menemani malam-malam panjang yang dilaluinya bersama seluruh pikiran-pikirannya tentang alam semesta, manusia, tumbuhan, binatang, langit, matahari, bulan dan segalanya, kadang malam-malam itu ia tuntaskan dengan diam, sambil matanya nanar menatap entah apa.
Ini adalah malam ke tiga puluh dan seingatku ia masih melaluinya tanpa tidur. Aku pernah memintanya menceritakan seluruh isi pikiran dan perasaannya. Aku berusaha menggali hingga ke sumur terdalam jiwanya, tapi sia-sia, aku hanya mendapati angin bertiup lebih pelan dari biasanya, angin itu membelai seluruh isi semesta, bertutur tanpa kata, angin itu tak berputar, tidak menggulung apapun, tidak menerbangkan apapun meski itu seringan kapas. Ia hanya menyapu dinding hidung dan sebagian paru-paru jiwa.
Aku pernah mencoba merasuki tatapannya dengan harapan. Aku mendapati cahaya sederhana, nyala yang senantiasa menjaga keseimbangan pantulannya, agar tak redup. Ia tak sudi menampilkan buram dan remang di kelopak mereka-mereka yang datang menjenguknya dengan binar perasaan bahagia. Cahaya itu bukan matahari, tak pantas juga disebut bintang, ia juga menolak dinamai bulan. Aku terperanjat, ia tak meminjam sinar dari manapun, meski sederhana ia tak lemah, ia bertekad tetap menyala
Tepat tengah malam, ia menengadah, belalak matanya menatap gelap, ia mengerti malam ibarat petunjuk bahwa langit adalah satu-satunya maha pemberi harapan. Dari langit warna kehidupan berasal. Ia menemukan banyak alasan bahwa langitlah pelenyap segala kegelisahan. Meski malam berkali-kali datang memuntahkan kesunyian, di langit seluruh riuh tetap bergemuruh.
Aku terbangun dari lelap sesaat dan ia masih seperti itu, seperti dua puluh sembilan malam sebelumnya, jendelanya tetap terbuka, pandangannya tertuju keluar, bulan sabit menggantung sayu di kejauhan. Aku mendekatinya, mendekap bahunya, berbisik lembut di telinganya. Aku tahu, dekapan dan bisikanku tak mengusik pikirannya.
"Bukankah kasih sayang itu hanya persembahan bumi kepada langit, kasih sayang bumi adalah kenyataan yang terabaikan sepanjang sisa usia manusia berkelana di dunia ini. Manusia berharap begitu nyaman pada langit, sembari membunuh benih-benih manis yang pasti tumbuh mewujud nyata. Lalu, di bagian berikutnya mereka hanya mendapati harapannya mengepul tanpa sempat disesap. Ah, sungguhkah langit adalah harapan, tapi bumi jualah tempat manusia menyemai harapan itu, pada bumi akar menancap, pohon berdiri kokoh, berdaun rimbun, berbuah lebat, sesudahnya langit hanya bisa mengirim topan, badai, hujan deras bahkan petir-petir ganas, hingga pohon itu tumbang, kembali dipeluk bumi. Begitulah."
Dekapan dan bisikanku berbuah kalimat panjang. Syukurlah, di malam ke tiga puluh, ia masih berbicara. Aku sengaja menghitung, demi rasa penasaran yang terus membuncah dalam benakku, sekuat apa ia akan bertahan, berbicara pada dirinya sendiri atau mengatup rapat mulutnya sepanjang hari.
Mungkin ia kesepian, demikian pikirku pada suatu hari. Aku menafsir, ia sengaja mencipta ramai di jiwanya, menyemai mimpi dan angan dalam balutan sunyi hari-hari panjang yang ia habiskan lewat matanya yang misterius itu. Sementara aku menemaninya, tersenyum pada orang-orang yang sesekali datang melihatnya. Merekalah sahabat dan kekasihnya. Mereka menjulukinya perempuan penjual sepi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H