Mohon tunggu...
Hasyim MQ
Hasyim MQ Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Buka Siapa-Siapa, Hanya Manusia Biasa. Anak Kecil yang Ingin Menikmati Masa Belajarnya.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menakar Kembali Sistem Politik Amerika

8 Januari 2018   22:19 Diperbarui: 9 Januari 2018   12:44 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setelah  runtuhnya komunisme teroganisir yang dipimpin oleh  Uni Soviet, Amerika telah kehilangan 'The Other'-nya. Satu dekade setelah itu, Amerika mencari 'The Other' yang  bisa menjadi musuh secara nyata dan bukan metafora sebagaimana prinsip teologi politik Schmitt yang memberi inpirasi bagi politik kontemporer saat ini, terkhusus Barat. Menurut Schmitt, dunia dibagi menjadi 'Musuh' dan 'Kawan' untuk melindungi peradaban manusia dari  kehancuran. Kehidupan manusia bisa berjalan semestinya jika ada perjuangan, dan musuh itu diperlukan agar menjamin etis perjuangan.

Amerika, terutama, menciptakan 'The Other' demi mencapai keberlangsungan peradabannya. Dalam putaran  masa itu, Islam Fundamental diciptakan dan dibentuk sebagai musuh nyata bagi peradaban Amerika yang tidak ambigu. Bahkan pilihan ini tema 'Islam' dan sosio politiknya menjadi tema kebijakan luar negeri Amerika yang terakhir ini terlihat sangat dominan. 

Kebijakan Amerika sendiri pada dasanya sangat dipengaruhi oleh paradigm Huntington dan Fukuyama. Dengan  ini tidak heran pernyatan presiden Bush semenjak tragedy WTC selelalu mengarah kepada perang melawan 'poros jahat', yaitu Irak, Iran dan Kore Utara dalam bahasa alternatifnya. Sebuah  ungkapan yang khas ala Huntington Fukuyama dalam argumentasinya mengenai benturan peradaban yang tak terelakkan.

Dalam frame pembentukan ini, Fukuyama mengatakanmeskipun  ini tidak  lepas dari kritik akademiknya: "Islam merupakan agama satu-satunya yang resisten terhadap demokrasi dan kapitalisme. Bahwa Islam lah secara konsisten melahirkan orang-orang seperti Osama bin Laden." Lebih lanjut, Dia menolak anggapan bahwa resitensi itu hanya cerminan dari kelompok minoroitas muslim, melainkan resistensi itu banyak ditemukan dalam mayoritas komunitas muslim. 

Kemudian yang terasa ambigu, argumentasi Fukuyama ini ditandaskan pada kondisi sosiologi 'Sosialis Nasionalis Jerman' yang menenggarai bahwa radikalisme bermuara pada erosi budaya tradisional dan ancaman budaya modern. Dan, menurut Fukuyama, inilah factor radikalisme Islam yang belakangan  terlihat eksistensinya.   

Pembentukan laian, pada 1999, Benjamin Barber merilis buku dengan judul "Jihad vs McWorld' yang meneropong tentang perkembangan politik modern. Alih-alih melaksanakan tugas tersebut, satu hal yang cukup menjadi sorotan dan penuh kontroversi pada saat itu adalah pemuatan secara gamblang bentrokan  antara 'Dunia Konsumen Universal' dan 'Dunia Kesukuan Politik'. Ia menngilustrsikan dunia konsumen  itu diwakili dan tersimbolkan oleh Mac Donalds, sementara dunia kesukuan politik disimbolkan oleh pembrontakan dan radikalisme Jihad yang menjadi esensi dari perjuangan Islam Fundamental yang mereka maksud.

Tragedy WTC yang terjadi beberapa tahun setelahnya seolah  menguatkann tesis dan arahan Barber. Bahwa apa yang dimaksud oleh Barber mengenai dikotomi tersebut sangat gamblang dan semakin tajam. Kejadian  heroik itu digambarkan sebagai ilustrasi real dari gerakan  'Fundamntalis Islam' melalui jihadnya. Pada gilirannya, gerakan setelahn tragedy WTC dianggap sebagai perlawanan kapitalisme terhadap politik diaspora, dalam hal ini Islam Funndamental. Jelas, ini semua sebenarnya adalah reproduksi 'benturan  peradaban' Huntington di mana Islam dipilih sebagai ilustrasi konflik tak terelakkan  dalam peradaban Barat dan 'The Other'.

Sebenarnya yang cukup menarik dicermati adalah beberapa kritik yang dilontarkan kepada Amerika dalam sikap penilaiannya terhadap Islam. Pertama, Amerika dianggap gagal mengenali 'Fundamentalisme Islam' dan 'Fundamentalisme Protestan', sebagai contoh. Mereka dinggap tidak jeli terhadap permasalah dan factor mendasar dalam beberapa kasus gerakan fundamentalisme. Kedua, mereka keliru dalam mengindentifikasi 'Fundamentalisme Islam' dan 'Tradisinalisme Islam' yang mereka galang sendiri. Keduanya dianggap sama rata yang jelas-jelas salah secara fakta; bahwa secara konsisten belakangan ini, Fundamental sering menyerang Tradisional bahwa mereka tidak siap menghadapi arus modernisasi.

Ketiga, komentar-komentar Amerika terhadap Islam, bahwa term fundamental bukan hanya minoritas, jelas mengesampingkan heterogenitas Islam kontemporer. Di berbagi Negara komunitas muslim secara umum, dan komounitas muslim secara khusus tidak menempatkan jihad pada tataran praktis tujuannya, tapi hanya sebagai media. Keempat, Amerika memilih dan menempatkan Islam sebagai 'The Other' atau agama luar yang asing, meskipun dengan menghilangkan aspek historis Islam terhadap peradaban Barat. Pada akhirnya, stereotype model seperti ini hanya akan melanggengkan dikotomi yang  tajam dan tiada henti bagi peradaban Barat dan Islam.

Jika diamatai, rentetan gembaran negative Islam ini mengindikasikan kebangkitan 'Orientalisme'. Penilaian yang penuh anomaly dan serat egosentris memang menjadi ciri khas 'Orientalisme' masa kolonial, meskipun secara berangsur para orientalis enggan menyebut diri mereka sebagai orientalis sebab stigma negative yang muncul. Namun, perkembangan ini secara kasat mata terasa paradok jika kita melihat perkembangan dan giringan ekonomi global saat ini. 

Dengan sebab adanya globalisasi ekonomi, evolusi komunitas muslim di eropa, terutama Amerika yang disebabkan diaspora tidak bisa dielakkan. Mereka kini sudah berevolusi secara massif dan membaur dengan  warga Amerika. Dalam dataran Eropa secara keseluruhan, komunitas mereka sudah mencapai angka 16 juta lebih, sedangkan di Amerika sendiri sudah mencapai dari angka 6 juta. Sebuah  angka yang tidak bisa begitu saja Amerika beranggapan bahwa mereka bukanlah siapa-siapa.

Kebenaran tesis 'The Making of The English Working' semakin tampak dan nyata. Dari sisi ekonomi kapitalisme, model leberalisasi pasar sangat dibutuhkan dalam etis pertukarannya. Kapitalisme tidak peduli dengan nilai moral pelakunya yang belakangan oleh Schmitt dinggap sebagai pembunuh etis kehidupan politik. 

Ia mengaskan, ekonomi liberal tidak selalu menyajikan kondisi ideal bagi keberlangsungan dan pembiakan  dikotomi 'Kawan' dan 'Lawan' yang menjadi esensi dari teologi Scmitt. Bahkan dari sini, yang membunuh sistem politiknya adalah sistem ekonominya sendiri, bukan yang lain. Apalagi secara sadar, para kapital jelas menunjukakkan ketertarikannya kepada buruh muslim kontemporer yang dianggap disiplin dan dapat diandalkan secara total. Dalam tataran ini, kita dapat berkesimpulan: Amerika telah mengalami paradok antara sistem politik dan ekonominya. (*)

*Hasyim MQ. Essais, Kolomnis.        

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun