Anggapan yang demikian itu tentu bertentangan dengan nilai-nilai puasa sendiri. Sebab, berpuasa merupakan media untuk meningkatkan derajat ketaqwaan seseorang. Ketaqwaan disini tidak saja bisa dinikmati hanya pada bulan Ramadhan, hanya dengan memperbanyak tadarus, taraweh. Lebih dari itu, sebagai media transendensi diri, ketaqwaan yang dicapai selama bulan Ramadhan bisa dinikmati setelah puasa berlalu. Artinya, amal ibadah dan kebaikan yang dilakukan oleh umat Islam selama bulan Ramadhan terus dilanjutkan dan ditingkatkan. Karena itulah, puasa Ramadhan kita tidak sekedar menahan lapar dan haus, tetapi memberikan implikasi positif setelah ramadhan berlalu.
Oleh karena itu, berlalunya bulan Ramadhan bukan berarti berakhirnya kewajiban umat Islam untuk selalu melakukan ibadah, kebajikan, dan meninggalkan kejahatan. Sebaliknya, pasca Ramadhan ini umat islam dituntut untuk terus meningkatkan derajat ketaqwaannya pada bulan-bulan berikutnya. Kebajikan dan amal ibadah setelah bulan suci menunjukkan diterimanya ibadah puasa, dan mendapatkan hikmah puasa (lailatul qadar). Maka, jika setelah Ramadhan seseorang semakin rajin melakukan amal ibadah, menolong orang lain dan kebajikan lainnya, berarti orang tersebut bernar-benar melakukan puasa. Sebaliknya, jika seseorang justru semakin nakal, jahat, brutal, menindas orang lain sudah bisa dipastikan bahwa ibadah puasa orang tersebut tidak memberikan arti apapun, yakni masuk dalam kategori Shaumul ‘awam.
Harian Jogja, 18 Oktober 2008
see: http://gazali.wordpress.com/2008/10/21/menjadi-religius-pasca-ramadhan/