Mohon tunggu...
Healthy

Sexual Masochism Disorder

24 Januari 2016   14:14 Diperbarui: 24 Januari 2016   19:50 897
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah Masochism itu?

Masochism adalah gangguan atau penyakit seksual dalam mana individu memperoleh kepuasan seksual lewat kesakitan pada diri sendiri. Kesakitan ini dianggap sebagai pendahuluan atau pelengkap bagi relasi-relasi seksual dan penerapan kesakitan dianggap cukup baik untuk mendapatkan orgasme. (J.P. Chaplin, 1981)

Pada gejala masochism yang ekstrim terdapat dorongan–dorongan yang kuat untuk memusnahkan diri sendiri (bunuh diri), disertai dengan dengan kompulsi-kompulsi atau dorongan paksaan yang semuanya banyak tidak disadari oleh penderitanya. Masokhisme yang bermoril banyak dimuati oleh unsur-unsur rasa bersalah dan berdosa besar, terutama ditujukan kepada subjek relasinya.

Ada pula fenomenon yang berupa kesediaan tunduk takluk secara erotis dan secara mutlak pada partner seksnya, yang sifatnya sangat masokhistis. Gejala ini disebut sebagai mashokhisme erotik, yang mempunyai atribut: bersedia menderita kesakitan hebat “demi cintanya”.

Ciri utama dari masokhisme ini adalah mendapatkan kegairahan dan kepuasaan seks dengan cara diperlakukan secara kejam. Baik disakiti secara fisik atau psikis. Perlakuan kejam ini biasanya dilakukan sendiri (mengikat diri sendiri, menyetrum diri sendiri), atau dilakukan oleh pasangannya.

Perilaku masokis sering dikaitkan dengan perilaku sadism karena mayoritas sadistis menjalin hubungan dengan masokis untuk memperoleh kepuasan seksual secara timbal balik. Dari hal tersebut muncullah istilah sadomasokis, nama tersebut berasal dari dua pengarang subjek yakni Marquis de Sade dan Leopold von Sacher-Masoch. 

Yang sangat mencolok pada manifestasi homosexual dan lesbianisme ialah: kedua partner itu secara bergantian peran, mereka yang berperan sebagai laki-laki akan bersikap aktif-sadistik dan partner yang menjadi perempuan bersikap pasif-masokhistis feminin. Baik pada peristiwa homoseksual maupun lesbian, sebab utama pola tingkah laku relasi seksual yang abnormal itu ialah : rasa tidak puas dalam hubungan heteroseksual. Seringkali partner seksnya di-identifikasikan dengan orang tua yang sangat dominan (yang sangat dibenci/ditolak namun sekaligus dirindukan dan dicintainya) atau  di-identifikasikan dengan seorang kekasih yang agresif dan brutal, yang ditolak namun sekaligus dicintainya secara mendalam.

Ada kalanya pola masokhistik itu timbul, karena pelakunya pada sata masih anak-anak  pernah dipukul oleh orang tuanya pada daerah erogen, dan mendapatkan kepuasan seks yang sangat mendalam pada saat itu juga. Sehingga dia ingin mengulangi kembali peristiwa masokhistis tersebut.

Perwujudan masokhisme seksual bervariasi. Contohnya antara lain diikat (tekanan fisik), ditutup matanya (tekanan indrawi), dipukul pantatnya atau bagian tubuh lain, disengat listrik, diiris, dipermalukan (misalnya dikencingi atau diberaki,dipaksa untuk memakai ikat leher dan menggonggong seperti anjing, dipamerkan tanpa busana), mengambil peran sebagai budak dan menuruti aturan dan perintah.

Salah satu bentuk masokisme yang sangat berbahaya disebut hipoksifilia, yang dimana pelakunya menimbulkan gairah seksual dengan mengalami kekurangan oksigen, yang dapat dicapai dengan menggunakan tali, kantong plastic, kompresi dada, atau bahan kimia yang menyebabkan menurunnya kadar oksigen di otak untuk sementara waktu dengan vasodilasi pembuluh darah tepi (American Psychiatric Assosiation, 1994).

Kriteria masokisme seksual dalam DSM-IV-TR

  1. Berulang intens dan terjadi selama periode 6 bulan, fantasi, dorongan atau perilaku yang menimbulkan dorongan seksual yang berkaitan dengan tindakan (bukan fantasi) yang dilakukan oleh orang lain untuk mempermalukan atau memukul dirinya.
  2. Menyebabkan distress bagi orang yang bersangkutan atau mengalami hendaya dalam fungsi social atau pekerjaan

Ciri Paraphilia (Nevid, 2002) :

  1. Orang akan menunjukkan keterangsangan seksual sebagai respon yang tidak biasa. Seperti yang dijelaskan didalam DSM IV.
  2. Mereka  yang menderita gangguan paraphilia memiliki ciri-ciri memiliki hasrat seksual yang menggebu-gebu dan kuat, fantasi-fantasi seksual, atau menampilkan berbagai tingkah-laku yang  melibatkan objek, aktivitas atau situasi yang tak lazim dan menyebabkan stres negatif serta melemahnya fungsi-fungsi sosial, aktivitas kerja dan fungsi-fungsi penting lainnya.
  3. Gangguan paraphilia ditandai oleh empat langkah yang membentuk daur:
  • Preokupasi atau ketertarikan dan perhatian pada objek atau adegan seksual yang intensif dan terus-menerus.
  • Ritualisasi dalam bentuk melakukan perilaku-perilaku tertentu yang berkaitan dengan aktivitas seksual
  • Tingkah-laku kompulsif yang terwujud dalam bentu berulangnya perilaku seksual menyimpang; dan
  • Perasan sedih, murung, hampa, menderita dan depresi yang kemudian mengarahkannya kembali pada perilaku seksual menyimpang sebagai upaya untuk menghilangkan perasan-perasan negatif yang ditanggungnya.

 

Para Ahli yang Mempelajari Masochism

Menurut psikologi klasik Freud memperkenalkan istilah masokhisme primer dan sekunder. Walaupun gagasan ini memiliki sejumlah penafsiran, dalam masokisme primer, masokis melakukan penolakan sepenuhnya atau sebagian kepada model atau objek kawin (atau sadis), mungkin melibatkan model menganggap musuhnya sebagai pasangan yang terpilih. Penolakan sepenuhnya ini terkait dengan pengendali kematian dalam psikoanalisa Freud (Todestrieb). Dalam masokisme sekunder, sebaliknya, masokis mengalami penolakan yang ringan dan hukuman oleh model. Masokhisme sekunder, dengan kata lain, adalah versi yang relatif kasual dan lebih lembut.

Sartre berpendapat kalau masokhisme adalah usaha ‘For-itself’ yaitu kesadaran untuk mereduksi dirinya ke ketiadaan, menjadi objek yang tenggelam dalam “relung subjektivitas orang lain”. Dengan ini Sartre bermaksud mengatakan kalau adanya keinginan ‘For-itself’ untuk mempertahankan sudut pandang dimana ia subjek sekaligus objek, strategi yang mungkin dilakukan adalah mengumpulkan dan memperkuat tiap perasaan dan postur dimana dirinya tampak sebagai objek untuk ditolak, diuji dan dipermalukan; dan dengan cara ini For-itself  ini ia berjuang menuju sudut pandang dimana hanya ada satu subjektivitas dalam hubungan, yang merupakan miliknya yang dilecehkan dan peleceh sekaligus.

Etiologi

1. Perspektif Psikodinamika

Menurut pandangan psikodinamik, parafilia pada dasarnya defensif, melindungi ego dari ketakutan dan ingatan yang direpres, dan mewakili fiksasi pada tahap pragenital dalam perkembangan psikoseksual. Orang dengan parafilia dilihat sebagai seseorang yang takut akan hubungan heteroseksual yang konvensional, bahkan yang tidak melibatkan seks. Perkembangan sosial dan seksualnya tidak matang, terbelakang, dan tidak adekuat untuk hubungan sosial dan persetubuhan heteroseksual dengan orang dewasa.

2. Perspektif Behavioral dan Kognitif 

Terdapat pandangan bahwa parafilia muncul dari classical conditioning, yang secara kebetulan telah memasangkan rangsangan seksual dengan kelompok stimulus yang dianggap tidak pantas oleh masyarakat. Namun teori yang terbaru mengenai paraphilia bersifat multidimensional, dan menyatakan bahwa paraphilia muncul apabila terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang. Seringkali orang dengan paraphilia mengalami penyiksaan fisik dan seksual pada masa kanak-kanak, dan tumbuh dalam keluarga yang hubungan antara orang tua dengan anak terganggu. Pengalaman- pengalaman awal ini dapat berkontribusi terhadap tingkat kemampuan sosial serta self-esteem yang rendah, kesepian, dan kurangnya hubungan intim yang sering terlihat pada parafilia. Kepercayaan bahwa sexual abuse pada masa kanak-kanak merupakan predisposisi untuk munculnya gangguan, ternyata masih perlu ditinjau ulang. Distorsi kognitif  juga memiliki peran dalam pembentukan parafilia. Orang dengan paraphilia dapat membuat berbagai pembenaran atas perbuatannya. Pembenaran dilakukan antara laindengan mengatribusikan kesalahan kepada orang atau hal lain, menjelek-jelekkan korban, atau membenarkan alasan perbuatannya. Sementara itu, berdasarkan perspektif operant conditioning, banyak parafilia yang muncul akibat kemampuan sosial yang tidak adekuat serta reinforcement yang tidak konvensional dari orang tua atau oranglain.

Pencegahan

Pelaku perbuatan masokhistis yang ringan masih dapat disembuhkan dengan pengobatan psikis atau psokoterapi yang instensif. Namun pada kasus-kasus yang berat penyembuhan hampir tidak bisa dilakukan tanpa memberikan pengorbanan yang serius.

Pencegahannya adalah seperti mengajari anak-anak untuk mengenali perilaku orang dewasa yang tidak pantas, menolak bujukan, segera menjauh dari situasi tersebut dan melaporkan insiden tersebut kepada orang dewasa yang tepat. Anak-anak diajari untuk mengatakan ‘tidak’ secara tegas dan asertif apabila ada orang dewasa yang berbicara kepada mereka atau menyentuh mereka dengan cara yang membuat mereka merasa tidak nyaman. Para penyuluh dapat menggunakan buku-buku komik., film, dan gambaran tentang situasi berisiko dalam upaya mengajarkan tentang karakteristik penganiayaan seksual dan bagaimana cara anak-anak melindungi diri mereka sendiri.

Intervensi untuk orang dewasa, titik beratnya adalah pada pemaparan terhadap ingatan atas trauma tersebut melalui diskusi atmosfer terapeutik yang aman dan suportif. Mempelajari bahwa seksualitas manusia yang sehat tidak dapat menjadi bagian yang memperkuat kepribadian individu seiring berkembangnya kematangan pribadinya. Hambatan dalam kontak fisik dapat ditangani dalam lingkungan terapi kelompok dengan cara memegang tangan dan mengusap punggung secara terstruktur dan nonseksual. Seperti halnya pada perkosaan, penting untuk membuang rasa bersalah atas apa yang terjadi, mengubah atribusi tanggung jawab individu dari konsep diri “tingkah laku saya buruk” ke “tingkah laku (pelaku) buruk”. Intervensi bervariasi tegantung pada usia korban — remaja berusia 14 tahun tidak memerlukan boneka untuk mengingat apa yang terjadi, dan anak berusia 3 tahun jelas tidak dapat mengikuti untuk terapi.

Terapi Paraphilia

Karena sebagian besar parafilia ilegal, banyak orang dengan parafilia yang masuk penjara, dan diperintahkan oleh pengadilan untuk mengikuti terapi. Para pelaku kejahatan seks tersebut seringkali kurang memiliki motivasi untuk mengubah perilakunya. Terdapat beberapa metode yang dapat dilakukan terapis untuk meningkatkan motivasi mengikuti perawatan (Miller & Rollnick, 1991):

  1. Berempati terhadap keengganan untuk mengakui bahwa ia adalah pelanggar hukum.
  2. Memberitahukan jenis-jenis perawatan yang dapat membantu mengontrol perilaku dengan baik dan menunjukkan efek negatif yang timbul apabila tidak dilakukan treatment.
  3. Memberikan intervensi paradoksikal, dengan mengekspresian keraguan bahwa orang tersebut memiliki motivasi untuk menjalani perawatan.
  4. Menjelaskan bahwa akan ada pemeriksaan psikofisiologis terhadap rangsangan seksual pasien; dengan demikian kecenderungan seksual pasien dapat diketahui tanpa harus diucapkan atau diakui oleh pasien (Garland & Dougher, 1991).

Terdapat beberapa jenis perawatan untuk parafilia, yaitu terapi psikoanalitis, behavioral, kognitif, serta biologis. Terdapat pula usaha hukum untuk melindungi masyarakat dari pelaku kejahatan seksual.

A. Terapi psikoanalitik

Pandangan psikoanalisa beranggapan bahwa parafilia berasal dari kelainan karakter, sehingga sulit untuk diberi perawatan dengan hasil yang memuaskan. Psikoanalisa belum mmberi kontribusi yang besar bagi penanganan parafilia secara efektif.

B. Teknik Behavioral

Para terapis dari aliran behavioral mencoba untuk mengembangkan prosedur terapeutik untuk mengubah aspek seksual individu. Pada awalnya, dengan pandangan bahwa parafilia merupakan ketertarikan terhadap obyek seksual yang tidak pantas, prosedur yang dilakukan adalah dengan terapi aversif. Terapi aversif dilakukan dengan memberikan kejutan fisik saat seoseorang menunjukkan perilaku yang berkaitan dengan parafilia. Metode lain, disebut satiation; seseorang diminta untuk bermasturbasi untuk waktu lama, sambil berfantasi dengan lantang. Kedua terapi tersebut, apabila digabungkan dengan terapi lai seperti pelatihan kemampuan sosial, dapat bermanfaat terhadap paedofilia, transvestisme, eksibisionisme, dan transvestisme (Brownell, Hayes, & barlow, 1977; Laws & Marshall, 1991; Marks & Gelder, 1967; Marks, Gelder, & Bancroft, 1970; Marshall & Barbaree, 1990). Cara lain yang dilakukan adalah orgasmic reorientation, yang bertujuan membuat pasien belajar untuk menjadi lebih terangsang pada stimulus seksual yang konvensional. Dalam prosedur ini pasien dihadapkan pada stimulus perangsang yang konvensional, sementara mereka memberi respon seksual terhadap rangsangan lain yang tidak konvensional. Terdapat pula teknik lain yang umum digunakan, seperti pelatihan social skills.

C. Penanganan Kognitif

Prosedur kognitif sering digunakan untuk mengubah pandangan yang terdistorsi pada individu dengan parafilia. Diberikan pula pelatihan empati agar individu memahami pengaruh perilaku mereka terhadap orang lain. Banyak program penanganan yang memberikan program pencegahan relapse, yang dibuat berdasarkan program rehabilitasi ketergantungan obat-obatan terlarang.

D. Penanganan Biologis

Intervensi biologis yang sempat banyak diberikan dua generasi yang lalu adalah dengan melakukan kastrasi atau pengangkatan testis. Baru-baru ini, penanganan biologis yang dilakukan melibatkan obat-obatan. Beberapa obat yang digunakan adalah medroxyprogesterone acetate (MPA) dan cyptoterone acetate. Kedua obat tersebut menurunkan tingkat testosteron pada laki-laki, untuk menghambat rangsangan seksual. Walaupun demikian, terdapat masalah etis daripenggunaan obat, karena pemakaian waktu yang tidak terbatas serta efek samping yang mungkin muncul dari pemakaian jangka panjang. Baru-baru ini, fluoxetine (Prozac) telah digunakan, karena obat tersebut kadang-kadang efektif untuk mengobati obsesi dan kompulsi. Karena parafilia terbentuk dari pikiran dan dorongan yang serupa dengan paraphilia.

E. Usaha Hukum

Di Amerika, sebagai akibat dari tuntutan masyarakat, telah muncul hukum mengenai pelaku kejahatan seks. Dikenal sebagai Megan’s Law, hukum tersebut memungkinkan warga sipil untuk mendeteksi keberadaan mantan pelaku kejahatan seksual, yang dianggap berbahaya. Dengan hukum ini, diharapkan masyarakat dapat waspada, dan para mantan pelaku tidak berkesempatan untuk mengulangi kejahatannya.

 

Sumber :

  1. Kartono Dr. Kartini; (n.d); “Psikologi Abnormal dan Abnormalitas seksual”. Bandung : Mandar Maju
  2. C. Davidson Gerald, M. Kring Ann, M. Neale John. “Abnormal Psychology-Ninth Edition”. Jakata : PT. Raja Grafindo Persada
  3. Ulfah, Aruni; (n.d); Masochim. Diperoleh dari https://psikologiabnormal.wikispaces.com/Masochism
  4. Albaster, A N; (2013); Makalah Gangguan Seksual. Diperoleh dari https://www.scribd.com/doc/170476556/makalah-gangguan-seksual
  5. Febriarumrh; (2014); Gangguan Sex dan Identitas Gender. Diperoleh dari  https://swcorner.wordpress.com/2014/10/16/psikologi-ii-gangguan-sex-dan-identitas-gender/

 

Sadiyah Muhammad Hilal 10050013219 (kelas E)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun