Mohon tunggu...
hata madia kusumah
hata madia kusumah Mohon Tunggu... -

Mahasiswa S1 Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB

Selanjutnya

Tutup

Money

Social-entrepreneurship: Membangun Negara dan Menyejahterakan Bangsa

13 Februari 2011   00:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:39 928
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Reformasi telah berlalu lebih dari satu dekade. Akan tetapi cita-cita luhurnya berupa pembangunan yang merata dan kesejahteraan masyarakat luas masih jauh api dari panggang. Indonesia masih saja terjerat dalam sistem yang memiskinkan mayoritas rakyatnya sedangkan sebagaian kecil golongan lainnya menumpuk kekayaan tanpa batas. Pemerintahan era reformasi telah gagal mewujudkan infrastruktur, lapangan pekerjaan, dan kesehatan masyarakat accessible bagi rakyatnya. Hal ini menyebabkan semakin lebarnya jarak ketidakmerataan pembangunan di Indonesia seperti laporan Majalah Forbes, bahwa gabungan kekayaan 40 orang Indonesia terkaya adalah ditaksir sekitar 42 miliar dollar AS atau sekitar 8 persen dari PDB Indonesia (Nam, 2009).

Sistem yang terwarisi dari pejajahan

Bagaimana hal-hal buruk ini bisa terjadi pada Indonesia? Sebuah pertanyaan yang jawabannya tidak pernah tahu harus memulai dari mana. Bila ditelusuri lebih jauh ke masa yang lalu ternyata pola pembangunan seperti ini memang sudah terjadi sejak Kolonial Belanda menjajah Indonesia. Aliansi yang korup antara birokrat dan konglomerat telah mengakibatkan penumpukan kekayaan pada golongan yang itu-itu saja. Pola ini kemudian diwariskan hingga pada masa pasca kemerdekaan, baik masa Orde Lama, Orde Baru, maupun Orde Reformasi saat ini. Indonesia memang berhasil dalam hal revolusi fisik dan reformasi, tapi gagal dalam hal transformasi kelembagaannya (ASH Center, 2010).

Salah satu poin yang melemahkan adalah Indonesia kurangnya investasi dalam hal Sumber Daya Manusia (SDM). Pendidikan di Indonesia lebih membentuk mental manusia-manusia yang serakah dan bermental pekerja saja. Meskipun saat ini model kewirausahaan (entrepreneurship) sudah mulai diterapkan akan tetapi makna pengajarannya masih terbatas pada semangat pemenuhan kebutuhan pribadi (self-sufficiency) si wirausahawan tersebut. Padahal untuk mengejar ketertinggalannya Indonesia butuh lebih dari sekadar wirausaha. Indonesia butuh sebuah sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang memiliki efek multiplier yang lebih besar dan lebih cepat.

Social-entrepreneurship sebagai salah satu solusi

Salah satu solusi yang ditawarkan banyak ekonom untuk masalah pelik Indonesia adalah membangun modal Social-entrepreneurship di masyarakatnya terutama golongan muda. Padahal Social-entrepreneurshipakhir-akhir ini menjadi semakin populer terutama setelah salah satu tokohnya Dr. Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank di Bangladesh mendapatkan hadiah Nobel untuk perdamaian tahun 2006. Namun di Indonesia sendiri kegiatan ini masih masih terasa baru dan belum mendapatkan perhatian dari pemerintah dan para tokoh masyarakat karena belum ada keberhasilan yang menonjol secara nasional.

Sesungguhnya Social-entrepreneurship sudah dikenal ratusan tahun yang lalu diawali antara lain oleh Florence Nightingale (pendiri sekolah perawat pertama) dan Robert Owen (pendiri koperasi). Bahkan jauh sebelum itu, Rasulullah SAW sudah mencontohkan bagaimana mengubah dan membangun kondisi sosial masyarakat yang padu di zamannya. Pengertian sederhana dari Social-entrepreneur (Pelaku social-entrepreneurship – red) adalah seseorang yang mengerti permasalahan sosial dan menggunakan kemampuan entrepreneurship untuk melakukan perubahan sosial (social change), terutama meliputi bidang kesejahteraan (welfare), pendidikan, dan kesehatan (healthcare). Jika business-entrepreneurs mengukur keberhasilan dari kinerja keuangannya (keuntungan ataupun pendapatan) maka Social-entrepreneur keberhasilannya diukur dari seberapa besar manfaat yang bisa dirasakan oleh masyarakat (Santosa, 2007).

Pada mulanya, Social-entrepreneurship lebih dianggap sebagai kegiatan yang lebih dekat dengan ‘sumbangan’ dan non-profil oriented. Akan tetapi, fenomena Grameen Bank dan Grameen Phone di Bangladesh telah menggeser persepsi tersebut. Fenomena tersebut telah meyakinkan masyarakat bahwa dengan Social-entrepreneurship kita tidak hanya membantu masyarakat akan tetapi dapat juga dapat memenuhi kebutuhan diri sendiri.

Peran Social-entrepreneurship dalam pembangunan Indonesia

Kemampuan Social-entreprenuers untuk memberikan nilai tambah (value-adedd) baik kepada lingkungan sosial-nilai dan ekonomi di lingkungan sekitarnya telah membuat kegiatan seperti ini semakin mengambil peran vital dalam pembangunan nasional secara luas. Berkembangnya Social-entreprenuers dapat menciptakan kesempatan kerja dan meningkatkan taraf hidup masyarakat, memberikan nilai inovasi dan kreasi baru terhadap lingkungan sosial-ekonomi masyarakat, dapat menjadi modal sosial pembangunan nasional, dan membantu upaya peningkatan kesetaraan (equity promotion) dan pemerataan kesejahteraan (spreading welfare) kepada masyarakat luas.

Secara sosial-ekonomis, kegiatan Social-entreprenuers dapat meningkatkan kesempatan kerja di masyarakat. Hal ini dikarenakan semangat wirausaha yang menjadi basisnya, semangat untuk menciptakan lapangan pekerjaan (to create jobs) daripada mencari kerja (to seek a job). Orientasi Social-entreprenuers yang lebihh diarahkan pada golongan kelas bawah (gelandangan, anak jalanan, masyarakat miskin) dapat memberikan suatu alternatif bagi kaum tersebut untuk meningkatkan taraf hidupnya agar dapat lebih layak.

Kelemahan pemerintah adalah sulitnya bergerak pada sektor mikro dan spesifik kasus dikarenakan banyaknya hambatan birokratisme dan syarat legal-formal kelembagaannya. Oleh karena itu, Social-entreprenuers muncul dengan berbagai inovasi dan kreasi terhadap jasa kemasyarakatan yang selama ini tidak tertangani oleh pemerintah tersebut.Hal ini didukung oleh fleksibilitas gerakan Social-entreprenuers. Sebagai contoh seorang lulusan S1 UGM asal Cilacap yang memilih untuk bergabung dengan Koperasi di daerahnya dan berhasil mengembangkan komoditas pisang sehingga koperasi tersebut bersama masyarakatnya dapat menjadi slah satu suplier perusahaan makanan multinasional (Baga,2009).

Selanjutnya Social-entreprenuers pada akhirnya akan menjadi sebuah modal sosial yang sangat dibutuhkan dalam membangun Indonesia. Gagalnya transformasi kelembagaan selama ini telah membuat masyaraka indonesia meninggalkan modal sosialnya dan lebih memilih menjadi masyarakat yang individualis-kapitalistis. Santosa (2007) menyatakan bahwa modal sosial merupakan bentuk yang paling penting dari berbagai modal yang dapat diciptakan oleh social entrepreneur karena dalam kemitraan ekonomi yang paling utama adalah nilai-nilai: saling pengertian (shared value), saling percaya (trustworthy)dan budaya kerjasama (a culture of cooperation). Apabila hal tersebut telah terbentuk maka selanjutnya maka dibangunlah sebuah jaringan yang dapat meningkatkan akses pada pembangunan fisik, finansial, dan sumber daya manusia yang lebih luas.

Hal terakhir dan sekaligus kunci utama bahwa Social-entreprenuers merupakan salah satu sarana untuk dapat mewujudkan kesetaraan (equity promotion) dan pemerataan kesejahteraan (spreading welfare) kepada masyarakat luas. Salah satu tujuan pembangunan ekonomi adalah terwujudnya kesetaraan dan pemerataan kesejahteraan masayarakat. Paradigma pembangunan saat ini yang masih lebih mementingkan pertumbuhan (pro growth)telah menguras aset bangsa dan memindahkannya pada sekelompok orang tertentu saja. Sehingga paradigma pembangunan ini harus dapat diarahkan menjadi pembangunan yang berkeadilan, berdaulat, dan berkelanjutan. Melalui social entrepreneurship tujuan tersebut akan dapat diwujudkan, karena para pelaku bisnis yang semula hanya memikirkan pencapaian keuntungan yang maksimal, selanjutnya akan tergerak pula untuk memikirkan pemerataan pendapatan agar dapat dilakukan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.

Tantangan Implementasi Social-entrepreneurship di Indonesia

Pembangunan ekonomi seharusnya ditujukan untuk memberdayakan manusia (people empowerement) agar dapat mengembangkan Social Entrepreneurship termasuk pengembangan entrepreneurship dalam arti luas. Kebijakan pemerintah seharusnya ditujukan untuk mengurangi hambatan-hambatan birokrasi yang mengarah kepada menurunnya kegiatan social entrepreneurship.

Berbagai tantangan yang dihadapi oleh Social Entrepreuners antara lain adalah masalah pendanaan, pendidikan untuk para pemimpin dimasa mendatang yang menyadari tentang pentingnya social entrpreneurship, dan kurangnya insentif yang diberikan oleh pemerintah untuk meringankan beban lembaga-lembaga yang bergerak dibidang sosial. Oleh karena itu Social Entrepreneurs harus didukung oleh Social Investor agar inovasinya dapat diwujudkan. Hendaknya disadari bahwa Social Entrepreneurship bukanlah satu-satunya obat untuk mengatasi permasalahan sosial yang dihadapi, karena dalam kenyataannya sangat dipengaruhi oleh kerangka dan struktur perekonomian yang berlaku di suatu negara. Namun seyogyanya harusada keberanian untuk mulai membentuk change makers sehingga setiapsetiap individu harus diupayakan untuk dapat menjadi change maker di lingkunganya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun