Mohon tunggu...
hata madia kusumah
hata madia kusumah Mohon Tunggu... -

Mahasiswa S1 Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB

Selanjutnya

Tutup

Money

SOS : Indonesia's Data Crisis

17 Februari 2011   06:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:31 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Hata Madia Kusumah

Pekan lalu saya mengikuti satu diskusi ilmiah tentang perubahan UU Pangan Indonesiayang diiselenggarakan oleh FEMA IPB dan Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia. Saya mendapatkan banyak inspirasi dan pengetahuan baru soal pangan nasional. Akan tetapi, dari diskusi tersebut ada hal yang cukup menarik dan menjadi salah satu faktor kunci dalam kebijakan UU Pangan ini.
Hal yang saya maksud adalah ketika pada kenyataannya para stakeholder yang hadir pada diskusi tersebut tidak memiliki satu paket data yang bisa dipercaya independensinya. Hal ini menunjukan bahwa Indonesia mengalami sebuah krisis yang begitu mendasar, yaitu Krisis Data Nasional. Saya menangkap bahwa data-data mengenai ketersediaan pangan dan distribusinya tidak ada yang dapat dipercaya, baik dari pemerintah, LSM, bahkan BPS sekalipun. Hal yang menyedihkan ketika sebuah negara besar seperti Indonesia sampai saat ini memutuskan sebuah kebijakan tanpa sebuah asumsi dasar yang jelas dan dapat dipercaya. Maka kita dapat lihat hasil dari kebijakan-kebijakan tersebut saat ini. Ketika banyak kebijakan yang tidak tepat sasaran atau bahkan salah sama sekali. Kita pun dapat melihat inkonsistensi kebijakan yang ada, semisal pada bulan Desember 2010 Pemerintah menyatakan swasembada beras, akan tetapi awal Januari 2011 pemerintah dengan lugas menyatakan bahwa Indonesia kekurangan pasokan beras dan mengharuskan impor dan akhir Januari 2011 beras impor tersebut sudah berada di pelabuhan Indonesia. Hal ini, menurut saya dengan logika yang paling sederhana sekalipun tidak dapat menjelaskan fenomenanya terkecuali memang pemerintah tidak pernah tahu jumlah pasti pasokan beras nasional (artinya tidak ada data).

Dari fenomena memalukan ini saya coba berhipotesis, sesungguhnya faktor apa yang menyebabkan Indonesia bisa terjerumus pada kondisi Krisis Data seperti saat ini. Saya menemukan sekurang-kurangnya tiga faktor yang diduga menyebabkan masalah ini, yaitu (1) politisasi data dan penyedia data; (2) standar yang berbeda di setiap institusi; (3) kurangnya budaya riset ilmiah dalam merumuskan sebuah kebijakan.

Politisasi data dan penyedia data

Sudah menjadi rahasia umum di Indonesia, bahwa ketika mendekati masa pemilihan umum semua indikator pembangunan ekonomi dan sosial berubah menjadi baik. Pengangguran berkurang, stok beras aman (swasembada), pendapatan meningkat, jumlah orang miskin berkurang, dsb. Namun setelah itu, entah karena bancana apa semua indikator tersebut kembali menjadi buruk. Hal ini saya rasa sebagai akibat dari penafsiran yang salah akan data-data yang ada untuk kepentingan sesaat dan mengambil hati rakyat oleh oknum-oknum politisi. Sedangkan, lembaga-lembaga formal pemerintahan seperti BPS dan bagian-bagian riset negara tidak berani meluruskan apa yang sebenarnya hanya untuk mencari selamat (cari aman untuk posisinya). Pada saat yang sama,  lembaga swadaya masyarakat pun sudah kehilangan independensinya, LSM/NGO saat ini telah menjadi hamba bagi pribadi maupun institusi donor-nya. Para penyedia data terkadang sudah memiliki hipotesis atas sebuah fenomena, namun yang dilakukan bukan menguji kebenaran hipotesisinya akan tetapi mereka justru memanipulasi kegiatan yang dilakukan agar data yang dihasilkan mendukung apa yang menjadi hipotesisnya. Sehingga apa yang diungkapkan oleh para penyedia data-data di Indonesia menjadi sulit diterima karena adanya keberpihakan pada pihak tertentu dan bukan pada kenyataan.

Standarisasi data yang berbeda

Indonesia merupakan negara yang serba relatif. Suatu data akan berbeda relatif antara seseorang dengan orang lainnya bahkan pada tataran pemerintahan. Sebagai contoh, standar kemiskinan antara Kementerian Pertanian akan berbeda dengan standar BPS, akan berbeda dengan Kementerian Kesehatan, dan berbeda pula dengan Kementerian Sosial, dsb. Hal ini merupakan akibat dari tidak adanya suatu standar bagi suatu kondisi/hal yang bisa menjadi pedoman secara nasional. Selain itu, terkadang standar yang diterapkan jauh dari standar yang diterapkan secara umum di dunia internasional. Sebagai contoh, PBB menyatakan standar orang miskin adalah orang yang berpenghasilan kurang dari dua dollar per hari. Sedangkan BPS menetapkan bahawa orang miskin berpenghasilan kurang dari satu dollar per hari. Hal yang membuat Indonesia semakin dipandang rendah oleh negara-negara di dunia dan pergaulan internasional. Dampaknya ketika pemerintah menyusun program yang terjadi adalah bias tujuan dan sasaran. Tidak adanya konvergensi kebijakan, sehingga terkesan lembaga-lembaga pemerintahan berjalan sendiri-sendiri dengan arahnya masing-masing. Hal ini jelas hanya menyebabkan terkurasnya anggaran, pemikiran, tenaga, dan waktu masyarakat tanpa hasil yang signifikan.

Kurangnya budaya riset ilmiah

Hal ini memang perlu kita akui bersama bahwa di republik ini masih rendahnya minat para pengambil kebijakan untuk melakukan kajian terlebih dahulu terhadap kebijakan yang akan dirumuskan. Para elit lebih senang menggunakan intuisi dan asumsi-asumsi yang dipercayai oleh diri-nya sendiri dibandingkan riset ilmiah. Keenganan ini terkait dengan ketidakmauan para elit untuk menunggu lama dan keengganan untuk mengeluarkan dana yang diperlukan untuk riset. Padahal apabila kita belajar dari negara-negara industri yang maju saat ini, riset ilmiah merupakan basis utama yang menjadi kunci kebijakan negara-nya. Bagi mereka waktu dan uang bukan sebuah kendala, karena mereka lebih yakin bahwa kebenaran hasil riset jauh lebih berharga. Itulah sebabnya mengapa Jepang rela menyisihkan jutaan dollar untuk riset otomotif dalam waktu puluhan tahun dan kita dapat lihat hasilnya saat ini Jepang telah menjadi raksasa otomotif dunia. Begitu pula apa yang dilakukan China dan India terkait teknologi informasi, sehingga saat ini ketika kita berbicara mengenai dunia IT maka kita tidak juga dapat melepaskan pembicaraan dari China dan India.

Untuk mengurangi krisis ini, saya sendiri berhipotesis bahwa sudah saatnya negara membuat satu standar nasional yang disepakati bersama untuk hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang bayak dan diterapkan  dengan konsisten di berbagai lembaga pemerintahan. Standar yang ditetapkan pun harus dielaborasikan dengan apa yang sudah menjadi kesepakan onternasional bahkan harus lebih baik, bukannya malah lebih rendah. Kemudian, sudah saatnya para elit melepaskan intervensinya akan lembaga-lembaga penyedia data nasional seperti BPS. Dilain pihak BPS dan lembaga penyedia data lainnya pun harus berani memposisikan diri sebagai lembaga yang independen. Bukan saatnya lagi mengintervensi dan menginterpretasi data yanga da sesuai yang diinginkan. Sudah saatnya para elit bersaing dengan menawarkan sebuah solusi konkret yang aplikatif dengan berbasiskan pada data-data yang valid, dan bukan hanya sekadar asumsi subjektif. Sudah saatnya kita berkorban sedikit tenaga, waktu, dan dana untuk menentukan kebenaran demi indonesia yang Berjaya! [Hamka2011]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun