Magnus menghela nafas, dikecupnya kening Halimah. Malam itu, menjadi semacam saksi, bahwa Halimah memang cemburu pada kesehariannya yang dimata banyak orang justru tidak jelas. Sesekali menemui para pejabat, berbincang dengan beberapa pengusaha, kadang duduk bersama para mahasiswa, berkumpul di rumah orang ulama, bertandang ke kawan yang serimg dianggap seperjuangan, begitu seterusnya, Magnus menyadari bagaimana orang-orang membangun pengertian mereka atas dirinya, termasuk Halimah. Meski terkadang, Halimah menjadi penyelamat kala banyak orang mulai melempar ungkapan miring terhadapnya.
***
Halimah menutup koper biru itu, lalu mendorongnya keluar kamar. Air mata masih mengalir deras di pipinya, ia menangis tanpa suara. Magnus mematung menatap Halimah. Ia tak bisa mencegah kepergian istrinya.
"Aku pamit Nus, semoga masih bisa kembali ke rumah ini" Halimah berkata pelan, disela isak tangis yang hampir pecah. Ia berdiri di ambang pintu, sementara Magnus tertegun menatapnya.
"Kamu mau kemana Mah?" pertanyaan penuh harap terlontar begitu saja. Halimah tersenyum sinis.
"Ingat-ingatlah, apakah pernah aku menanyakan hal yang sama kepadamu? Ketika kau begitu santai melambai pergi bersama orang-orang yang katanya nasibnya kau perjuangkan itu? Lalu kau kembali setelah berbulan-bulan aku menanti. Terima kasih telah memberiku begitu banyak uang yang aku sendiri tak paham dari mana asalnya, kini biarkan aku menghabiskan seluruh uang itu, sebagai bentuk penghargaanku atas pemberianmu, suamiku"Â
Usai berkata, Halimah melangkah keluar. Menutup pintu rumah, bergegas ke pinggir jalan mencegat taksi lalu pergi bersama linangan air mata yang tiada henti. Mungkin di perjalanan ia bisa melebur sepi yang menemaninya selama ini, mungkin di perjalanan ia bisa melupakan penantian yang dipeluknya begitu mesra di malam-malam panjang tanpa seorangpun disampingnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H