Naik angkot dari Balai Latihan Kesenian Jakarta Barat menuju rumah, mendengar “curhat” jurumudi angkot. Kang Ujang, sebutlah begitu namanya. Begitu saya duduk di dekat jurumudi, kang Ujang ini langsung bertanya, “Ibu..., Ibu Guru ya...? Saya boleh tanya-tanya?”.
Saya hanya mengangguk ringan dan menjawab, “Boleh saja, Pak, asal saya dapat menjawabnya”.
“Saya heran dech, perempuan-perempuan jaman sekarang itu, matre banget, Bu. Udah gitu ga’ bisa nyimpen duit lagi. Saya nih, udah tiga kali kawin trus tiga kali juga ditinggal istri. Penghasilan saya ini bersihnya limapuluh ribu seharian. Saya kasih semuanya buat istri. Masa’ dia ga bisa nabung cuman limaribu doang? Padahal, lumayan khan, Bu, kali bisa nabung seharinya limaribu. Menurut Ibu gimana, Bu Guru?”, begitu curhat Kang Ujang.
Sebenarnya saya bingung harus menjawab atau menanggapi apa pada Kang Ujang ini. Karena, sebetulnya Kang Ujang pun tidak membutuhkan tanggapan atau jawaban dari saya. Dia, hanya butuh mengeluarkan uneg-unegnya saja.
Karena, sudah sampai di tempat tujuan, saya pun berhenti dan turun dari angkot seraya berujar: “Semoga nanti istrinya Kang Ujang dapat menabung dan sesuai harapan, ya”.
Kang Ujang meng-amin-kan, dan berlalu dengan angkotnya.
Kata MENABUNG dari Kang Ujang, entahlah menjadi terngiang-ngiang di perjalanan angkot berikutnya.
- - - - - - - - - - - - - -
Sepekan kemarin, saya berkesempatan pulang ke kampung halaman dan bertemu sanak saudara di sana. Salah satunya adiknya suami yang memilih untuk menjadi petani di daerah Kutoarjo.
Setiap kami bersilaturahim ke rumah adik, selalu saja ada “kemajuan” yang terlihat secara fisik. Terutama kondisi rumah.
Dari semula yang hanya berlantai tanah, sekarang sudah ubin. Dari yang murni bertani, saat ini sudah memiliki beberapa macam ternak.
Ternyata, resepnya “terbongkar” saat kami ngobrol malam-malam di teras rumah.
Adinda yang satu ini, rupanya sangat gemar MENABUNG dan juga pekerja keras. Selain memiliki sawah sendiri yang harus digarap dan mencari rumput untuk ternak-ternaknya, Adinda pun rajin menjadi “Buruh Tani” di lahan kerabat, dan juga rajin membantu kerabat dalam hal lain.
Semuanya terdengar begitu sederhana...
“Hasil panen 3 bulanan untuk tabungan, mbak. Kalo makan dan bulanan, kami dari hasil buruh. Seharinya dibayar Rp 50.000 kalo laki-laki. Kalo perempuan dibayar Rp 40.000. Tapi, saya hanya mburuh yang Rp 25.000 saja, setengahnya, karena saya harus cari rumput dan garap sawah sendiri. Makan juga kami seadanya. Yang ada di pekarangan saja. Sayur-sayuran sehat. Kalo ingin sedikit makan enak ya ke pasar tiap hari Minggu dan Kamis”.
Saya terpaku mendengarkan penuturan sederhana dari adik. Mereka selalu menyisihkan uang hariannya dari hasil bekerja buruh, dan juga mampu menyisihkan penghasilan dari panen 3 bulanan.
Bagaimana dengan saya...?
Sepertinya harus segera membangun strategi agar dapat berpenghasilan harian, mingguan, bulanan ataupun tahunan dan yang terpenting adalah menyisihkannya untuk menabung.
Sehingga tidak hanya sekedar berpenghasilan tetapi juga memiliki Tabungan dan atau Investasi.
- - - - - - - - - -
Kang Ujang dan Adik Ipar,
Dua sosok sederhana yang membenturkan saya pada kata MENABUNG. Semoga kecerdasan finansial saya, mampu mengelola keuangan dengan lebih baik lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H