Mohon tunggu...
Rahmi H
Rahmi H Mohon Tunggu... Guru - Peskatarian

Ngajar | Baca | Nulis Kadang-Kadang Sekali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ilusi Suami Istri

24 September 2017   20:14 Diperbarui: 25 September 2017   01:52 1619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pexels.com

Magnus menghela nafas, dikecupnya kening Halimah. Malam itu, menjadi semacam saksi, bahwa Halimah memang cemburu pada kesehariannya yang dimata banyak orang justru tidak jelas. Sesekali menemui para pejabat, berbincang dengan beberapa pengusaha, kadang duduk bersama para mahasiswa, berkumpul di rumah orang ulama, bertandang ke kawan yang serimg dianggap seperjuangan, begitu seterusnya, Magnus menyadari bagaimana orang-orang membangun pengertian mereka atas dirinya, termasuk Halimah. Meski terkadang, Halimah menjadi penyelamat kala banyak orang mulai melempar ungkapan miring terhadapnya.

***

Halimah menutup koper biru itu, lalu mendorongnya keluar kamar. Air mata masih mengalir deras di pipinya, ia menangis tanpa suara. Magnus mematung menatap Halimah. Ia tak bisa mencegah kepergian istrinya.

"Aku pamit Nus, semoga masih bisa kembali ke rumah ini" Halimah berkata pelan, disela isak tangis yang hampir pecah. Ia berdiri di ambang pintu, sementara Magnus tertegun menatapnya.

"Kamu mau kemana Mah?" pertanyaan penuh harap terlontar begitu saja. Halimah tersenyum sinis.

"Ingat-ingatlah, apakah pernah aku menanyakan hal yang sama kepadamu? Ketika kau begitu santai melambai pergi bersama orang-orang yang katanya nasibnya kau perjuangkan itu? Lalu kau kembali setelah berbulan-bulan aku menanti. Terima kasih telah memberiku begitu banyak uang yang aku sendiri tak paham dari mana asalnya, kini biarkan aku menghabiskan seluruh uang itu, sebagai bentuk penghargaanku atas pemberianmu, suamiku" 

Usai berkata, Halimah melangkah keluar. Menutup pintu rumah, bergegas ke pinggir jalan mencegat taksi lalu pergi bersama linangan air mata yang tiada henti. Mungkin di perjalanan ia bisa melebur sepi yang menemaninya selama ini, mungkin di perjalanan ia bisa melupakan penantian yang dipeluknya begitu mesra di malam-malam panjang tanpa seorangpun disampingnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun