Sepuluh tahun sudah saya meninggalkan Indonesia. Campur aduk rasanya.
Saya pernah putus asa dengan negeri ini. Menjadi Indonesia rasanya hanya menabung kekecawaan tanpa henti. Hingga akhirnya putus asa. Saya kecewa melihat negeri yang selalu memberi tempat pendusta menjadi pemimpin. Saya kecewa melihat yang miskin bertambah miskin, yang kaya bertambah kaya. Saya pernah begitu kecewa, hingga saya putus asa dengan negeri ini.
Saya pernah malu dengan negeri ini. Menjadi Indonesia rasanya hanya jadi sasaran olok-olok. Saya malu dengan polisi di jalan yang bisa di suap. Saya malu dengan hakim, jaksa dan pengacara yang bersepakat harga kasus. Saya malu melihat rasa malu hilang dari pemimpin negeri ini. Korupsi jadi raja. Hukum jadi budak. Kami jadi sengsara.
Saya pernah menyerah menjadi Indonesia. Membuang passport untuk menjadi warga negara lain. Rasanya tidak ada lagi harapan negeri ku berbenah diri, memanusiakan rakyatnya dan meluriskan moralitas pemimpinya.
Tapi,
Saya ternyata salah. Sepuluh tahun melihat bangsa-bangsa lain, saya tetaplah Indonesia.
Saya tetap merindukan nasi padang. Gado-gado yang pedas. Warung mie rebus tempat bercengkrama di malam hari. Abang beca yang sok ngebut. Ojek yang suka nyalip tanpa ampun. Atau angkot yang tak pernah lelah mengenal lelah membuat macet.
Saya tetap Indonesia.
Negeri dimana saya lahir, dan dimana saya kelak ingin dikuburkan.
Indonesia tak pernah letih mencintai saya. Dan saya tak pernah letih mencintainya. Negeri ini hanya butuh waktu untuk belajar dari tumpukan kesalahan. Hanya butuh waktu.
Dan saya akan terus mendampinginya sampai kapanpun.
Saya tidak akan pernah letih berharap pada negeri ini.
Saya pun tidak akan pernah putus asa percaya negeri ini.
Menjadi Indonesia adalah kebanggaan saya. Hingga mati.
Dirgahayu negeri ku !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H