Mohon tunggu...
Rahmi H
Rahmi H Mohon Tunggu... Guru - Peskatarian

Ngajar | Baca | Nulis Kadang-Kadang Sekali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ilusi Suami Istri

24 September 2017   20:14 Diperbarui: 25 September 2017   01:52 1619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Halimah mengangguk, seolah mengerti. Seketika angin berhembus pelan, Halimah menarik resleting jaket hitam yang membalut tubuhnya. Di langit, bintang makin gencar bertebaran, bulan belum tampak. Magnus melanjutkan.

"Kita mesti menciptakan fase-fase hidup, yang memungkinkan kita untuk menghitung tiap capaian yang kita raih. Meski di lingkup politik kita tidak bisa memakai rumus gagal atau berhasil, kita hanya perlu terus menyiasati peran dan tanggung jawab, agar tiap tindakan kita tidak berujung sia-sia. Mah, inti dari kehidupan ini adalah hiruk pikuk, yang kita pilih hanyalah menciptakan hiruk pikuk kita sendiri atau ikut hanyut dalam hiruk pikuk yang diciptakan orang lain. Kau tentu paham Mah, di bagian mana kita berada" Magnus tersenyum, sambil tangannya membelai rambut panjang Halimah.

"Lalu, mengertikah kau dengan hiruk pikuk di dadaku Nus?" Halimah membatin, ia menunda kata-kata yang riuh melintas di pikirannya.  Malam itu, Halimah mendengar dengan seksama, tiap ucapan yang terlontar dari mulut suaminya.

Tanpa sepengetahuan Magnus, Halimah mulai membangun kesadaran dalam dirinya, ia belajar mengamati tiap tingkah suaminya sejak tiga tahun usia pernikahan mereka. Sebagai istri Halimah tak pernah abai akan kewajibannya, ia juga tak pernah meminta sesuatu yang ia tahu Magnus tak sanggup memberinya, ketabahan yang tinggi sengaja ia bangun sejak pertama kali ia bersedia menjadi istri bagi Magnus. 

Aktifitas Magnus yang kadang tak dipahaminya, membuat Halimah perlahan mengamati apa dan siapa sesungguhnya suaminya. Halimah merasa, Magnus menyembunyikan sesuatu darinya, ia yakin, nalurinya sebagai istri tak mungkin salah. Hingga, dibanyak kesempatan ia mendapati Magnus memberinya banyak uang jika Magnus selesai menyelenggarakan kegiatan-kegiatan, entah itu seminar, pelatihan dan sejenisnya. 

Bisa jadi kebetulan saja, tapi Halimah tak pernah keliru, kebetulan itu terlalu sering terjadi. Apa sebetulnya yang diinginkan Magnus dalam hidup ini? Malam ini, Magnus masih berbicara tentang hal-hal yang tak dipahami atau coba dipahami Halimah.

"Kamu bukan pahlawan Nus, kamu juga bukan penulis, bukan politikus, bukan pula sastrawan, kamu hanya seorang suami biasa, itu kenyataan yang belum sanggup kamu terima Nus". 

Halimah mengucap pelan, senyum lembut dan tulus terpancar di wajah cantiknya. Ia menatap Magnus penuh cinta. Namun kata-kata itu terlanjur menghujam sempurna di dada Magnus. Ia tersinggung, meski mungkin istrinya tak bermaksud begitu. Magnus berusaha membangun kalimat di atas egonya yang perlahan tersendat.

"Aku hanya mengusahakan yang terbaik untuk orang-orang yang hingga kini terus bersamaku Mah, termasuk kamu. Mereka sepenuhnya bergantung pada kesiapan waktu dan pikiranku untuk membangun harapan dan impian yang selalu kita bicarakan"

Senyum Halimah makin mengembang, ia menangkap nada ilusi yang begitu dalam pada kata-kata suaminya.

"Aku memberimu waktu untuk itu, aku membebaskanmu bermimpi sekehendak egomu, tapi aku tak merasa menjadi bagian dari impian-impian yang kau ciptakan itu, juga orang-orang yang nasibnya kau perjuangkan".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun